Tak kunjung garis dua, Inara terpaksa merelakan sang Suami untuk menikah lagi. Selain usia pernikahan yang sudah lima tahun, ibu mertuanya juga tak henti mendesak. Beliau menginginkan seorang pewaris.
Bahtera pun berlayar dengan dua ratu di dalamnya. Entah mengapa, Inara tak ingin keluar dari kapal terlepas dari segala kesakitan yang dirasakan. Hanya sebuah keyakinan yang menjadi penopang dan balasan akhirat yang mungkin bisa menjadi harapan.
Inara percaya, semua akan indah pada waktunya, entah di dunia atau di akhirat kelak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Oktafiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32. Khawatir?
"Kamu mau tahu apa yang buat Mama benci sama kamu?" tanya Bu Azni tanpa ingin menatap Nara.
"Apa?" tanya Nara singkat.
"Karena kamu, Mama kehilangan Arjuna. Semenjak menikah denganmu, dia lebih perhatian ke kamu. Mama tidak suka hak Mama diambil. Dan memang sejak dulu, Mama tidak pernah suka denganmu yang sok suci dan ekslusif," ucap Bu Azni begitu lancar seakan tanpa beban.
"Mama! Kenapa Mama selalu mengungkit hal yang telah berlalu? Lagi pula, Kak Arjuna kini sudah berubah menjadi lebih baik semenjak ada Mbak Nara. Berarti, kedatangan Mbak Nara membawa hal positif di hidup Kak Arjuna." Beta ikut menyela pembicaraan sang Mama.
Bu Azni langsung terkekeh sinis. "Kini, kamu pun ikut membela dia."
Beta menghela napas pelan. "Coba buka hati Mama sedikit saja. Pasti Mama akan melihat kebaikan Mbak Nara. Mbak Nara bahkan rela menemani Mama ketika terbaring sakit. Jika aku jadi Mbak Nara, sudah pasti aku akan bahagia melihat Mama jatuh sakit," ucap Beta begitu menggebu-gebu.
Nara menatap Beta lalu menggelengkan kepala agar Beta tak lagi meneruskan kalimat yang justru akan menyakiti perasaan sang Mama. Beruntung, Beta menurut dan memilih untuk duduk kembali.
Bu Azni kini yang terdiam dengan tatapan kosong. Nara yang melihat itu, hanya mampu menghela napas pelan. Mencoba menguatkan lagi sabar di hatinya. Melihat pecahan gelas yang masih berserakan, Nara memilih keluar untuk mengambil sapu.
Ketika keluar, keadaan lorong sangat sepi hingga sedikit membuat Nara merinding. Namun, dia percaya jika Allah akan melindunginya. Ruangan untuk meletakkan alat-alat kebersihan berada di ujung lorong.
Setelah melihat apa yang diinginkan, Nara membawanya ke ruangan dan mengambil pecahan kaca satu per satu. Setelah bersih, dia kembali melirik Bu Azni yang ternyata sudah kembali terlelap.
Nara melirik Beta yang sedang memainkan ponsel. "Beta? Mbak pulang dulu ya? Mbak merasa tidak enak dengan Mama bila terus berada di sini," pamit Nara yang membuat raut wajah Beta mendadak murung.
"Kenapa pulang, Mbak? Ini kan sudah malam," cegah Beta tidak ingin Nara pulang.
"Tidak. Mbak pulang saja daripada kehadiran Mbak membuat Mama terganggu waktu istirahatnya. Sekalian Mbak akan panggil suster yang shift malam. Mama sampai lupa belum di periksa." Nara kini sudah merapikan barang-barang bawaan termasuk mukenah.
"Mbak pulang dulu ya? Jaga Mama baik-baik. Besok biar Kak Arjuna yang datang," sambung Nara yang sudah bersiap untuk pergi.
"Mbak? Tapi ini sudah malam," rengek Beta dengan bibir yang mengerucut.
