Nabila Althafunisa tiba-tiba saja harus menikah dengan seorang pria bernama Dzaki Elrumi Adyatama, seorang pria yang usianya 10 tahun lebih muda darinya yang masih berstatus mahasiswa di usianya yang sudah menginjak 25 tahun. Dzaki tiba-tiba saja ada di kamar hotel yang Nabila tempati saat Nabila menghadiri pernikahan sahabatnya yang diadakan di hotel tersebut.
Anehnya, saat mereka akan dinikahkan, Dzaki sama sekali tidak keberatan, ia malah terlihat senang harus menikahi Nabila. Padahal wanita yang akan dinikahinya itu adalah seorang janda yang memiliki satu putra yang baru saja menjadi mahasiswa sama seperti dirinya.
Siapakah Dzaki sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalalati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24: Permintaan
Kemudian di sore hari, Nabila pun pamit.
"Makasih ya Mah, Pah. Saya pulang dulu." Nabila mencium tangan kedua mertuanya.
Kemudian Dini memeluk sang menantu. "Sama-sama. Sering-sering ke sini ya, Bil."
"Insyaa Allah, Mah. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," sahut keduanya.
Dzaki dan Nabila pun keluar dari rumah itu dan masuk ke dalam mobil yang pintunya sudah Dzaki buka.
Dzaki mengitari kap mobil, dan tepat saat itu, datang sebuah mobil dan parkir di sebelah mobil Dzaki. Seorang perempuan muda keluar dari mobil itu.
"Siapa itu ya?" tanya Nabila heran.
Perempuan itu begitu cantik dan fashionable. Ia menghampiri Dzaki dan bersiap memberi salam pada Dzaki dengan mengecup pipinya. Namun Dzaki segera mencegahnya.
"Le, lu udah gak bisa kayak gitu lagi sama gua," ujar Dzaki. "Gue udah nikah."
"Nikah?!" Perempuan itu begitu terkejut. "Maksud Kak Dzaki gimana?"
"Iya. Istri gua ada di dalem." Dzaki mengarahkan dagunya pada Nabila yang berada di dalam mobil. Sontak perempuan itu menatap ke arah Nabila.
Ia sangat syok, bahkan Nabila bisa melihat kedua manik perempuan itu berkaca-kaca. Nabila semakin bertanya-tanya, siapa perempuan itu?
"Nyokap gua ada di dalam. Lu ke sini mau ketemu nyokap, 'kan? Gua pergi," pamit Dzaki meninggalkan perempuan yang masih mematung menatap ke arah Nabila.
Kemudian mobil pun sudah melaju meninggalkan rumah itu. Nabila yang penasaran pun bertanya, "Mas, siapa perempuan barusan?"
"Dia anaknya sahabat Mama. Dari kecil aku sama dia udah saling kenal. Mama sama sahabatnya itu suka ketemuan kan. Dan kalau ketemu, mereka suka ngajakin aku sama dia. Aku sama dia cukup deket. Umur kita juga gak beda jauh. Dia lebih muda tiga tahun dari aku. Tapi belakangan dia bilang katanya dia punya rasa sama aku, Yang. Aku gak gubris dia karena dari dulu aku cuma anggap dia temen aja. Gak lebih."
Nabila mengangguk paham. "Oh gitu."
"Kenapa? Kamu cemburu?" goda Dzaki.
Nabila tersenyum gemas. "Ya enggak dong, Mas. Masa gitu aja aku cemburu? Oh ya, Mas boleh anter aku dulu ke obgyn gak?"
"Obgyn?" tanya Dzaki.
"Iya, Mas. Aku pengen periksa aja, apa aku sehat dan masih memungkinkan buat hamil," keluh Nabila khawatir.
"Ya ampun, Yang. Kamu gak usah terlalu mikirin ucapan Mama sama Papa. Aku yakin kamu sehat. Kamu selama ini aja makannya dijaga banget. Udah gak usah ke obgyn segala ya?" bujuk Dzaki, ia merasa tak enak juga pada sang istri. Nabila pasti kepikiran dengan ucapan kedua orang tuanya.
"Aku cuma pengen mastiin aja. Kalau kita mau aku hamil, aku gak bisa nunda lagi. Umur aku terus bertambah dan semakin tua akan semakin sulit untuk hamil, Mas."
"Tapi cuma cek aja ya? Gak usah minta program yang macem-macem. Kita konsultasi aja dan aku yakin kamu akan bisa hamil secara alami."
"Iya, Mas. Aku cuma pengen cek aja," ujar Nabila meyakinkan.
Dzaki menghela nafasnya. "Yang, bagi aku, bisa nikahin kamu aja udah satu hal yang membahagiakan buat aku. Aku gak apa-apa kalau kita gak punya anak juga. Aku bener-bener gak apa-apa. Malah rasanya aku terlalu serakah kalau aku pengen punya anak dari kamu. Allah udah dengan baiknya mengubah mustahilnya hubungan kita jadi kenyataan kayak sekarang. Aku gak akan minta lebih, karena aku udah merasa cukup sekarang."
