Sinopsis
Caca, adik ipar Dina, merasa sangat benci terhadap kakak iparnya dan berusaha menghancurkan rumah tangga Dina dengan memperkenalkan temannya, Laras.
Hanya karena Caca tidak bisa meminta uang lagi kepada kakaknya sendiri bernama Bayu.
Caca berharap hubungan Bayu dan Laras bisa menggoyahkan pernikahan Dina. Namun, Dina mengetahui niat jahat Caca dan memutuskan untuk balas dendam. Dengan kecerdikan dan keberanian, Dina mengungkap rahasia gelap Caca, menunjukkan bahwa kebencian dan pengkhianatan hanya membawa kehancuran. Dia juga tak segan memberikan madu untuk Caca agar bisa merasakan apa yang dirasakan Dina.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32 LARAS SEMAKIN HANCUR
Aku merasa tidak berdaya, hanya bisa mendengarkan suara Laras yang terdengar semakin lemah. "Aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan, Caca. Semua orang membenciku sekarang," katanya dengan suara hampir pecah.
Aku menghela napas panjang, merasa sangat terbebani. "Kamu tahu, Laras, kadang kita harus belajar dari kesalahan, tapi terkadang juga, orang lain yang memanfaatkan kelemahan kita," jawabku, suara hati-hati, mencoba memberi pengertian pada situasi yang semakin kacau. "Aku tidak tahu harus bagaimana, tapi kamu harus bertahan. Jangan biarkan ini menghancurkanmu sepenuhnya."
Setelah percakapan itu, aku merasa semakin terpukul. Aku sudah mencoba memperingatkan Laras, tetapi dia tetap pada pendiriannya.
Sekarang, dia harus menanggung akibatnya, dan aku merasa seolah tak bisa berbuat apa-apa untuk membantunya. Namun, di balik rasa kasihan dan kecewa, ada perasaan marah yang menggelora pada Mbak Dina, yang ternyata memiliki niat untuk menghancurkan segala sesuatu yang ada di sekitarnya, termasuk kehidupan Laras dan hubungan yang sudah penuh dengan kebohongan dan pengkhianatan ini.
Laras benar-benar terpuruk setelah perselingkuhannya dengan Mas Bayu terbongkar. Media sosial yang dulu menjadi ladang kesuksesannya kini berubah menjadi medan pertempuran.
Komentar-komentar pedas dan caci maki memenuhi beranda profilnya. Dulu, ia dihormati sebagai model terkenal dengan karir yang terus menanjak. Namun, kini semuanya runtuh dalam sekejap, dan tak ada yang bisa menghentikan kehancurannya.
Banyak sponsor yang sebelumnya bekerja sama dengannya memutuskan hubungan mereka, takut nama mereka tercemar akibat keterlibatannya dalam skandal perselingkuhan.
Tawaran yang dulu mengalir deras kini mengering, dan Laras harus menerima kenyataan pahit bahwa karirnya sebagai model seolah hilang begitu saja. Bahkan acara yang telah dinantikan, yang akan digelar di hotel internasional ternama, pun harus dibatalkan setelah ia didiskualifikasi karena masalah tersebut.
Ketika Laras melihat semua itu terjadi, aku bisa merasakan betapa dalamnya rasa sakit yang ia alami. Caci maki dan komentar pedas terus datang, banyak yang menyayangkan bahwa seorang model yang seharusnya menjadi panutan malah melakukan tindakan yang sangat rendah.
Orang-orang tak segan-segan mengecamnya, menghina keputusannya untuk berselingkuh dengan suami orang. "Laras, kamu hanya sekadar wanita murahan," salah satu komentar yang ia temui di media sosialnya. Kata-kata itu bagaikan pisau yang menghujam langsung ke hatinya.
Laras tidak hanya kehilangan pekerjaan dan reputasinya, tetapi juga harga dirinya. Di balik senyuman manis yang dulu selalu ia tunjukkan di hadapan kamera, kini ada kesedihan yang mendalam. Dulu ia tampak begitu percaya diri, namun kini ia hanya bisa mengurung diri, merasa terasing dari dunia yang dulu sangat ia kenal.
Aku ingin sekali menolongnya, memberi dukungan agar dia bisa bangkit, tetapi aku tahu bahwa saat ini, Laras harus menemukan jalannya sendiri.
Keputusan-keputusan yang ia buat, baik atau buruk, telah membawa dia ke titik ini, dan kini semua orang menilai dirinya dari satu kesalahan besar itu. "Aku nggak tahu harus bagaimana, Caca. Semua yang aku impikan... hilang begitu saja," ucap Laras dengan suara yang hampir pecah. "Aku cuma ingin bahagia, tapi aku malah jadi orang yang dibenci."
Aku bisa merasakan kepedihannya. Meski aku tak sepenuhnya setuju dengan tindakannya, aku juga tidak bisa menahan rasa kasihan pada dirinya. Semua yang dia alami kini adalah buah dari keputusan yang sulit, dan ia harus membayar harga yang sangat tinggi untuk itu.
Namun, aku juga tahu bahwa dunia ini penuh dengan peluang kedua, dan meskipun perjalanan Laras terasa sangat berat, aku berharap dia bisa menemukan cara untuk bangkit dan melanjutkan hidup, meski tidak mudah.
