Nikah itu bukan penyelamat hidup, tapi pergantian fase. Dari yang semula melajang menjadi berpasangan. Bukan pula sebagai ajang pelarian agar terbebas dari masalah, justru dengan menikah trouble yang dihadapi akan semakin kompleks lagi.
Tujuan pernikahan itu harus jelas dan terarah, agar menjalaninya terasa mudah. Jangan sampai menikah hanya karena desakan orang tua, dikejar usia, atau bahkan ingin dicukupi finansialnya.
Ibadah sepanjang masa, itulah pernikahan. Diharapkan bisa sekali seumur hidup, tidak karam di pengadilan, dan berakhir indah di surga impian. Terdengar sederhana memang, tapi pada prakteknya tidak semudah yang diucapkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon idrianiiin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Extra Chapter 1
Kehadiran buah hati dalam sebuah pernikahan merupakan salah satu rezeki yang sangat amat patut untuk disyukuri. Sebab, tidak semua pasangan halal diamanahi, ada yang harus berjuang lebih keras agar bisa memiliki. Dan aku begitu beruntung karena Allah dengan berbaik hati sudi untuk menitipkan seorang anak pada kami.
"Bang!" tegurku saat menangkap basah Bang Fariz dengan usilnya tengah mengganggu tidur putra kami, yang bahkan baru beberapa menit lalu berhasil aku tidurkan.
"Masa elus-elus pipinya aja nggak boleh sih, Nia," protesnya tak terima.
Aku menjauhkan tangannya agar segera menyingkir. "Ngelus dan nyubit itu dua hal yang beda ya, Bang."
Tanpa kuduga, Bang Fariz malah mencubit kedua pipiku. Tidak sakit menang, tapi cukup terkejut karena dilakukan tanpa adanya aba-aba.
"Nah itu baru nyubit, Nia," katanya kemudian.
Aku memutar bola mata malas. "Kalau nangis Abang yang nyusuin!" kataku lalu turun dari ranjang.
"Mana bisa? Kecuali pake susu formula."
Aku mendelik. "Jangan coba-coba buat kasih anak aku sofur, ASI aku banyak."
Bang Fariz mengikuti langkahku yang hendak keluar kamar. "Terus apa coba maksudnya tadi nyuruh Abang yang nyusuin? Giliran mau Abang kasih sofur nggak boleh."
"Tahu ah!" kataku sebal.
Bang Fariz ini jahilnya nauduzbilah, hobi sekali membuat anaknya menangis, parahnya bukan ditenangkan justru malah menyerahkannya padaku. Benar-benar tidak bertanggung jawab.
Bayi yang bahkan baru berusia satu minggu itu sudah diuji dengan keusilan ayahnya sendiri. Aku cukup kewalahan, terlebih anak kami ini jika sudah menangis sulit untuk dijinakkan, lumayan kencang juga sampai kadang membuat kuping terasa pengang.
Tapi Bang Fariz seakan menutup mata dan menulikan pendengaran. Selalu ada saja gebrakannya yang berhasil buat aku naik darah.
"Masih pagi ini, masa udah ngambek sih, Nia?" katanya mengintil ke mana pun kakiku melangkah.
Aku menghentikan langkah setelah mengembuskan napas kasar. "Makanya Abang jangan nyari perkara. Anaknya baru tidur itu, jangan diganggu dulu, bisa?"
Dengan polosnya Bang Fariz justru menggeleng. "Mana bisa, Nia."
"Aku laporin Mama ya, kalau Abang nggak bisa diem. Punya tangan gatel banget perasaan, kurang kerjaan tahu!"
Bang Fariz berdecak pelan. "Apa-apa ngadunya ke Mama. Galak banget ih sekarang, perasaan pas hamil manjanya kebangetan, sekarang boro-boro. Lihat Abang bawaannya curiga aja, padahal Abang nggak ngapa-ngapain."
Kuembuskan napas pelan. "Ya udah iya, oke. Maafin, Nia ya, Abang?"
Senyum Bang Fariz mengembang seketika, tanpa tahu malu dia mengecup pipi kananku. "Makin cantik deh istri abang, apalagi kalau senyum. Behhh, manis bangetttt."
Aku memutar bola mata malas, sembari berlagak menghapus bekas ciumannya. "Gombal!"
Bang Fariz malah kembali menghujani hampir seluruh wajahku dengan kecupan, lalu terakhir dia menangkupnya. "Jangan dihapus, Nia."
Aku hanya mengangguk saja. "Abang kenapa sih? Caper banget perasaan, pake acara modus cium-cium segala lagi."
Bukannya menjawab, dia malah memelukku cukup erat.
Makin tidak mengerti aku dibuatnya, alhasil hanya bisa mengelus-elus punggungnya.
"Kenapa?" tanyaku lagi saat pelukan kami sudah terurai.
"Perhatian kamu sama Abang berkurang, sekarang yang didahulukan pasti putra kita dulu, Abangnya kamu kacangin. Lebih sering kena omel, ketimbang disayang-sayang," keluhnya yang sumpah demi apa pun terdengar begitu menggelikan.
Aku geleng-geleng kepala. "Abang cemburu sama anak sendiri?"
Bang Fariz tak menjawab, dia justru asik berkawan geming.
"Abang ini ada-ada aja. Udah ih, nggak malu apa sama umur, udah tua juga."