Nabila menatap penuh syukur pada sang suami. "Makasih ya, Mas. Tapi kalau Mas ingin seorang anak dari aku, itu bukan serakah, Mas. Itu suatu kewajaran. Pernikahan itu akan terasa lengkap jika ada seorang bayi yang hadir di tengah-tengahnya. Aku akan berusaha, Mas. Tolong Mas juga dukung aku ya, doain agar aku baik-baik aja dan bisa ngasih kebahagiaan buat keluarga kita."
"Iya, Yang. Aku pasti doain kamu, kok. Ya udah kalau gitu, kita berusaha bareng-bareng ya," ujar Dzaki.
Nabila mengangguk mengiyakan. Ia harap-harap cemas.
Kemudian mereka pun tiba di sebuah klinik. Dan setelah melakukan pemeriksaan baik pada Nabila ataupun Dzaki, dokter pun memanggil mereka.
"Hasilnya sudah keluar, Ibu, Bapak," ujar sang dokter membuat Nabila seketika tegang. "Menurut hasil pemeriksaan, Bapak dan Ibu sangat sehat."
"Alhamdulillah," ujar Nabila menatap penuh syukur kepada dokter dan juga sang suami yang duduk di sampingnya.
"Jadi gak ada masalah ya, Dok?" tanya Dzaki memastikan.
"Anda sangat sehat. Sprma anda baik, tidak ada masalah, Pak. Dan ibu, anda pun sehat. Namun, faktor usia memang terkadang membuat kehamilan menjadi sedikit lebih sulit. Jadi Bapak dan Ibu harus berusaha lebih keras juga. Pola makan, istirahat, waktu tidur, olahraga, gaya hidup, harus dijaga dengan baik. Waktu berhubungan juga disarankan dilakukan lebih sering dan pada waktu yang tepat juga."
Karena saran dari dokter tersebut, saat pulang dari klinik, Dzaki membelokkan mobilnya masuk ke area sebuah hotel yang mereka lewati.
"Mas ngapain ke sini?" tanya Nabila bingung.
"Kata dokter harus sering, Yang. Jadi bentar aja, gimana? Besok 'kan kita bakal jarang ketemu lagi." Dzaki menatap penuh arti pada sang istri.
Nabila yang paham seketika merona pipinya.
"Tapi Mas," Nabila berdeham. "Aku udah bilang sama Hazel kalau aku bakal pulang sebelum maghrib," ujar Nabila khawatir.
"Yang, sedikit-sedikit kamu harus udah bikin Hazel curiga. Setidaknya kamu harus semakin memperlihatkan kalau kamu lagi deket sama seseorang, sekalipun kamu gak bilang kalau orang itu adalah aku."
"Iya sih, Mas bener. Ya udah kalau gitu," ujar Nabila akhirnya.
Di sisi lain, sesuai dengan janjinya, Hazel sudah berada di rumah sebelum petang. Hari itu ia bertemu sang kekasih dan kemudian berkumpul dengan teman-teman klub motornya. Setelah itu ia pulang.
Hazel mendapati rumah sangat sepi, padahal ia melihat mobil mereka terparkir di carport. Saat mengecek ke dalam ternyata sang ibu belum pulang. "Kirain Bunda bawa mobil. Apa dijemput ya sama temen-temennya?" gumam Hazel.
Kemudian Hazel membersihkan diri dan makan malam seorang diri karena sang ibu belum kunjung pulang. Lalu ponselnya bergetar, ada pesan dari sang ibu.
Nabila: Nak, Bunda kayaknya pulangnya terlambat. Kamu udah di rumah? Makanan udah tinggal angetin ya kalau mau makan.
Hazel: Bunda di mana emang?
Nabila: Sebentar lagi juga Bunda pulang. Kamu gak usah tunggu Bunda ya. Jangan lupa kunci pintu.
Hazel pun tak mencurigai apapun dan kembali melahap makan malamnya. Namun kemudian setelah waktu menunjukkan pukul 9 malam, sang ibu belum juga pulang.
"Bunda ke mana, coba? Bikin khawatir aja," gumam Hazel. Ia pun menghubungi sang ibu.
Tak lama teleponnya terhubung, "Assalamualaikum, Nak." Terdengar suara Nabila di seberang sana.
"Waalaikumsalam. Bun, masih di mana?"
"Ini baru mau pulang banget, Nak. Kamu udah makan?"
"Udah. Bunda mau aku jemput? Kok gak bawa mobil?"
"Gak usah, Nak. Tadi Bunda dijemput, dan sekarang Bunda dianterin lagi pulangnya."
"Oh ya udah kalau gitu, hati-hati ya, Bun."
"Iya, kamu kalau ngantuk tidur aja. Bunda bawa kunci, kok. Besok kuliah pagi, 'kan?"
"Okay, deh."
Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka dan tertutup kembali di seberang sana. Kemudian terdengar suara seorang pria, "Yuk, Yang."
Sontak Hazel meremang kaget. 'Yang?' batin Hazel.
"Bunda lagi sama siapa?"