Permintaan Rumi untuk mutasi ke daerah pelosok demi menepi karena ditinggal menikah dengan kekasihnya, dikabulkan. Mendapatkan tugas harus menemani Kaisar Sadhana salah satu petinggi dari kantor pusat. Mereka mendatangi tempat yang hanya boleh dikunjungi oleh pasangan halal, membuat Kaisar dan Rumi akhirnya harus menikah.
Kaisar yang ternyata manja, rewel dan selalu meributkan ini itu, sedangkan Rumi hatinya masih trauma untuk merajut tali percintaan. Bagaimana perjalanan kisah mereka.
“Drama di hidupmu sudah lewat, aku pastikan kamu akan dapatkan cinta luar biasa hanya dariku.” – Kaisar Sadhana.
Spin off : CINTA DIBAYAR TUNAI
===
follow IG : dtyas_dtyas
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CLB - Sudah Mandi?
Malam itu Kaisar lewati dengan berat. Dingin yang dipikir biasa saja ternyata luar biasa. Bahkan cardigan yang dia pakai dan kain sarung tidak dapat menghalau rasa dingin.
Ingin minum yang hangat, dia hanya mendapatkan kopi rentengan dan teh c3lup juga tumpukan gelas kertas di samping dispenser. Malam tadi mendadak ia merindukan kopi yang biasa dia minum di kedai premium.
“Hah.” Kaisar mengusap wajahnya. Rambut sudah pasti berantakan tidak karuan, entah wajahnya seperti apa mungkin saja terlihat lelah karena tidurnya sangat tidak nyenyak.
“Sepertinya aku harus mandi air hangat,” seru Kaisar. Kemarin sore ia hanya berganti baju dan tidak mandi. Saat berada di toilet, menyadari tidak ada shower apalagi bathup. Hanya ada ember besar dengan keran juga gayung dan bak yang tergantung di salah satu dinding. Saat buang air kecil tadi malam, dia tidak menyadari itu.
“Busyet, dingin banget,” keluh Kaisar saat membuka air kran dan bingung bagaimana memindahkan menjadi air hangat. Dari pada bingung, ia pun teringat Rumi.
“Halo,” sapa Rumi di ujung sana. Terdengar suaranya yang serak, mungkin juga baru bangun tidur.
“Ini aku,” ujar Kaisar lalu terdiam. “Bagaimana mengeluarkan air hangat, airnya dingin sekali. Aku putar-putar krannya tetap saja yang keluar dingin,” tutur Kaisar dan terdengar hela di ujung sana.
“Bapak putar bolak balik itu kran sampai lebaran, nggak akan bikin air yang keluar jadi hangat. Tidak ada penghangat air otomatis di sana. Kalau bapak mau mandi air hangat, ya masak dulu.”
“Hah, masak dulu? Serius kamu?”
“Serius pak, nggak mungkin saya bercanda sama bapak. Ada panci dan kompor gasnya, kalau sudah panas bapak tuang saja ke bak kosong lalu tambahkan air dingin. Kalau bapak kebingungan sekarang, berarti semalam nggak mandi. Jangan sampai pagi ini juga nggak mandi ya pak, nanti nggak ganteng lagi loh,” tutur Rumi di ujung sana dan Kaisar rasanya hendak mengumpat.
“Nanti setengah delapan ada yang jemput bapak untuk sarapan dan ke kantor.”
Rumi pun pamit mengakhiri panggilan.
“Eh, tunggu dulu,” teriak Kaisar dan panggilan sudah berakhir. “Hah, si4l!”
Kaisar memandang kompor gas dan panci yang dijelaskan Rumi, lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Jangankan kutu, ketombe pun malu untuk muncul di kepala Kaisar yang produk untuk membersihkan rambutnya bukan kaleng-kaleng.
“Kalau Arya dan Reno tahu perjuangan mandi aku kayak gini, bisa jadi pembahasan sampai kiamat. Apa nggak mandi aja ya, tapi si cumi udah ngancem harus mandi. Tuh cewek kenapa sih.”
