Sekar Arum (27) ikut andil dalam perjanjian kontrak yang melibatkan ibunya dengan seorang pengusaha muda yang arogan dan penuh daya tarik bernama Panji Raksa Pradipta (30). Demi menyelamatkan restoran peninggalan mendiang suaminya, Ratna, ibu Sekar, terpaksa meminta bantuan Panji. Pemuda itu setuju memberikan bantuan finansial, tetapi dengan beberapa syarat salah satunya adalah Sekar harus menikah dengannya dalam sebuah pernikahan kontrak selama dua tahun.
Sekar awalnya menganggap pernikahan ini sebagai formalitas, tetapi ia mulai merasakan sesuatu yang membingungkan terhadap Panji. Di sisi lain, ia masih dihantui kenangan masa lalunya bersama Damar, mantan kekasih yang meninggalkan perasaan sedih yang mendalam.
Keadaan semakin rumit saat rahasia besar yang disembunyikan Panji dan adik Sekar muncul kepermukaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DENAMZKIN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LANTAI DANSA
Sekar dengan saksama mengamati ruangan, matanya mencari sosok yang dia tunggu. Dia harus ada di dekat sini. Sensasi itu kembali muncul, membuatnya terkejut. Dia meletakkan kedua tangannya di atas meja bar, membiarkan getaran halus menyelimuti dirinya. Panas mulai menjalar, memaksa Sekar menarik napas dalam-dalam sambil merapatkan kedua pahanya.
Ketika ponselnya menyala, menunjukkan panggilan masuk, dia terdiam. Nama Panji tertera di layar, dan seketika dia merasakan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan menyelinap ke dalam dirinya.
Sekar mengangkat telepon itu ke telinganya sambil menarik napas dalam-dalam.
"Kamu merindukanku?" suara Panji di seberang telepon terdengar lembut, menambah sensasi yang ia rasakan.
Tenggorokannya terasa kering, detak jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya.
"Aku sedang rapat," kata Sekar dengan nada tegas, mencoba mempertahankan kemarahan dan mengabaikan efek suara Panji terhadap dirinya.
"Tidak lagi," jawab Panji dengan senyuman yang terdengar jelas dalam suaranya. Sekar membuka matanya, kembali memeriksa ruangan untuk menemukannya.
"Kamu terlihat memukau malam ini," ujar Panji dengan suara lembut seperti bisikan.
Nada suara itu hampir membuat Sekar ingin menyerah, tapi jarak emosional yang dia rasakan terlalu besar untuk diabaikan.
"Aku akan melepas benda ini," katanya sambil mendorong kursinya ke belakang untuk berdiri. Tekanan yang dia rasakan sedikit berkurang, tapi gelombang sensasi yang terus menghantam tubuhnya masih terasa kuat.
"Mungkin aku bisa membantumu dengan itu," balas Panji, nadanya seperti menggoda, hampir menantang Sekar untuk kehilangan kendali di depan banyak orang. Tapi Sekar tidak mau kalah. Dia tetap tenang, menunjukkan bahwa dirinya pantas menjadi pendamping Panji. Meskipun dia tahu Panji tidak akan sering mempermainkannya seperti ini di depan umum.
Sekar menghela nafas pelan, mencoba menyembunyikan perasaan campur aduk antara kegembiraan dan frustasi. Dia harus segera menjauh, mencari tempat aman sebelum kewarasannya hilang dan dia menyerah pada perangkat yang terus bergetar di antara pahanya.
"Jauhi aku!," ucap Sekar dengan suara pelan sambil meraih tasnya dan berjalan menuju kamar kecil, matanya tetap waspada mencari keberadaan Panji.
Tawa kecil terdengar di belakangnya. Sekar berbalik dan langsung bertatap muka dengan Panji. Dia tersenyum sambil mematikan panggilan di ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku.
"Sepertinya sudah terlambat untuk itu," katanya.
"Cepat matikan," kata Sekar sambil mengangkat dagunya dan menjaga bahunya tetap tegak. Mata coklat Panji tampak lebih berbahaya di bawah pencahayaan bar, dan meskipun perbedaan tinggi mereka hanya beberapa inci, Sekar merasa kecil, feminin, dan tak berdaya di hadapannya.
"Kenapa tidak memaksaku saja?" balas Panji dengan senyum main-main.
