Elise, Luca dan Rein. Mereka tumbuh besar disebuah panti asuhan. Kehidupan serba terbatas dan tidak dapat melakukan apa-apa selain hanya bertahan hidup. Tapi mereka memiliki cita-cita dan juga mimpi yang besar tidak mau hanya pasrah dan hidup saja. Apalah arti hidup tanpa sebuah kebebasan dan kenyamanan? Dengan segala keterbatasannya apakah mereka mampu mewujudkannya? Masa depan yang mereka impikan? Bagaimana mereka bisa melepaskan belenggu itu? Uang adalah jawabannya.
Inilah kisah mereka. Semoga kalian mau mendengarkannya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yeffa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32. Sapi atau domba?
Matahari terik menyinari wajah chubby Elise. Peluh membanjiri seluruh tubuhnya. Kaus lusuhnya menjadi basah oleh keringat. Rambut ungu yang tergerai sepundak menjadi lepek dan bau matahari. Tangan mungilnya terus mencabuti rumput yang tumbuh subur disekitar tanaman herba. Beberapa minggu yang lalu mereka sudah mulai menanam tanaman herba.
Namanya akar besar. Baik daun maupun akarnya dapat digunakan. Daunnya dapat dioleh sebagai potion sementara akarnya ditanam sebagai obat. Mereka mulai menanam berbagai macam jenis tanaman dikebun. Setelah transaksi dengan paman Josh tempo hari. Paman Josh meminta agar mereka mulai menanam tanaman lain yang bisa dijualnya di toko. Seperti ubi, wortel dan labu. Kini ada banyak jenis tanaman berukuran petakan kecil dikebun.
Luas lahan terus bertambah setiap minggunya. Saat ini lahan yang berhasil diperluas sebesar 350 meter² yang saat ini mereka kerjakan bertiga, walaupun kadang beberapa anak panti ikut membantu sukarela dengan bayaran beberapa apel ataupun cemilan yang kadang Elise beli saat pergi ke toko Paman Josh sebagai oleh-oleh. Mereka enggan dibayar dengan uang. Jadilah Elise mengikuti saja kemauan mereka.
"Kau sudah selesai Elise?" Tanya Luca dengan wajah dan tangan penuh tanah. Wajahnya juga bersimbah keringat.
"Belum. Rumputnya lebih banyak dibanding herba." Elise kesal, rumputnya terus tumbuh setiap hari membuat pekerjaannya bertambah. Tidak ada skill instan untuk mencabutnya. Jadilah Elise melakukannya secara manual. Dengan kedua tangannya.
"Kita harus menyelesaikannya hari ini juga Elise." Teriak Luca dari sudut kebun. Wajahnya terhalang oleh tumpukan rumput di depannya.
"Luca, bagaimana jika kita membeli seekor sapi atau domba. Kita suruh saja mereka memakan rumput ini. Jadi kita tidak usah mencabuti rumput ini." Elise memberi ide, Luca terlihat memikirkan ide sembarang Elise dengan serius.
"Boleh juga. Tapi kita tidak punya uang." Ujar Luca murung.
"Bagaimana jika kita menjual beberapa daging buruan kemarin. Atau kita olah saja menjadi makanan lalu dijual dipasar. Sebentar lagi kan festival malam diadakan. Jadi pasti banyak pengunjung." Sahut Elise asal.
Kemarin siang Erie kembali dengan tumpukan rusa dipunggung dan tiga ekor Giant boar di mulutnya. Mereka bertemu dibalik tembok luar dinding karena semua hewan itu tidak bisa dibawa masuk sekaligus kecuali dengan kantong Rein. Sehingga Elise harus memisahkan antara daging dengan bagian lainnya dengan skillnya. Kemudian dibalut dengan daun Turte barulah dimasukan kedalam kantong agar saat dikeluarkan dari kantong mereka tidak perlu membersihkannya lagi.
Erie sendiri bisa melewati lubang yang Rein gali karena tubuh Erie bisa menyesuaikan ukurannya sesuka hatinya. Jika sedang membawa hasil buruan maka Erie akan berubah menjadi serigala raksasa yang jika dibandingkan dengan hasil buruannya ukurannya tidaklah seberapa. Itulah sebabnya selama ini Erie tidak ketahuan oleh para penjaga dan juga penghuni panti lainnya.
"Bagaimana?" Tanya Luca memastikan. Rei yang sedang merebahkan badannya diatas tumpukan rumput mengangguk.
"Aku ikut saja." Jawab Rein singkat.
"Baiklah. Ayo tanyakan pada Carla."
"Ayo!" Mereka pun bergegas mencari keberadaan Carla yang masih sibuk dengan kegiatan memasaknya.
"Hai, kalian pasti lapar." Sapa Carla saat melihat mereka memasuki dapur dengan wajah kelelahan.
"Tentu, tapi ini tentang hal lain." Carla mengernyitkan keningnya bingung. Hal lain apa yang lebih penting dari perut lapar mereka? Fikir Carla bingung.
"Perihal apa lagi ini?"
"Kami ingin membeli seekor sapi atau domba Carla." Jawab Elise.