Nara tersenyum. Baru mengetahui jika Beta juga bisa manja dengannya. Ini adalah sebuah kemajuan sepanjang sejarah menjadi kakak ipar. Saat mulut Nara akan terbuka untuk menjawab rengekan Beta, suara Bu Azni kembali terdengar.
"Ini sudah malam. Kamu mau menyusahkan Arjuna seandainya di jalan kenapa-napa?" ketusnya yang membuat Nara dan Beta sontak saling melempar pandang.
"Tidurlah di sini. Kamu ikhlas tidak sih, menjaga Mama," ketus beliau lagi yang membuat Nara tersenyum lebar, begitu juga Beta.
Secara tidak langsung, Bu Azni mengungkapkan rasa khawatirnya walau dengan cara dan intonasi yang berbeda. Tidak mengapa. Itu sebuah kemajuan untuk Nara.
"Baiklah. Aku akan tetap di sini. Kalau begitu, Mbak panggil suster dulu untuk memeriksa Mama." Setelah berucap demikian, Nara keluar lagi dengan membawa sapu dan serokan berisi pecahan kaca. Dia menaruh di sebelah tong sampah agar besok di buang oleh petugas kebersihan.
"Sus? Mama saya sudah siuman. Bisa minta tolong periksa keadaanya?" tanya Nara ketika tiba di depan meja resepsionis. Petugas rumah sakit itu masih terjaga dengan komputer menyala.
"Baik, Bu. Sebentar lagi teman saya akan kesana ya. Mohon di tunggu," jawabnya sambil tersenyum ramah.
Nara mengangguk dan kembali lagi ke ruangan demi menunggu suster yang datang.
Sedangkan di tempat lain, Arjuna terbangun dari tidurnya. Dia tidak bisa benar-benar tidur nyenyak setelah mendengar penjelasan dari Nara tentang kehamilan Beta. Sebagai seorang kakak, dia sungguh telah gagal menjaga Beta.
Kini, dia harus bersikap seperti apa? Jika ingin menikahkan Beta, mana ada laki-laki yang mau dengan perempuan hamil di luar nikah?
Kepala Arjuna benar-benar pening. Yang harus dia lakukan adalah mencari ayah biologis dari anak yang di kandung Beta. Mirisnya jika anak itu terlahir sebelum pernikahan, nasabnya berantakan. Apalagi jika anaknya perempuan.
Huh! Sungguh Arjuna menjadi resah memikirkan. Belum lagi masalah kakaknya yang kini di penjara juga sang Mama yang sedang terbaring sakit. Tidak mungkin Arjuna mengambil keputusan tanpa restu Mama lebih dulu.
Bagaimana pun, Mama harus tahu dengan kondisi Beta saat ini. Cepat atau lambat, beliau harus tahu.
Arjuna tersentak ketika merasakan ada sebuah tangan yang memeluk perutnya. Siapa lagi jika bukan Nadya. Arjuna menatap wajah Nadya yang tampak damai. Ada perasaan bersalah yang menelusup dalam kalbu karena sampai saat ini, tidak bisa mencintai istri keduanya itu.
Sejak awal dia memang sudah mengatakan jika cintanya sudah habis untuk Nara. Arjuna juga jujur jika dia mau menikahi Nadya karena desakan dari Mama. Hal itu nyatanya tak membuat Nadya mundur.
Berdosakah Arjuna karena rasa cintanya berat sebelah? Tepatnya, lebih condong ke Nara.
'Maafkan aku, Nadya.' ucap Arjuna dalam hati.
Bahkan ketika sedang bersama Nadya, justru wajah Nara lah yang menghantui. Segala tentang Nara, Arjuna sangat menyukainya. Termasuk senyum manis penuh kehangatan hingga mampu menenangkan perasaan Arjuna yang sedang bergejolak.
"Semoga, satu per satu masalah bisa di hadapi. Bismillahirrahmanirrahim," gumam Arjuna seraya menatap langit-langit kamar.