Rania Alesha— gadis biasa yang bercita-cita hidup bebas, bekerja di kedai kopi kecil, punya mimpi sederhana: bahagia tanpa drama.
Tapi semuanya hancur saat Arzandra Adrasta — pewaris keluarga politikus ternama — menyeretnya dalam pernikahan kontrak.
Kenapa? Karena Adrasta menyimpan rahasia tersembunyi jauh sebelum Rania mengenalnya.
Awalnya Rania pikir ini cuma pernikahan transaksi 1 tahun. Tapi ternyata, Adrasta bukan sekedar pria dingin & arogan. Dia manipulatif, licik, kadang menyebalkan — tapi diam-diam protektif, cuek tapi perhatian, keras tapi nggak pernah nyakitin fisik.
Yang bikin susah?
Semakin Rania ingin bebas... semakin Adrasta membuatnya terikat.
"Kamu nggak suka aku, aku ngerti. Tapi jangan pernah lupa, kamu istriku. Milik aku. Sampai aku yang bilang selesai."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PCTA 29
"Adrasta, aku ingin tahu lebih banyak tentangmu," katanya pelan, matanya menatap langsung ke mata Adrasta.
Adrasta terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan apakah ia siap untuk membuka diri. Namun, melihat ketulusan di mata Rania, ia memutuskan untuk berbagi. "Aku tumbuh di keluarga yang... rumit," mulainya. "Ayahku seorang politikus dan juga pebisnis yang keras, ibuku meninggal saat aku masih kecil. Aku belajar untuk tidak terlalu bergantung pada orang lain."
Rania mendengarkan dengan seksama, merasakan beban yang selama ini dipikul Adrasta. la meraih tangan Adrasta, memberinya dukungan tanpa kata.
Malam itu, mereka menghabiskan waktu berbicara tentang masa lalu, mimpi, dan ketakutan mereka. Percakapan yang awalnya canggung berubah menjadi momen intim yang mempererat hubungan mereka. Hari-hari berikutnya di rumah terpencil itu diisi dengan rutinitas sederhana namun berarti. Mereka memasak bersama, berjalan-jalan di sekitar hutan, dan membaca buku di depan perapian.
Setiap momen kecil itu membuat mereka semakin dekat, membangun kepercayaan dan pengertian yang lebih dalam. Suatu sore, saat hujan turun dengan deras, listrik di rumah itu padam. Dalam kegelapan, Rania merasa cemas, namun kehadiran Adrasta di sisinya memberinya ketenangan. "Jangan khawatir, aku di sini," bisik Adrasta, meraih tangan Rania dan menggenggamnya erat.
Dalam kegelapan itu, mereka duduk berdekatan, merasakan kehangatan satu sama lain. Momen itu menjadi simbol dari hubungan mereka yang semakin erat, saling melindungi dan mendukung di tengah ancaman yang mengintai. Namun, di balik ketenangan itu, bayang-bayang Rey masih menghantui pikiran mereka.
Mereka tahu bahwa waktu mereka di rumah itu terbatas, dan mereka harus siap menghadapi kenyataan yang menanti di luar sana.
Meskipun demikian, mereka memutuskan untuk menikmati semua momen yang mereka miliki, membiarkan perasaan mereka terus tumbuh, dan berkembang di ketidakpastian. Karena di saat saat seperti itulah, mereka menemukan arti sejati dari cinta dan keberanian.
Pagi itu terasa begitu sepi. Hangatnya sinar matahari menerobos masuk dari sela-sela jendela kayu rumah sederhana itu. Udara pagi begitu sunyi, hanya terdengar suara burung-burung kecil di kejauhan. Rania perlahan membuka matanya. Matanya menyisir ruang kosong di sebelahnya. Kosong.
Tidak ada Adrasta. Tidak ada suara napas berat pria itu. Tidak ada kehangatan tubuh Adrasta yang biasanya selalu ada di sampingnya saat terbangun.
Dan seketika hatinya mencelos. "Adrasta?" panggil Rania panik, duduk cepat dari tidurnya. Dadanya mulai terasa sesak. Tatapannya berkeliling, mencari sosok Adrasta. Tapi sepi... tak ada jawaban.
Jantungnya langsung berdegup kencang.
Jangan bilang- Jangan bilang sesuatu terjadi. Jangan bilang Rey menemukan mereka.
Dengan langkah tergesa, tanpa alas kaki, Rania berlari keluar dari kamar. Matanya mencari ke segala arah. Ruang tamu, dapur, bahkan pekarangan kecil di belakang rumah-semuanya kosong.
"Adrasta..." Suara Rania bergetar. Tangannya bahkan mulai dingin karena panik. "Tuhan... jangan biarkan apa-apa terjadi padanya..."
Sampai akhirnya- Suara langkah kaki terdengar dari arah luar pagar kayu kecil. Rania membalikkan tubuhnya cepat. Matanya langsung membelalak begitu melihat sosok tinggi Adrasta baru saja berjalan masuk sambil membawa kantong plastik berisi makanan dan kebutuhan mereka berdua.
Pria itu tampak lelah... tapi masih utuh.
Masih hidup.
Masih ada.
Tanpa pikir panjang, Rania berlari menghampiri Adrasta. Seketika tubuhnya menerjang dada Adrasta dalam pelukan erat yang membuat pria itu terhentak kaget. "Rania...?" Adrasta membeku di tempat.
Tangannya otomatis terangkat, masih memegang kantong plastik, sementara tubuh mungil Rania memeluknya erat, begitu gemetar... seolah-olah baru saja kehilangan napas karena ketakutan.