"Tapi, harga seekor domba itu 5 keping emas. Sedangkan sapi bisa mencapai 10 keping emas." Jawab Carla merenung.
"Bagaimana jika kita membeli anakannya saja. Pastilah lebih murah." Jelas Luca.
"Memang, tapi siapa yang akan merawatnya." jawab Carla terlihat berfikir. Apakah mereka masih memiliki waktu untuk hal itu?
"Kami saja bagaimana."
"Tapi kalian sudah sibuk dengan kegiatan berkebun. Bagaimana jika kalian kelelahan." Carla khawatir dengan semangat mereka yang melupakan bahwa umur mereka barulah lima tahun. Walaupun mereka bersemangat tetapi tetap saja ada batasan dalam kondisi fisik mereka saat ini.
"Kami tidak akan kelelahan. Lagipula ada anak-anak lainnya yang akan membantu bukan?" Tanya Rein.
"Mmm.. bagaimana ya? Aku ragu kalian bisa merawatnya. Karena ini membutuhkan waktu dan juga tenaga yang sama besarnya dengan berkebun. Tetapi bedanya ini mengorbankan nyawa. Jika kalian tidak bisa merawatnya hewan itu akan mati." Carla menjelaskan konsekuensinya.
"Kami janji Carla. Bagaimana?" Tanya Luca memohon.
"Aku akan berdiskusi dengan Bu Violet dulu. Kalian pergi mandi dan panggilkan anak-anak lainnya."
"Siap!" Jawab mereka serempak. Mereka pun melenggangkan kakinya pergi. Mereka harus menyelesaikan pekerjaan yang tertunda.
...****...
Disuatu malam tanpa bintang, Carla menyusuri lorong panti hanya dengan bermodalkan cahaya lilin yang remang-remang. Anak-anak panti lainnya sudah tertidur lelap. Carla baru kembali dari patroli, memastikan anak-anak panti dikamar masing-masing dan tidak berkeliaran kemanapun. Saat Carla mengintip satu persatu kamar mereka tampaknya sudah tidur dengan lelap. Sehingga Carla memilih untuk memutar arah berlawanan. Pergi menaiki tangga menuju kantor kepala Panti. Carla mengetuk pintu dengan sopan.
"Siapa?" jawab Bu Violet dari dalam.
"Ini Carla Bu." jawab Carla pelan. kemudian memasuki ruangan ketika dipersilakan. Bu Violet tampak sibuk mengurus pembukuan keuangan panti yang semakin menipis. Terlihat keningnya berkerut dalam membuatnya terdiam memperhatikan setiap gerakan anggun wanita tua itu.
"Ada perlu apa malam-malam begini Carla? Tidak biasanya kamu main ke ruang kerja tua ini tengah malam. Jika tidak ada sesuatu yang mendesak." Carla terdiam sejenak, mencoba merangkai kalimat terlebih dahulu sebelum mengucapkannya.
"Begini Bu. Kemarin Luca datang meminta izin untuk bisa membeli domba." ucap Carla pelan. Mencoba sebisa mungkin agar tidak menyakiti perasaan wanita didepannya. Entah karena apa jika membahas mengenai uang wanita tua itu sedikit sensitif. Carla pun tidak tahu alasan pastinya.
"Carla." hening sejenak sebelum Bu Violet kembali bicara dengan sedikit marah,"Kamu tahu keuangan kita? Tapi kamu terus membicarakan mengenai uang. Kita tidak bisa membantu apapun."
"Kamu terus saja membahas uang. Para bangsawan sudah tidak lagi berdonasi kepada kita. Kamu tahukan jika kita harus menutup panti dalam tiga bulan jika tidak ada pemasukan sama sekali." Carla terdiam mendengarkan setiap kata menusuk yang dilontarkan oleh Bu Violet kepadanya.
"Saya juga sedang berusaha untuk tetap mempertahankan panti ini. Bagaimanapun panti ini warisan dari mendingan Ibuku. Jadi berikan aku waktu untuk mencari solusinya. atau jika perlu kamu bantu mencarinya. Bukan malah menambahkan masalah!!" bentak Bu Violet dengan setengah berteriak.
"Aku bahkan sudah mengadaikan warisan mendiang ayahku untuk mempertahankan panti ini." Bu Violet meremas lembaran kertas didepannya.
"Baik Bu. Maafkan saya. Saya akan bicarakan kepada anak-anak agar masalah ini tidak terjadi lagi." Jawab Carla dengan wajah tertunduk. Hatinya sedih, dirinya hanya ingin membantu anak panti sebisanya tapi sepertinya Bu Violet sedang tidak dalam kondisi bisa diajak diskusi.
"Kalau begitu saya permisi." Carla pergi meninggalkan ruangan menyisakan rasa hampa. Anak-anak itu bahkan tidak meminta Bu Violet untuk membantu mengeluarkan uang mereka hanya perlu izin. Tapi entah kenapa Bu Violet bahkan enggan memberikannya izin. Carla pun memutuskan untuk kembali ke kamarnya dan tidur. Melampiaskan kesedihan dan kekesalan dihatinya.