Sekar mendengus, memasukkan ponselnya ke dalam tas kecil, dan berbalik untuk pergi. Baru saja melangkah dua kali, Panji meraih tangannya dan membawanya ke lantai dansa yang gelap. Demi menjaga penampilan di depan orang-orang, Sekar mengikutinya dengan wajah tertunduk, tubuhnya bersembunyi di belakang Panji saat mereka bergabung dengan kerumunan kecil di lantai dansa. Tangan kirinya melingkar di pinggang Sekar, sementara tangan kanannya menggenggam tangan kirinya.
"Jika kamu bisa melakukan sesuatu padaku, apa yang ingin kamu lakukan?" tanya Panji.
Senyum Sekar berubah menjadi garis tipis. Matanya melirik ke sekitar, melihat orang-orang yang menikmati makanan dan minuman mereka. Kemudian, tatapannya turun ke kemeja Panji, tiga kancing atasnya terbuka, memperlihatkan sedikit kulit, dan aroma cendana menguar darinya.
"Apa kamu yakin itu hal yang ingin kamu ketahui?" balas Sekar, mengangkat alis.
"Lihat aku!" perintah Panji sambil memindahkan tangan kiri Sekar ke bahunya. Tangan kanannya perlahan turun menyusuri tubuh Sekar hingga berhenti di pinggulnya. Dia memberikan sedikit tekanan, membuat Sekar terkejut dan akhirnya mendongak menatapnya.
"Berhenti melawanku," desaknya.
"Kalau begitu, berhenti memperlakukanku seperti mainan" balas Sekar dengan suara pelan namun tajam.
Panji tersenyum miring, lalu menundukkan kepalanya dan mencium leher Sekar. Rambut Sekar harum, terasa tebal dan halus seperti sutra di pipinya. Panji ingin sekali menyelipkan tangannya ke rambut itu, menariknya, dan mendengar Sekar terengah.
"Aku tidak bisa menahan diri," bisiknya.
"Tubuhmu diciptakan untuk ga irah. Aku ingin mengangkatmu ke dinding dan berc inta denganmu sampai kamu tidak bisa berdiri tanpa tanganku menopangmu." Untuk mempertegas ucapannya, Panji menarik Sekar lebih dekat hingga tubuh mereka saling menekan, membuat Sekar tidak bisa menghindari merasakan kekerasan tubuhnya.
Sekar memejamkan mata saat tangan Panji menjelajahi punggung bawahnya. Setiap sentuhan Panji seperti meninggalkan bara kecil yang membakar kulitnya, dan Sekar yakin tubuhnya mulai berkeringat akibat panas yang terpancar dari pria itu.
"Orang-orang melihat," bisiknya pelan sambil lebih mendekat ke Panji. Getaran lembut dari alat itu masih terasa, membuatnya basah dan licin. Ditambah lagi kata-kata Panji barusan, semua itu menambah api kecil yang sudah menyala dalam dirinya.
Mengikuti irama musik, Sekar menggoyangkan tubuhnya perlahan sambil bersandar pada Panji, takut lututnya akan melemas sewaktu-waktu.
"Orang-orang akan tetap melihat, jadi kenapa tidak kita berikan mereka sesuatu yang tidak akan mereka lupakan," bisik Panji di telinganya.
Hembusan napasnya terasa hangat dan lembut, seperti sentuhan ringan yang membelai. Saat Sekar menarik diri untuk menatapnya, bibir Panji langsung menempel pada bibirnya, membuatnya terkejut. Panji beraroma scotch—dingin namun dengan sensasi hangat yang membakar saat turun ke tenggorokannya. Hal tentang ciuman Panji adalah, tidak peduli berapa kali dia mengalaminya, itu selalu terasa lebih baik dari yang bisa dia bayangkan. Begitu luar biasa hingga dia merasa tekad dan pertahanannya mulai goyah, meskipun dia mencoba mempertahankannya. Tak mampu menahan diri, Sekar membalas, membuka bibirnya sambil menggunakan kedua tangan untuk menahan diri dengan mencengkram ujung jas Panji. Tangan Panji naik ke bagian belakang lehernya, ibu jarinya mengusap lembut kulit di sana, membuatnya bergetar.
