Dijodohkan dengan pria kaya raya? Kedengarannya seperti mimpi semua perempuan. Tapi tidak bagi Cloe.
Pria itu—Elad Gahanim—tampan, sombong, kekanak-kanakan, dan memperlakukannya seperti mainan mahal.
“Terima kasih, Ibu. Pilihanmu sungguh sempurna.”
Cloe tak pernah menginginkan pernikahan ini. Tapi siapa peduli? Dia hanya anak yang disuruh menikah, bukan diminta pendapat. Dan sekarang, hidupnya bukan cuma jadi istri orang asing, tapi tahanan dalam rumah mewah.
Namun yang tak Cloe duga, di balik perjodohan ini ada permainan yang jauh lebih gelap: pengkhianatan, perebutan warisan, bahkan rencana pembunuhan.
Lalu, harus bagaimana?
Membunuh atau dibunuh? Menjadi istri atau ... jadi pion terakhir yang tersisa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rinnaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Malam di kota gemerlap.
Cloe berpegangan pada kusen pintu, ia terengah-engah mengatur laju napas. “I-ibu,” gumamnya dengan rasa tidak percaya.
Bukan pria seperti apa yang selama ini dia bayangkan, bahkan saat ia sadar berada dalam realita pun, dia merasa ini tidak benar. Pria tua duduk di sana, ditemani secangkir kopi panas dan menampilkan senyum bahagia.
Cloe kenal dia, duda kaya di desa sebelah. Pak Anos, pemilik lahan perkebunan teh.
“Akhirnya kau pulang. Kemarilah, sapa dulu sama Pak Anos.”
“Enggak!” teriak Cloe menangis. “Ibu jahat!” Cloe berbalik badan, melarikan diri. Ia mengabaikan panggilan Mala yang mengejarnya di belakang, sampai kapanpun dia tidak mau dinikahi pria tua. Lebih baik melarikan diri dulu saja untuk saat ini.
Langkah Cloe cepat, semasa sekolah dia tidak pernah tinggal ikut lomba lari antar kelas. Terbukti dari Mala yang tidak tampak lagi di belakang. Cloe mulai berjalan santai, kepalanya mendongak pada langit yang perlahan-lahan menggelap.
‘Aduh, bagaimana nasib cucianku, ya?’ Cloe menggelengkan kepala. Untuk apa memikirkan hal sepele itu sekarang? Pun dia berencana tidak kembali dalam waktu dekat. Tapi ... ke mana dia akan pergi? Langkahnya berhenti, berpikir seharusnya tidak pergi ke rumah orang yang dikenal. Mereka bisa membuat Cloe dijemput pulang nanti.
Melarikan diri sungguh membuat bingung, gundah gulana tidak dapat terhindarkan. Dia tidak membawa uang sama sekali, kaki saja tidak bisa membawa pergi jauh. Kemudian ia melihat mobil angkutan sayur bersiap berangkat ke kota, diam-diam Cloe menyusup di antara keranjang sayur.
‘Apa yang akan aku lakukan di kota nanti? Apa ibu akan mencariku?’
Angin menyejukkan menerpa dirinya, bulu kuduk merinding oleh dingin di malam hari. Ia lihat langit tengah beruntusan malam ini, kelap-kelip bintang berserak di atas sana. Malam yang indah menemani perjalanannya, mungkin Tuhan berbaik hati menghiburnya dengan cara ini.
Lama kelamaan dia terlelap, lalu lalang kendaraan menjadi lagu pengantar tidur yang tidak menyenangkan. Kala suara-suara manusia terdengar, ia bangun. Ternyata mobil tengah berhenti, Cloe seketika panik takut jika seseorang datang mengecek muatan.
“Coba lihat, apakah kita ada membawa labu?”
“Ok, Bos.”
Percakapan tersebut menandakan Cloe harus pergi sekarang, dari sisi lain dia memutari mobil, berhasil bersembunyi di balik tembok bangunan. Dia mengintip orang tersebut mengambil satu labu, kemudian menyerahkan pada pemilik toko yang mereka singgahi.
Cloe mengelus dada. “Syukurlah tidak ketahuan.”
Dari posisi bulan di atas kepala, Cloe yakin sekarang waktu tengah malam. Dia berjalan tanpa tujuan, melirik sana sini pada gedung-gedung tinggi dihiasi gemerlap lampu. Pemandangan yang terkesan mewah.
“Ternyata suasana tangah malam di kota sama sekali tidak terasa sepi.”
Cloe menutupi kepala menggunakan handuk kecil yang tergantung di atas bahunya, ia cukup yakin wajahnya dapat mengundang masalah. Untunglah dia memakai celana panjang, dan kaos lusuh longgar. Tidak ada kesan menggoda sama sekali, baik secara sengaja ataupun tidak.
Seharusnya dia baik-baik saja selama tidak menarik perhatian.
