Lunar Paramitha Yudhistia yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi harus menerima kenyataan pahit bahwa ayahnya menikah lagi dengan rekan kerjanya. Ia tak terima akan hal tersebut namun tak bisa berbuat apa-apa.
Tak disangka-sangka, wanita yang menjadi istri muda sang Ayah menaruh dendam padanya. ia melakukan banyak hal untuk membuat Lunar menderita, hingga puncaknya ia berhasil membuat gadis itu diusir oleh ayahnya.
Hal itu membuatnya terpukul, ia berjalan tanpa arah dan tujuan di tengah derasnya hujan hingga seorang pria dengan sebuah payung hitam besar menghampirinya.
Kemudian pria itu memutuskan untuk membawa Lunar bersamanya.
Apa yang akan terjadi dengan mereka selanjutnya? Yuk, buruan baca!
Ig: @.reddisna
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanda Dwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 08: You've Got My Attention
"You've got my attention."
Aku menyatakannya dengan gamblang di depan gadis yang menarik perhatianku sejak pertama kali aku membawanya ke rumah, gadis itu adalah asisten pribadiku, Lunar.
Ia menatapku dengan tatapan tak percaya, wajahnya tampak sangat terkejut. "Kau tertarik padaku?" ucap gadis itu sambil menunjuk dirinya sendiri.
"Ya, aku tertarik padamu."
"Itu benar-benar tidak bisa dipercaya! Bagaimana bisa kau tertarik pada gadis sepertiku?"
Aku hanya tersenyum mendengar ocehannya. "Entahlah, itu terjadi begitu saja. Aku tak bisa menahannya," jelasku.
"Bahkan aku hampir mencium bibirmu saat kau tertidur."
Aku benar-benar kehilangan akal sehatku kala itu, wajahnya terlihat begitu polos dengan rambutnya yang tergerai begitu saja. Sungguh pemandangan yang begitu indah.
Pupil matanya melebar, mengisyaratkannya keterkejutan yang mendalam. Aku terkekeh geli melihatnya, itu benar-benar menggemaskannya.
"Jangan tertawa bodoh! Itu tidak lucu sama sekali," serunya sambil memukul-mukul lengan kananku.
"Maaf, aku tidak sengaja."
Ia menyandarkan tubuhnya di balkon hotel, membiarkan tubuh mungil itu terbelai oleh angin sepoi-sepoi yang melewati kami, rambutnya berlarian kesana-kemari dengan bebasnya. Membuatnya tampak begitu menawan.
"Aku tak bisa memberikan timbal balik atas perasaanmu, namun kau bisa mencoba untuk mendapatkannya. I'll give you a chance," ia mengedipkan matanya dan tersenyum kepadaku.
Aku menghampirinya, mengamati setiap inci bagian tubuhnya dari ujung rambut hingga ujung kakinya. Ku cium tangannya dengan lembut dan mesra.
"Dengan senang hati aku akan melakukannya."
Wajahnya yang begitu teduh dan binar matanya yang merekah menghanyutkan ku ke dalam lautan imajinasi yang membelenggu pikiranku.
Di tengah deburan ombak yang berlalu-lalang menghiasi lautan dengan langit jingga kemerah-merahan, ku tangkup wajahnya yang begitu teduh. Mata kami saling bertaut selama beberapa detik.
Aku mendekatkan wajahku ke arahnya hingga tak ada lagi jarak diantara kami. Hidungku dan miliknya saling bersentuhan, tak ada satu senti pun jarak diantara kami. Aku dapat merasakan napasnya yang begitu hangat bersamaan dengan debaran jantungnya yang tak berirama.
Semburat merah terlihat begitu jelas di wajahnya, ia menundukkan wajahnya. Membiarkan rambut hitam bergelombang bak ombak itu menutupi wajahnya.
"Ini terlalu dekat, minggir bodoh!"
Lunar mendorong tubuhku dengan sekuat tenaga yang ia punya, kemudian berlari meninggalkan diriku yang masih berdiri di balkon hotel. Punggungnya menghilang begitu cepat dari pandanganku.
Aku menyenderkan tubuhku di balkon, membiarkan semilir angin menyapa wajahku dan membelai setiap inci rambutku. Aku mendongak, menatap langit yang sudah mulai gelap. Lagi-lagi aku terbuai dalam imajinasi yang fatamorgana tentang aku dan dirinya.
......─────────── ✦ ──────────......
Aku memasuki kamar hotelku dan segera mengunci pintunya rapat-rapat, ku benamkan wajahku di kedua tangan. Wajahku bersemu merah mengingat kejadian di Balkon.
"Ibu, sepertinya aku juga tertarik padanya," gumamku.
Aku berdiri menyenderkan tubuhku di pintu hotel selama beberapa saat, jantungku masih berdegup kencang, napasku tak karuan. Aku benar-benar terlihat kacau. Pria itu membuat diriku gila.