Mungkin tidak ada yang bisa mengembalikan reputasinya seperti sedia kala, tetapi aku berharap suatu saat, Laras bisa berdamai dengan dirinya sendiri dan menemukan jalan untuk memperbaiki segala kesalahan yang telah dibuat. Namun, untuk saat ini, semua itu masih terlalu jauh, dan Laras harus menjalani penderitaannya sendiri.
Setelah beberapa hari mendengar kabar tentang kehancuran karir Laras, rasa penasaran dan keinginanku untuk melihat kondisinya mendorongku untuk menghubunginya.
Aku ingin tahu bagaimana dia menghadapi semua ini, dan apakah ada kemungkinan dia bisa bangkit dari keterpurukannya. Akhirnya, aku menghubunginya lewat pesan singkat dan mengajaknya bertemu di sebuah kafe yang sepi, tempat yang cukup tenang untuk berbicara.
Begitu aku sampai di kafe, aku melihat Laras sudah duduk di sudut meja, menundukkan kepala, seolah menghindari tatapan orang.
Wajahnya tampak lebih kurus dari biasanya, dan matanya terlihat lelah, seakan-akan dunia ini terlalu berat untuk dipikulnya. Aku menghampirinya, dan dia tersenyum tipis, meskipun senyumnya tampak dipaksakan.
"Caca," ucapnya pelan, suaranya terdengar seperti seretan beban berat. "Apa kabar? Maaf kalau aku terlihat berbeda."
Aku duduk di hadapannya, menatapnya dengan hati-hati. "Laras, kamu nggak perlu minta maaf. Aku cuma... khawatir dengan keadaanmu. Aku dengar kabar tentang semuanya, tentang karirmu dan media sosial... Aku cuma ingin tahu bagaimana kamu sekarang."
Laras menghela napas panjang, matanya berkaca-kaca. "Jujur, aku nggak tahu harus mulai dari mana, Caca. Semua orang... mereka sudah menghina aku, merendahkan aku. Aku merasa seperti nggak ada yang bisa aku lakukan lagi," katanya dengan suara tertekan. "Aku sudah kehilangan semuanya. Karirku, tawaran pekerjaan, semuanya. Mereka nggak mau lagi bekerja dengan aku, karena mereka pikir aku cuma seorang wanita murahan yang nggak pantas jadi model."
Aku bisa merasakan betapa sakitnya perasaan Laras. "Aku tahu ini berat, Laras. Tapi kamu harus bisa bangkit. Semua ini nggak akan mudah, aku tahu, tapi kamu punya kesempatan untuk memperbaiki semuanya, kan? Aku percaya kamu lebih dari sekadar kesalahan yang kamu buat."
Laras menunduk, seolah tak yakin dengan kata-kataku. "Aku nggak tahu, Caca. Semua orang yang aku percayai, yang aku anggap teman, malah menyebarkan keburukan tentang aku. Aku nggak pernah menyangka semuanya akan berakhir seperti ini."
Aku mencoba memberi dukungan, meskipun aku sendiri merasa bingung. "Tapi kamu masih muda, Laras. Kamu masih punya banyak waktu untuk memperbaiki semuanya. Kamu nggak perlu menyerah hanya karena apa yang orang pikirkan tentangmu."
Laras mengangkat kepalanya, matanya berkilau, seolah berusaha menguatkan dirinya sendiri. "Tapi kadang aku merasa sudah terlambat, Caca. Semua pintu sudah tertutup untukku. Mereka semua sudah melihatku sebagai wanita yang salah. Aku nggak bisa mengubah pandangan mereka."
Aku menatapnya dengan penuh perhatian. "Laras, apa yang orang pikirkan memang bisa menghancurkan kita, tapi itu bukan siapa kita sebenarnya. Kamu lebih dari itu. Kamu pernah jadi model yang dihormati, dan itu tidak bisa dihapus begitu saja hanya karena satu kesalahan besar."
Laras mengusap wajahnya, mencoba menahan air mata yang hampir tumpah. "Aku... aku cuma ingin bisa kembali seperti dulu. Semua tawaran pekerjaan yang hilang, semua perhatian yang aku dapatkan... Aku merasa semua itu nggak bisa aku dapatkan lagi."
Aku menggenggam tangannya, berusaha memberi sedikit kekuatan. "Kamu masih bisa melangkah maju, Laras. Ini bukan akhir dari segalanya. Semua orang bisa jatuh, tapi yang penting adalah bagaimana kita bangkit dan melanjutkan hidup. Jangan biarkan satu kesalahan merusak sisa hidupmu."
Laras diam sejenak, merenung, seolah kata-kataku menyentuh bagian dalam dirinya. "Kamu benar, Caca. Aku nggak bisa terus-terusan menyalahkan diri sendiri. Aku harus belajar dari ini, meskipun rasanya sangat sulit."
Aku mengangguk. "Dan aku akan ada di sini untuk mendukungmu, Laras. Kamu nggak sendirian. Kita semua pernah membuat kesalahan, tapi itu bukanlah akhir dari segalanya."
blm sadar jga y,ngga minta maaf Ama Dina.
tuh mantan suami Dina kpn dapet karmanya.
kadang kasian Ama Caca, tp kenapa dia ngga mikir y gimana perasaan Dina. yg skg dia alami.
apa Caca ngga sadar ini ulahnya.
makin merasa terzolimi padahal dia sendiri pelakunya