Kisah kali ini bergenre fantasy lokal, Ini bukan Milky way 4, ini adalah perjalan seorang Resi yang mereka sebut sebagai Maha Guru di cerita Milky Way
ini awal mula sebuah kisah Milky Way. Perjalanan Seorang Resi bernama Mpu Bharada untuk menemukan tanah impian. sebuah tempat dimana dia bisa mendirikan sebuah kebahagiaan dan kedamaian.
Seharusnya ini menjadi flashback tiap episode Milky Way. tetapi karena cerita Milky Way akan berkembang ke arah dataran legenda yang mereka sebut sebagai negara tersembunyi, dan juga Milky Way 4 nanti menceritakan tentang kelahiran kembali Mpu Bharada di era modern, maka saya putuskan untuk membawa kisah perjalanan sang Resi dalam bentuk cerita utuh.
note : cerita ini adalah awal mula. jadi tidak perlu baca Milky Way seri Vallena dulu
untuk nama tokoh, mungkin tidak terdengar asing, sebab saya mengambil nama tokoh tokoh terkenal, mitos mitos dalam sejarah jawa kuno beserta ilmu ilmu kanuragan pada masa lampau
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lovely, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tapak Bayangan
Sorak-sorai penonton semakin menggema, memenuhi udara di arena besar Suradwipa. Raka dan Patih Suradwipa masih saling berhadapan di tengah arena yang kini dipenuhi retakan-retakan akibat kekuatan pukulan mereka. Tubuh Raka penuh dengan luka dan darah, tetapi ia tetap berdiri, walaupun nafasnya semakin berat. Di sisi lain, sang patih tampak tenang, hanya terlihat sedikit berkeringat, seolah-olah pertempuran ini hanyalah latihan baginya.
Di sekitar arena, para penonton terus berseru, sebagian mengejek keberanian Raka yang dianggap konyol, sementara yang lain memujinya karena masih bertahan melawan seorang patih yang dikenal memiliki kanuragan tingkat tinggi.
Patih Suradwipa, yang sejak awal merasa tidak terancam, mulai menunjukkan tanda-tanda kebosanan. Dengan pandangan tajam, ia menatap Raka yang masih berdiri meskipun sudah jelas bahwa pertarungan ini tidak seimbang.
“Kau cukup tangguh untuk seorang pemuda dengan kanuragan setingkat menengah,” katanya sambil mengibaskan debu dari jubahnya. “Tapi aku mulai bosan. Mari kita akhiri ini.”
Raka tidak menjawab. Ia hanya mengepalkan tangannya lebih erat, bersiap untuk melanjutkan pertarungan meskipun tubuhnya hampir mencapai batas.
Dengan gerakan perlahan namun penuh wibawa, Patih Suradwipa melangkah ke tengah arena. Ia berdiri tegak, mengangkat kedua tangannya ke depan, lalu mulai memusatkan energinya. Udara di sekitar arena tiba-tiba menjadi lebih berat, dan aura gelap mulai mengelilingi tubuh sang patih. Para penonton yang memiliki kemampuan kanuragan langsung merasakan tekanan luar biasa dari ajian yang sedang dikeluarkan oleh sang patih.
“Itu… ajian Tapak Bayangan!” seru seorang pendekar di antara kerumunan. “Sebuah ajian tingkat tinggi yang mampu menciptakan bayangan yang menyerang musuh dengan kecepatan dan kekuatan yang luar biasa!”
Patih Suradwipa mulai melayang perlahan di atas arena, tubuhnya bersinar dengan aura hitam pekat yang berkilauan. Kedua tangannya membentuk kuda-kuda yang terlihat sederhana, tetapi penuh dengan energi kanuragan yang menakutkan.
Raka, yang masih berdiri di bawah, mencoba memahami apa yang sedang dilakukan oleh sang patih. Namun, sebelum ia sempat memikirkan strategi, sesuatu yang mengejutkan terjadi.
Dari tubuh Patih Suradwipa, muncul puluhan bayangan hitam yang berbentuk seperti dirinya. Bayangan-bayangan itu melayang di udara, bergerak dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh mata manusia biasa. Dalam hitungan detik, bayangan-bayangan itu mulai menyerang Raka.
Serangan itu datang begitu cepat hingga Raka tidak sempat bereaksi. Pukulan-pukulan bayangan menghantam tubuhnya dari segala arah, menciptakan suara dentuman keras yang menggema di seluruh arena. Setiap serangan membawa kekuatan luar biasa, membuat tubuh Raka terhempas ke sana kemari seperti boneka kain.