Jam setengah delapan, sudah ada yang menjemput Kaisar. Berpikir ada Rumi ikut menjemput nyatanya tidak ada. Kaisar diajak menuju rumah makan sederhana, sudah ada Medi di sana. Pria itu sempat menanyakan tidur Kaisar tadi malam dan hanya dijawab dengan “biasa saja” meski Kaisar ingin menjawab, “Menurut lo, gue bisa tidur di tempat dan cuaca begini.”
“Pagi ini saya sudah jadwalkan briefing dengan semua staf harian di kantor, biar mereka kenal dengan Mas Kaisar. Setelah itu, saya akan laporkan perkembangan proyek selama ini dan kendala yang ada.”
“Hm.”
Kaisar menyesap teh manisnya setelah menikmati semangkuk lontong sayur, berharap perutnya tidak mules karena sepagi ini sudah mendapatkan menu santan. Ia menggeser layar ponsel, ada pesan dari Johan.
Om Johan : Nggak ada keluhan, kayaknya betah di sana ya
Gimana mau mengeluh, semalam sinyal ponselnya kembang kempis membuat Kaisar gagal dengan rencana mengganggu Johan menelpon di tengah malam.
Kaisar : Jemput gue!!!!!
Entah bagaimana raut wajah Johan saat membaca balasan pesan darinya, tidak lama ada lagi pesan masuk.
Om Johan : Belum waktunya. Kayak Jailangkung aja datang nggak dijemput pulang nggak diantar
“Anjritt,” gumam Kaisar.
“Eh, iya, Mas?” tanya Medi mendengar gumaman Kaisar.
“Kita jalan sekarang,” ajak Kaisar sudah berdiri.
***
Mobil sudah berhenti di depan kantor, Kaisar turun dan memandang gedung tersebut. Bangunan dua lantai, lebih mirip ruko. Bisa dipastikan pagarnya tidak bisa dikunci dan tidak terlihat satpam di sana.
“Mari Mas Kaisar,” ajak Medi.
Ada satu mobil SUV lainnya dan beberapa motor. Saat melewati pintu kaca ada meja di sana. Mungkin diperuntukan untuk bagian informasi.
“Cep, sini kamu,” titah Medi.
Dari seragamnya seperti cleaning service, pria bernama Cecep menghampiri Kaisar dan Medi.
“Ini Mas Kaisar, orang pusat. Jabatannya tinggi, cium tangan kamu.”
Saat Cecep hendak mengambil tangan Kaisar untuk dicium, pria itu langsung menolak.
“Tidak usah, kamu bukan murid saya,” cetus Kaisar.
Medi terkekeh. “Bercanda mas. Kamu lanjut bersih-bersih, mana tahu Mas Kaisar rekomendasikan kamu naik jabatan.”
“Iya Pak, saya bersih-bersih lagi. Mudah-mudahan saya bisa naik jabatan jadi direktur.”
Kaisar hanya bisa menghela nafas mendengar harapan Cecep. Ada apa dengan orang-orang ini, sangat aneh pikirnya.
Ada ruangan di mana banyak meja dan beberapa orang yang langsung disebutkan namanya oleh Medi dan bersalaman dengan Kaisar.
“Sudah menikah Mas?” tanya salah satu staf.
“Oh, belum. Saya masih single.”
Si penanya langsung menunjukan wajah berbinar dan menyisir rambutnya dengan tangan. Medi juga mengenalkan dengan Ibu Eni, bagian keuangan yang disebut dengan menteri keuangan.
Masih berjalan bersisian sambil Medi terus mengoceh setelah mengenalkan semua tim yang pagi ini ada di kantor.
“Setiap hari tim inti yang stand by ya segini ini, sisanya ‘kan kerja di lapangan. Kadang saya juga harus ke lapangan.”
Medi membuka lebar pintu ruang rapat, sudah ada Rumi di sana. Berdiri membelakangi arah pintu sedang memastikan proyektor berfungsi.
“Silahkan, Mas Kaisar.” Medi menunjuk kursi rapat paling ujung yang biasa ditempati olehnya dan sering marah kalau ada yang menduduki, kali ini mau tidak mau ditempati Kaisar yang jabatannya lebih tinggi.
“Rum, panggilkan yang lain.”
Rumi menoleh lalu menatap Kaisar dengan memicingkan matanya.
“Pak Kaisar, sudah mandi ‘kan?”
“Eh.”