NovelToon NovelToon
Jerat Cinta Sang Billionaire

Jerat Cinta Sang Billionaire

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikah Kontrak / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: DENAMZKIN

Sekar Arum (27) ikut andil dalam perjanjian kontrak yang melibatkan ibunya dengan seorang pengusaha muda yang arogan dan penuh daya tarik bernama Panji Raksa Pradipta (30). Demi menyelamatkan restoran peninggalan mendiang suaminya, Ratna, ibu Sekar, terpaksa meminta bantuan Panji. Pemuda itu setuju memberikan bantuan finansial, tetapi dengan beberapa syarat salah satunya adalah Sekar harus menikah dengannya dalam sebuah pernikahan kontrak selama dua tahun.
Sekar awalnya menganggap pernikahan ini sebagai formalitas, tetapi ia mulai merasakan sesuatu yang membingungkan terhadap Panji. Di sisi lain, ia masih dihantui kenangan masa lalunya bersama Damar, mantan kekasih yang meninggalkan perasaan sedih yang mendalam.
Keadaan semakin rumit saat rahasia besar yang disembunyikan Panji dan adik Sekar muncul kepermukaan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DENAMZKIN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

CANTIK ALAMI DAN DEBARAN

Pagi berikutnya, Panji merapikan kancing kemejanya sambil menuruni tangga. Rumah terasa sunyi, tidak ada suara dari kamar Sekar ataupun dapur, tapi bau teh yang kuat memenuhi rumah menjadi tanda bahwa istrinya itu sudah bangun. Awalnya, Panji tidak suka bau teh, tapi seiring berjalannya pernikahan mereka, dia mulai menikmati bau teh pagi yang dibuat Sekar. Meskipun, dia tidak pernah mau mengakuinya.

Saat memasuki dapur, Panji mengangkat alis melihat Sekar berdiri diam memandang keluar jendela. Dia mengenakan gaun berwarna hijau muda dengan sabuk cokelat di pinggangnya. Rambut hitamnya masih basah, dan dia memegang cangkir tehnya dengan kedua tangan.

"Sedang memikirkan apa?" tanya Panji sambil berjalan menuju mesin kopinya.

Sekar berdiri tegak dan menatap cangkirnya, "Memangnya kamu mau tahu?" jawabnya dengan dahi berkerut.

Panji mengosongkan filter kopi dan membuka lemari untuk mengambil filter baru. Setelah memasangnya kembali, dia membuka toples di samping mesin kopi dan memasukkan dua sendok bubuk kopi.

"Kamu terlihat lebih segar dari biasanya," katanya sambil menekan tombol untuk menyalakan mesin.

"Apakah itu Pujian?" Sekar menoleh sambil memandangnya dari balik bahunya.

Panji tersenyum, bersandar pada meja dapur. "Iya," dia mengangguk, memperhatikan rambut basah Sekar yang terurai hingga ke punggung. Dia menyukai rambut panjangnya, terlihat lebih elegan dan berkelas, berbeda dengan wanita lain yang pernah dia temui.

"Ibu tiriku ingin kita membantu merencanakan ulang tahun pernikahan mereka yang ke dua puluh lima."

Sekar melangkah mundur dan bersandar pada meja dekat wastafel agar bisa melihat Panji lebih jelas. Saat Sekar tidak merespons, Panji mengangguk sambil mengambil cangkir dari rak piring.

"Kupikir kita bisa mengadakannya di restoran untuk sekaligus merayakan pembukaan sebelum peresmian ."

"Apa?" Sekar menatapnya sambil menurunkan cangkirnya.

"Pikirkan baik-baik. Kita bisa mendapatkan perhatian publik, dan tamunya pasti orang-orang penting," kata Panji sambil meletakkan cangkirnya dan menyilangkan tangan, bersandar santai.

"Ibumu bahkan belum pernah mencoba masakanku," jawab Sekar, menggaruk tengkuknya. "Aku tidak yakin ingin mendapatkan perhatian seperti itu."

"Kamu pasti ingin," balas Panji, mendengar bunyi tetesan kopi yang mengisi cangkir.

"Pawon Joglo adalah restoran keluarga bergaya Jawa yang kuno, bukan markas besar untuk rekan bisnis keluargamu."

Panji memutar matanya, "Pawon Joglo sudah mati lima tahun lalu saat ayahmu meninggal," katanya dengan santai. "Aku tahu apa yang kulakukan, pekerjaanku adalah membangkitkan kembali usaha yang hampir gulung tikar."

Sekar merasakan cengkeramannya pada cangkir teh semakin erat. Komentar Panji yang meremehkan tentang ayahnya benar-benar mulai membuat emosinya naik.

"Kamu tidak punya pengalaman dengan restoran," katanya tajam. "Kamu butuh aku untuk mengajarimu, dan aku tidak bisa mengajarimu jika kamu terus menolak mendengarkanku."