Aku berlari menuju ranjang berukuran besar itu dan menenggelamkan kepalaku di bantal dan mulai menghentak-hentakkan kaki ke ranjang kamar hotel ini.
Kemudian, aku menopang kepalaku menggunakan bantal itu, lalu merogoh saku pakaian yang aku kenakan untuk mengambil ponsel dan dompet yang bersemayam di sana selama aku menghabiskan waktu di pantai.
Aku membuka ponselku dan membalas beberapa pesan yang Bibi Chen kirim, sepertinya dia khawatir karena aku menghilang begitu saja sehabis makan malam.
Ting!
Satu notifikasi pesan masuk, itu dari Kak Hana. Ternyata itu adalah fotoku dan Tuan Selatan yang tengah berada di balkon sore ini. Bagaimana dia bisa mengambil foto ini?
Aku segera menekan tombol telepon di sebelah nama kontak Kak Hana. Tawa menggelegar terdengar begitu panggilan itu tersambung.
"Hahahahaha, kau terkejut ya? Maaf sekali ya aku hanya memotret satu adegan kalian," ucapan itu diiringi tawa di seberang sana.
"Kak, jangan bilang kau melihat semuanya?" tanyaku dengan penasaran, alisku terangkat begitu pertanyaan itu terlontar.
"Tidak, aku hanya memotret itu lalu pergi karena Bibi Chen memanggilku. Sayang sekali ya..." nadanya tampak putus asa.
Aku bernapas lega sembari mengelus-elus dadaku. Untung saja Kak Hana tidak melihat semuanya, dia bisa mengejekku tujuh hari tujuh malam jika melihatnya. Tawanya yang begitu nyaring berhasil menyulut api kemarahan dalam diriku.
"Sudah kuduga kalian itu punya hubungan yang spesial, lebih dari sekedar atasan dan asisten!" tegasnya dari seberang sana.
"Hubungan kami tak lebih dari itu, Kak. Aku menganggapnya teman biasa, tidak ada hubungan apapun diantara kami," aku mencoba untuk menjelaskan.
"Kau pasti berbohong! Tuan sepertinya tertarik padamu, pupil matanya selalu melebar saat melihatmu."
Bagaimana Kak Hana tahu tentang itu, dia memperhatikan Tuan Selatan dengan begitu detail? Kenapa aku jadi merasa tidak senang ya setengah mendengarnya.
"Kau tau, Tuan itu orang yang cukup dingin dan sulit tersenyum. Aku bekerja untuknya kurang lebih sepuluh tahun tapi ia tak pernah tersenyum padaku. Tapi dia bisa tersenyum saat bersamamu, kau benar-benar hebat bisa merubahnya!" jelasnya dari seberang sana.
Aku terkesiap mendengarnya, ternyata Tuan Selatan memperlakukan diriku dengan spesial. Dari awal dia memperlakukan diriku dengan sangat lembut meskipun terkesan sedikit cuek. Mengajariku bagaimana dunia kerja itu berputar dan banyak hal lain yang tak ku mengerti sebelumnya. Ia juga tak pernah memarahiku saat melakukan kesalahan.
Semburat merah itu kembali muncul di wajahku, kali ini lebih parah. Wajahku benar-benar merah hingga telingaku tak mau kalah. Aku mengulum senyum, mencoba menahan diri untuk tidak berteriak. Mengabaikan sesaat panggilan yang tengah ku lakukan bersama Kak Hana.
"Hey bocah! Kenapa kau diam saja?"
"Apa kau baik-baik saja?"
"Jawab aku!"
"Sinyalmu terputus ya?"
"Kau mengabaikan diriku?"
"Tega sekali kau! Jahat!"
Celotehan Kak Hana berhasil menyadarkan diriku dari imajinasi yang membelenggu pikiranku. Aku menjauhkan ponselku dari telinga. Suaranya membuat telingaku sakit.
"Berisik sekali, aku hanya terdiam sebentar Kak Hana langsung mengoceh banyak sekali!" protesku, tanganku bergerak kesana-kemari seolah-olah hendak menangkap sesuatu.
"Sudahlah, aku akan menutup teleponnya."
"Hey jangan dulu-"
Tuut!
Belum sempat Kak Hana menyelesaikan ucapannya, aku sudah menutup teleponnya. Mendengar ocehannya menbuatku mengantuk.
Aku melempar ponselku ke sembarang arah, lalu tidur terlentang di atas kasur sembari melihat langit-langit yang tampak begitu indah dengan chandelier yang tergantung di sana.
Ku tarik selimut itu dan mulai membungkus tubuhku, mencari kehangatan di dalamnya. Aku berusaha memejamkan mataku, berharap bisa segera terbuai ke alam mimpi hingga sang mentari menyapaku di esok hari. Selamat malam semuanya, semoga kalian semua mimpi indah.
Mampir juga di karyaku ya ka
semangat terus