Ketika Panji tersenyum di sela ciuman mereka, Sekar memarahi dirinya sendiri dalam hati karena menyerah pada permainannya. Namun, tekadnya semakin pudar seiring dengan tekanan yang terus meningkat di tubuhnya. Dia merapatkan kedua pahanya, merasa gelombang sensasi yang begitu kuat membangun dirinya. Tubuhnya kini sepenuhnya melekat pada Panji, keduanya berdiri diam di lantai dansa, bibir mereka saling menjelajahi dengan lembut. Tangan Panji terbuka, menempel pada kulitnya, menyebarkan kehangatan ke tempat-tempat yang dia butuhkan.
Sekar menempel erat pada tubuh Panji. Tangannya terjepit di antara mereka, seolah berusaha melawan namun berhenti sebelum benar-benar mencoba. Ada sesuatu yang akrab dari keintiman ini—panas asing yang berputar seperti pusaran di pusat tubuhnya, semakin dalam dan terfokus dengan setiap gesekan lembut bibir Panji pada bibirnya.
"Aku ingin mendengar des ahanmu," bisik Panji pelan saat menarik diri sejenak dari bibirnya.
Erangan lembut yang lolos dari bibir Sekar adalah undangan yang cukup bagi Panji. Tangannya mengencang di pinggul dan rambut Sekar. Geraman rendah kepuasan Panji bercampur dengan nafasnya sesaat sebelum serangan lembut dari lidahnya kembali, sebuah klaim yang mendalam, terlalu kuat, langsung, dan terlalu intens untuk diabaikan. Sekar akhirnya mencengkeram Panji lebih erat, tubuhnya menekan erat tubuhnya, meskipun Panji terus menariknya lebih dekat. Namun itu tetap belum cukup untuk keduanya.
Panji meraih bagian bawah tubuh Sekar dengan sentuhan tegas yang menggodanya, lalu memegang bagian belakang pahanya dan mengangkatnya ke sisi luar kakinya. Di sudut pikirannya, Sekar tahu semua alasan mengapa ini adalah ide buruk. Tapi saat ini, dia tidak peduli. Dia tidak bisa berhenti, tidak bisa mundur sekarang setelah sejauh ini.
Mulut Panji yang penuh gairah turun ke rahang dan leher Sekar, menjilat, menghisap, dan menggigit lembut titik sensitifnya hingga Sekar mendongakkan kepalanya. Tangannya gelisah, meremas kain kemeja Panji di antara mereka.
"Sekar," bisik Panji dengan suara begitu rendah hingga Sekar nyaris tidak mendengarnya. Dia mendesah, napas panasnya membelai kulit Sekar, sama memabukkannya dengan friksi bibir mereka.
"Sayang, ini akan terasa luar biasa. Katakan kamu menginginkannya."
"Ya," Sekar mendesah, merasakan tekanan yang membuat jemarinya gemetar. Dia hampir tidak percaya bahwa Panji membuatnya hampir kehilangan kendali, di lantai dansa, di tengah kerumunan orang yang menari tanpa menyadari apa yang terjadi di sekitar mereka.
"Ya, ya, ya, kumohon. Aku menginginkanmu," bisiknya serak saat tangan Panji meluncur di kulit pahanya. Bibir Panji kembali ke lehernya, mencicipinya sekali, dua kali, hingga Sekar menggenggam rambutnya, dan panas cair meledak dalam dirinya. Tubuhnya bergetar, nafasnya terengah, terhenti oleh gelombang kebutuhan tajam yang mendalam.
Panji segera menahan erangan Sekar dengan ciumannya, menjaga rahasia mereka tetap tersembunyi di tengah keramaian. Sekar menggigil dalam pelukannya, tubuhnya lemas setelah ledakan sensasi itu. Tubuh Panji yang keras menekan tubuhnya, dan ketika Sekar bergerak sedikit, Panji men gerang dalam kebutuhan yang sama besarnya. Tanpa membuang waktu, dia merogoh sakunya, mematikan perangkat yang sebelumnya membuat Sekar kehilangan kendali, lalu menariknya keluar dari lantai dansa. Mereka berjalan melewati lobi yang ramai menuju lift.
"Kita mau ke mana?" tanya Sekar dengan napas tersengal, mencoba mengendalikan kakinya yang masih gemetar.
"Ke kamar kita," jawab Panji sambil menekan tombol lantai mereka.
jangan lupa mampir di novel baru aku
'bertahan luka'