“Bugh! Bugh! Bugh!” Suara pukulan terus terdengar, menggema di seluruh arena. Lantai arena yang sudah retak kini semakin hancur, debu dan serpihan batu beterbangan di udara, menciptakan pemandangan yang dramatis.
Raka mencoba bertahan, tetapi serangan bayangan itu datang terlalu cepat dan terlalu banyak. Dalam waktu beberapa detik saja, tubuhnya sudah menerima ratusan pukulan. Setiap pukulan terasa seperti dihantam oleh palu besi, membuat tubuhnya semakin lemah.
Setelah beberapa saat, tubuh Raka akhirnya terhempas ke lantai arena dengan keras. “Dugh!” Suara dentuman tubuhnya menghantam lantai membuat penonton terdiam sesaat. Debu beterbangan, menutupi tubuhnya yang kini tergeletak tak bergerak.
Matanya tertutup, dan darah mengalir dari sudut bibirnya. Napasnya hampir tidak terdengar, dan tubuhnya terlihat seperti sudah kehilangan semua kekuatannya.
Sorak-sorai penonton kembali menggema, memenuhi udara. Sebagian besar dari mereka memuji kehebatan sang patih, sementara yang lain mulai mengejek Raka.
“Lihat itu! Dia bahkan tidak bisa berdiri lagi!” seru seorang pria dengan nada mengejek.
“Patih Suradwipa memang tidak ada tandingannya!” seru yang lain.
Namun, di antara suara sorakan itu, terdengar beberapa orang yang mendukung Raka.
“Bangkit! Jangan menyerah!” teriak seorang wanita dari kerumunan. “Kau bisa melakukannya!”
Di sisi lain arena, Tari tampak pucat. Tubuhnya bergetar, dan air mata terus mengalir di pipinya.
“Jaka…” gumamnya pelan, “Tolong, jangan mati… Aku tidak ingin kehilanganmu…”
Sementara itu, di luar arena, Mpu Bharada duduk santai di sebuah warung kecil di tepi jalan. Ia memakan klepon dengan tenang, menikmati manisnya gula merah yang meleleh di mulutnya.
Seorang pedagang, yang penasaran melihat Mpu Bharada begitu santai, bertanya kepadanya.
“Tuan, mengapa Anda tidak berada di arena? Pertarungan hidup dan mati sedang berlangsung di sana.”
Mpu Bharada tersenyum kecil, lalu menjawab dengan nada bijak.
“Pertarungan hidup dan mati bukanlah hal baru bagiku, wahai Saudara. Aku sudah sering menyaksikannya, dan hari ini, aku lebih memilih menikmati jajanan yang lezat ini.”
Pedagang itu terdiam, merasa terkesan dengan jawaban Mpu Bharada. Ia tidak menyadari bahwa pria tua itu sebenarnya memiliki kekuatan kanuragan yang jauh melampaui apa yang bisa ia bayangkan.
Kembali ke arena, suasana semakin memanas. Patih Suradwipa, yang masih melayang di udara, memandang tubuh Raka yang tergeletak di lantai dengan ekspresi puas.
“Kau telah menunjukkan keberanian, anak muda,” katanya dengan nada dingin. “Tetapi keberanian saja tidak cukup untuk melawanku.”
Penonton terus bersorak, menciptakan suasana yang riuh. Namun, di tengah semua itu, Tari hanya bisa menangis, berharap bahwa Raka masih memiliki kekuatan untuk bangkit kembali.
Di luar arena, Mpu Bharada tetap duduk tenang, seolah-olah ia tahu bahwa pertarungan ini belum berakhir.
“Anak itu memiliki tekad yang besar,” pikirnya sambil menggigit klepon terakhirnya. “Dan tekad yang besar selalu membuka jalan menuju sesuatu yang luar biasa.”
Pertarungan ini mungkin tampak seperti telah berakhir, tetapi di balik debu yang beterbangan dan tubuh yang tergeletak di lantai, api dalam diri Raka masih menyala.
Perlahan lahan jari jari Raka menunjukan pergerakan. Dengan sisa sisa tenaga terakhirnya, Raka bangkit dan membuat ricuh suara para penonton.
Teriakan teriakan dukungan dan hinaan semakin menggema di area pertandingan.
Raka bangkit dengan tubuh yang mengeluarkan asap. Tatapannya tajam menjurus ke arah Patih Suradwipa yang masih melayang di atas angin.
tapi untuk penulisan udah lebih bagus. deskripsi lingkungan juga udah meningkat 👍