"Daripada ukhti dijadikan istri kedua, lebih baik ukhti menjadi istriku saja. Aku akan memberimu kebebasan."
"Tapi aku cacat. Aku tidak bisa mendengar tanpa alat bantu."
"Tenang saja, aku juga akan membuamu mendengar seluruh isi dunia ini lagi, tanpa bantuan alat itu."
Syifa tak menyangka dia bertemu dengan Sadewa saat berusaha kabur dari pernikahannya dengan Ustaz Rayyan, yang menjadikannya istri kedua. Hatinya tergerak menerima lamaran Sadewa yang tiba-tiba itu. Tanpa tahu bagaimana hidup Sadewa dan siapa dia. Apakah dia akan bahagia setelah menikah dengan Sadewa atau justru sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10
Wahyu menarik Ustaz Rayyan ke samping, menjauh dari kerumunan yang mulai berkumpul di halaman rumah. Wajah Wahyu tampak penuh perhitungan, sementara Rayyan gelisah, pandangannya berkali-kali melirik ke arah Syifa yang sedang berdiri di dekat Sadewa.
"Kita tidak bisa membiarkan ini terjadi, Paman!" bisik Rayyan dengan nada teredam oleh amarah. "Syifa seharusnya menjadi istriku!"
Wahyu menghela napas pelan, lalu menatap Rayyan tanpa ekspresi. "Dengar baik-baik, Rayyan. Aku sudah memutuskan. Dan kalau kamu menolak, kamu sendiri yang akan menghadapi akibatnya."
Rayyan mengepalkan tangannya. "Akibatnya? Paman tahu aku yang selama ini menginginkan Syifa. Aku yang paling pantas untuknya!"
Wahyu melirik ke arah mobil mewah yang terparkir di pinggir jalan, lalu kembali menatap Rayyan. Kali ini, suaranya lebih rendah dan penuh tekanan. "Dengarkan baik-baik. Aku tidak akan kehilangan apa-apa dalam urusan ini. Tapi kamu? Kalau sampai kabar soal pernikahan dipaksakan ini menyebar, pondok pesantren ini bisa kehilangan nama baik dan santri. Jangan gegabah. Kita juga akan memilik pondok pesantren ini sepenuhnya."
Rayyan terdiam. Rahangnya mengeras menahan emosi. Dia sangat menginginkan Syifa.
"Aku tidak akan melupakan ini, Paman," ujarnya tajam sebelum berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan halaman rumah dalam kemarahan dan harga diri yang tercabik.
Sadewa yang sedari tadi memperhatikan dari jauh hanya tersenyum tipis. Dia tahu, pertarungan sudah berakhir. Tanpa membuang waktu, dia memberi isyarat kecil pada Hendri.
Hendri mengangguk paham. Dengan cekatan, dia memberi kode pada tim yang sudah bersiap. Kotak-kotak seserahan mulai dibawa masuk ke dalam rumah Syifa—lengkap dengan seperangkat alat sholat dan mahar yang telah disiapkan oleh Sadewa.
Tak ada lagi yang bisa menghalangi pernikahan itu. Dia menunggu beberapa saat untuk menunggu anak buahnya yang membeli alat bantu pendengaran untuk Syifa agar Syifa bisa mendengar suaranya.
Beberapa saat kemudian, anak buahnya datang dan memberikan alat bantu pendengaran itu pada Sadewa.
Sadewa segera memberikan alat bantu itu pada Syifa.
Syifa segera memasangnya di telinga. Seketika dunia yang hening itu sirna.
"Kamu bisa mendengarku?"
Syifa hanya mengangguk dan tersenyum kecil.
Akhirnya Sadewa duduk tegap di hadapan penghulu, sorot matanya tenang namun penuh ketegasan. Di sampingnya, Syifa tampak gugup. Tangannya menggenggam ujung kebaya putih yang dia kenakan, sementara jantungnya berdegup kencang.
Semua tamu yang semula ingin menyaksikan Ustaz Rayyan dan Syifa kini terdiam dan tetap menyaksikan pernikahan itu meski calon mempelai pria telah berganti. Ketika penghulu mulai membacakan akad. Suasana menjadi semakin hening.
"Saya terima nikahnya Syifa binti Almarhum Tuan Fadhlan dengan mas kawin dua ribu dollar dan dua puluh lima gram emas murni, dibayar tunai."
Sejenak, suasana tetap sunyi hingga saksi-saksi mengangguk dan serempak menyatakan, "Sah."
Syifa menoleh ke arah Sadewa, matanya membulat karena terkejut. Dua ribu dollar? Dua puluh lima gram emas murni? Dia tidak menyangka pria yang nyaris asing baginya akan memberikan mahar sebesar itu.