"Tua-tua gini juga suami kamu, mendadak nyesel Abang kalau tahu punya anak akan buat perhatian dan kasih sayang kamu berkurang, harusnya ditunda dua atau tiga tahun dulu. Abang masih mau pacaran sama kamu, Nia."
Bukannya iba, aku malah tertawa puas. "Yang salah di sini Abang dong, jadi nggak usah masang muka melas gitu. Yang ngehamilin aku, kan Abang."
Bang Fariz mendesih pelan. "Kan Abang nggak tahu akan kayak gini!"
Kutangkup wajahnya lembut. "Ya udah, terus sekarang mau Abang apa, hm?"
"Mau kamu, Nia," katanya yang tanpa izin langsung membawaku dalam gendongan.
Aku refleks mengalungkan tangan di lehernya. "Ya Allah, ternyata Abang bisa secemburu itu sama anak sendiri."
Bang Fariz menurunkanku saat kami sudah berada di dapur. "Abang cuma mau makan masakan kamu dengan tenang berdua, cuma berdua. Abang udah bosen sama masakan cepat saji yang akhir-akhir ini selalu kamu beli."
Aku mengangguk patuh. "Okee, Abang mau aku masakin apa?"
"Apa aja, asal harus kamu yang masak."
Kuayunkan kaki ke arah lemari pendingin, mencari bahan makanan yang sekiranya bisa aku eksekusi. Di sana hanya ada beberapa potong ayam, serta sayuran yang mungkin bisa kuolah menjadi sayur bening.
"Ayamnya mau dipakein bumbu apa, Bang?" tanyaku di tengah kegiatan sedang mencuci ayam.
Bang Fariz berdiri tepat di belakangku, dia memeluk pinggangku lalu menjatuhkan dagu tepat di atas pundak. "Digoreng kering aja, Nia."
"Siap. Mau pake sambel sekalian?"
"Boleh."
Manja sekali Bang Fariz hari ini. Mungkin keusilannya selama satu minggu terakhir ini hanya untuk menarik perhatianku. Tapi, dengan tidak pekanya aku justru mengomeli dia habis-habisan karena rasa sayangku pada putra kami yang kelewat besar.
Bayi sekecil itu harus menerima imbas dari kecemburuan sang ayah, karena aku sebagai ibu yang belum bisa me-manage diri dengan baik. Aku terlalu fokus untuk menjadi ibu yang baik, tapi aku lupa bahwa aku juga merupakan seorang istri.
Ternyata memerankan dua peran sekaligus itu sulit. Aku harus belajar untuk lebih bisa memposisikan diri, kapan saatnya menjadi ibu dan kapan waktunya menjadi istri.
"Mending Abang bantuin aku buat potong-potong sayurnya. Perut Abang udah berisik itu, bunyinya kenceng banget," pintaku.
Bang Fariz menurut tanpa kata, dia pun mulai mengikuti instruksiku.
"Abang kalau mau punya banyak waktu sama aku, Abangnya harus kooperatif. Kalau putranya tidur ya udah biarin, jangan diganggu. Bisa, kan?"
"Kalau nggak kayak gitu kamu malah kacangin Abang, malah asik sendiri dan beresin rumah."
Aku menoleh singkat. "Kenapa nggak coba Abang ikut bersih-bersih juga, bantuin aku gitu? Jadi, kan kita ada me time buat berduaan."
Bang Fariz terdiam cukup lama.
Aku pun memilih untuk memasukkan ayam yang sudah dimarinasi ke dalam wajan berisi minyak panas. Memberikan dia waktu untuk sekadar berpikir.
"Maafin Abang ya, Nia," katanya kemudian.
Aku tersenyum samar dan mengangguk. "Peran sebagai orang tua merupakan sesuatu yang baru, kita sama-sama nggak memiliki pengalaman dalam hal itu. Dulu pas awal-awal nikah kita juga, kan perlu yang namanya adaptasi sekarang pun sama. Kita ini tim, Bang, jadi ya harus saling bekerja sama."
"Kalau aku ada salah dan kurang sebagai istri, ya tolong diingatkan. Begitupun sebaliknya, aku juga pasti akan mengingatkan Abang. Selama kita berumah tangga, Abang selalu bantu-bantu aku, kan dalam hal bersih-bersih rumah. Tapi, kenapa setelah aku lahiran, nggak kayak gitu lagi?" kataku penuh hati-hati, takut menyinggung perasaannya.
"Untuk menjadi ibu rumah tangga aku harus belajar lagi, karena ternyata sesusah itu lho bagi waktunya. Sebelum ada anak, aku bisa leluasa mengerjakan pekerjaan rumah dan mengurus Abang, sekarang nambah satu tanggung jawab lagi. Bayi lho ini, Bang, belum bisa apa-apa, belum ngerti apa-apa. Dia cuma bisa nangis. Aku minta maaf kalau terkesan abai dan kurang memperhatikan Abang, aku masih belajar," imbuhku.
Tanpa kata Bang Fariz memelukku begitu erat. Aku pun mengelus tangannya yang melingkar apik di perutku.
"Abang minta maaf, Nia. Abang ternyata egois, dan banyak mau, seharusnya Abang sadar dan bisa memahami kamu. Maafin Abang ya? Abang janji mulai sekarang Abang akan lebih kooperatif dan ikut terlibat dalam berbagai aktifitas kamu. Jangan sungkan-sungkan ya, untuk terus ingetin Abang?"
Aku tentu langsung mengangguk setuju.