Di depan ada gerombolan pemuda bermotor tengah menepi di sisi jalan, Cloe takut mereka pemuda bermasalah yang menguasai malam di kota ini. Anggap saja dia korban berita, kisah rusuh anak geng motor cukup sering didengar dalam kalangan masyarakat.
Berjarak tiga meter, Cloe melihat mobil hitam terparkir, bagisi belakangnya terdapat sedikit celah--tidak terkunci. Hatinya berkata untuk bersembunyi di sana sementara waktu, atau sampai mobil ini melewati gerombolan pemuda di depan sana.
‘Malam ini sepenuhnya aku menjadi ninja.’
Awalnya keadaan cukup tenang, detik selanjutnya dua orang masuk ke dalam mobil. Cloe bernapas secara hati-hati, entah memiliki keberanian dari mana, dia mengintip siapa, lalu tercengang melihat salah satu dari mereka memegang foto pria yang mobilnya tergores tadi siang di desa.
“Ini Elad Gahanim, ” ucap seseorang di bangku supir. “Bunuh dia dengan cara apapun selagi tidak melibatkan namaku.”
Mata Cloe terbelalak, pengeran idamannya memiliki musuh jahat. Apa yang harus ia lakukan? Mobil melaju sewaktu dia terguncang oleh informasi yang ia dapatkan. Sekarang otaknya menjerit memerintah untuk dia melarikan diri atau mati.
“Aku kasih 10% bayaranmu. Jika kau berhasil, aku berikan sisanya.”
“Apa dia seseorang yang merepotkan?”
“Sangat. Selain cerdas, dia terbiasa terjerumus dalam situasi berbahaya. Aku tidak heran jika kalian akan gagal di percobaan pertama nanti.”
“Baiklah.”
Tiba-tiba terdengar suara perut keroncongan, dua laki-laki itu saling melemparkan pandangan pada perut masing-masing.
“Kita baru saja makan. Kau lapar lagi?”
“Aku kira itu perutmu.”
Sekali lagi bunyi yang sama terdengar, serentak mereka melihat ke belakang. Mobil berhenti, mereka berdua saling menganggukkan kepala sebagai isyarat setelah tombol kunci otomatis ditekan.
‘Oh, sepertinya aku ketahuan. Dasar perut sialan.’
Kunci otomatis tidak berguna, karena pada awalnya bagasi belakang tidak rapat. Cloe cepat melebarkan jalan keluar, melarikan diri sebelum mereka dapat melihat wajahnya. Handuk di atas kepala cukup menyamarkan dirinya.
“Dia melihat wajah dan mendengar percakapan kita! Ayo kejar!”
Padahal ada cukup banyak kendaraan berlalu lalang, akan tetapi mereka tidak begitu memedulikan aksi kejar-kejaran ini. Bisa jadi mereka penasaran, namun hanya sebatas itu. Kehidupan di kota ternyata seabai ini, Cloe berteriak meminta tolong pun tetap percuma. Mereka tidak ingin ikut campur.
“Berhenti!”
‘Siapa orang bodoh yang akan berhenti?’
Cloe melihat ke belakang. Satu orang berbedan penuh otot mengejar, lalu mobil yang akhirnya bergeraklah membuat Cloe sesak napas. Siapa yang bisa berlari mengalahkan mobil? Jelas Cloe akan tertangkap, karena mobil itu dalam beberapa detik sudah menghadang di depan.
Supirnya akan keluar, menangkap Cloe dari sisi depan, kemudian di belakang ada pria berbadan besar.
Cloe mundur perlahan-lahan, ia berada di atas jembatan panjang. Dalam situasi terpojok seperti ini pun, dia menahan handuk di wajahnya.
“Siapa kau?” Dia maju, mencoba menangkap tangan Cloe. Akan tetapi Cloe tiba-tiba melompat melewati pembatas jembatan, terjun bebas ke bawah. “Hei!” pekiknya tak kalah terkejut.
Cloe melambung di udara, dalam waktu sekian detik, dia bertanya apa yang sedang ia lakukan saat ini. Dalam kegelapan tersebut, tubuh yang terlentang menghadap langit, membuat dia bisa melihat bintang lebih indah mungkin untuk terakhir kalinya.
Dia memejamkan mata kala kepala berada di posisi bawah, lalu kegelapan semakin pekat hingga ia sadar bahwa hari ini dia sudah sangat lelah.
Byur.
Cloe menembus permukaan air, barulah dia mencoba bertahan hidup dengan berenang secara mati-matian. Akan tetapi arusnya sangat deras, terlebih dia khawatir ada predator siap merobeknya.
‘Aku akan mati? Apa aku benaran akan mati?’
Dia kelelahan, paru-parunya terlalu banyak terisi air. Rasanya dia terbakar di kobaran api kendati berada di air, sulit bernapas, kemudian penglihatannya mulai memburam. Sebelum benar-benar hitam pekat, telinganya menangkap suara mesin namun dia hilang kesadaran lebih dulu sebelum menoleh ke belakang.
Bersambung....