Syifa tahu dirinya bukanlah wanita sempurna. Dia bahkan sempat merasa tak pantas dicintai oleh siapa pun. Namun, Sadewa... pria yang baru beberapa hari dikenalnya, justru datang dengan membawa ketulusan dan penghargaan yang belum pernah dia rasakan.
Sadewa menatapnya hangat. Dia tahu Syifa terkejut, dan dengan lembut, dia meraih jemari perempuan itu.
“Aku ingin kamu tahu betapa berharganya dirimu.”
Syifa menunduk, berusaha menyembunyikan rona merah yang mulai merayap di pipinya. Kemudian dia mencium tangan Sadewa untuk yang pertama kalinya setelah sah menjadi suami istri.
Barulah kini mereka bisa saling bertatapan secara langsung.
Syifa menyadari ketampanan paras itu. Tapi dia terus bertanya dalam hati, siapa sebenarnya Sadewa? Syifa berharap, Sadewa bukan pilihan yang salah.
Setelah ijab kabul selesai dan para tamu berpamitan satu per satu, Sadewa menggandeng tangan Syifa dengan tenang menuju mobil mewah yang sudah menunggu.
"Aku sudah mengurus semuanya. Mulai sekarang, Syifa menjadi tanggung jawabku," kata Sadewa sebelum masuk ke dalam mobil.
Paman dan bibi Syifa hanya mengangguk karena mereka telah mendapat semua yang mereka inginkan.
Syifa berpamitan pada mereka meskipun mereka terlihat senang Syifa akan pergi dari rumah itu. Kemudian dia masuk ke dalam mobil.
Perjalanan menuju rumah Sadewa berlangsung dalam keheningan. Syifa duduk dengan tangan terlipat di pangkuannya, sesekali melirik Sadewa yang ada di sampingnya.
Ketika mobil itu berhenti di depan sebuah gerbang besar yang perlahan terbuka secara otomatis, mata Syifa melebar. Matanya tak berkedip menatap rumah dua lantai megah dengan desain modern yang berdiri megah di tengah taman luas yang terawat rapi. Pilar-pilar marmer berkilau di bawah sorot lampu taman, dan air mancur kecil di halaman depan menambah kesan elegan yang luar biasa.
“Ini... rumah Anda?” bisiknya tanpa sadar.
Sadewa tersenyum kecil. “Rumah kita, sekarang. Jangan terlalu formal. Panggil saja aku Mas Dewa atau Sayang mungkin?" goda Sadewa.
Syifa hanya tersenyum kecil sambil keluar dari mobil itu. Dia melangkah masuk dengan langkah ragu. Lantai marmer putih mengilap, lukisan-lukisan mahal tergantung di dinding, dan lampu gantung kristal menyambut mereka di foyer. Jantung Syifa berdetak cepat. Dia bahkan belum pernah membayangkan bisa menginjakkan kaki di rumah seperti itu, apalagi tinggal di dalamnya.
“Biasanya aku kesepian di rumah ini,” ucap Sadewa sambil membuka jasnya dan menggantungnya di dekat pintu. “Tapi sekarang … sudah ada kamu.”
Syifa menoleh padanya, masih canggung, belum tahu bagaimana harus bersikap.
Sadewa mendekat, namun tidak terlalu dekat. Dia tetap menjaga jarak dengan sopan meski telah halal. “Kamu boleh memilih tidur di kamarku atau di kamar sendiri. Aku tidak akan memaksa kamu, karena aku sudah berjanji memberimu kebebasan.”
Syifa menatap mata pria itu. Ada ketulusan di sana. Bukan tatapan penuh hasrat atau ego seperti pria-pria lain yang pernah dia lihat. Ini tatapan seseorang yang sungguh-sungguh ingin melindungi.
“Iya, aku belum siap.”
Sadewa mengangguk lembut. “Aku tahu. Kamu tidak perlu menjelaskan.”
Lalu dia berjalan lebih dulu, menunjukkan kamar-kamar yang ada di lantai atas. “Pilih kamar mana saja yang kamu suka. Tapi kalau kamu takut tidur sendiri, pintu kamarku selalu terbuka untukmu.”
Syifa tersenyum samar. Entah kenapa, meskipun rumah itu begitu asing kehadiran Sadewa membuatnya merasa lebih tenang.
"Aku di sini saja." Syifa memilih kamar dengan jendela yang cukup besar menuju arah taman.
"Pilihan yang bagus. Kamarku tepat berada di sebelah kamar kamu. Aku akan menyuruh pelayan menata semua barangmu. Semua perlengkapan yang kamu butuhkan sudah aku belikan. Sekarang, kamu istirahat saja. Jika lapar langsung saja ke ruang makan," jelas Sadewa.
Setidaknya kini rasa bersalah itu sedikit berkurang.
harus di ajak ngopi² cantik dulu si Lina nih😳😳😳
musuh nya blm selesai semua..
tambah runyam...🧐
mungkin kah korban itu sebuah jebakan🤔🤔🤔