"Kalau begitu, coba ajari aku," jawab Panji sambil mencondongkan tubuhnya ke depan dan meletakkan kedua tangannya di meja.

"Pertama, kamu tidak bisa sembarangan merekrut orang untuk bekerja di dapur," Sekar mulai menghitung dengan jarinya.

"Dia adalah tukang masak terkenal. Dia lulus di peringkat 5 teratas dari Institusi Seni Kuliner, yang kurasa adalah tempat kamu juga bersekolah dulu"

"Aku tidak tahu itu," jawab Sekar pelan.

"Karena kamu tidak mau mendengarkanku," ujar Panji dengan tegas, membanting tangannya ke meja. "Kamu terlalu sibuk menolak semua yang kukatakan atau bahkan tidak mendengarnya."

"Aku mendengarkanmu," balas Sekar sambil melangkah maju. "Tapi aku merasa kamu hanya menyuruh-nyuruh orang tanpa tahu apa yang sebenarnya kamu lakukan."

"Kalau begitu, ajari aku," balas Panji dengan alis terangkat. "Ajari aku bagaimana upaya untuk membangun kembali reputasimu. Buktikan bahwa makananmu tidak perlu diperkenalkan kepada pelanggan baru, karena pelanggan lamamu sudah pergi."

Dia melanjutkan dengan nada sarkastik, "Tolong, luangkan waktu untuk pesta ulang tahun pernikahan ibu tiriku di restoranmu yang sibuk itu, yang sudah penuh reservasi hingga tahun depan."

Sekar terdiam.

"Apa yang aku lewatkan? Bisa jelaskan kenapa kamu dan ibumu datang kepadaku dengan perjanjian ini? Kamu tahu berapa banyak biaya yang sudah ku keluarkan untuk pernikahan kita?" kata Panji dengan nada tajam.

"Sudah cukup," Sekar berkata tegas sambil membuang sisa tehnya ke wastafel. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia keluar dari dapur.

Panji menghela napas panjang dan menyeret tangannya ke rambutnya dengan kesal. Dengan tenang, dia mengikuti Sekar ke ruang tamu, tapi saat menemukannya, dia sudah berada di kamarnya. Dia sedang menatap sebuah ikan plastik di dalam mangkuk di meja riasnya.

"Begini," kata Panji dengan nada lembut saat masuk perlahan. "Kenapa kita tidak membeli ikan sungguhan saja?"

"Aku tidak ingin ikan," jawab Sekar pelan sambil mengambil sisirnya dan mulai menyisir rambutnya ke belakang.

Panji duduk di tepi tempat tidur, pandangannya menyapu kamar Sekar yang dipenuhi tumpukan pakaian di sudut ruangan.

"Dengar," katanya, beralih melihat bayangan Sekar di cermin. "Aku minta maaf."

"Tidak, kamu tidak bersungguh-sungguh," Sekar berkata sambil mengangkat rambutnya dan mulai membungkusnya menjadi sanggul. "Kamu memang benar, dan aku minta maaf jika aku terlihat sulit untuk beradaptasi. Aku tidak terlalu pandai dengan perubahan."

"Aku menyadarinya," kata Panji dengan alis berkerut, memperhatikan Sekar dengan cermat saat dia merapikan setiap helai rambut dengan rapi. Wajah Sekar tampak lebih tegas saat dia mengambil bedak padat dan mulai berdandan. Sebenarnya dia tidak butuh itu; kulitnya sudah bersih, dan fitur wajahnya sudah menarik perhatian.

"Ini hanya sarapan." Panji memperingatkan,

"Haruskah aku berganti pakaian?" tanya Sekar sambil meletakkan bedaknya dan melirik ke samping. "Ada pakaian berwarna krem di belakang," dia menunjuk ke lemari yang penuh dengan baju-baju yang sebenarnya bukan miliknya, melainkan dibelikan untuknya. Namun, dia lebih suka memakai pakaian yang dia bawa sendiri dalam tas besar. "Aku ingin mengenakan itu, tapi rasanya terlalu formal, cocok untuk suasana bisnis, dan—"

"Aku suka dengan apa yang kamu pakai sekarang" potong Panji, mengangkat tangannya untuk menghentikan Sekar bicara. "Aku hanya ingin bilang, kamu tidak butuh riasan."

"Oh," Sekar berkata sambil kembali melihat wajahnya di cermin. "Wajahku terasa sangat kusut. Aku hanya berusaha agar tidak terlihat kelelahan," ucapnya pelan, pandangannya kembali ke ikan plastik yang mengapung di air.

"Hei," Panji memanggil perhatian Sekar, menarik kursinya lebih dekat kepadanya. Sekar terkesiap kecil saat kursi itu bergeser, berhenti tepat di depan Panji. Dia mengamati rambut Sekar, kemudian gaunnya, lalu menatap wajahnya dengan serius.

"Semua ini soal kepercayaan diri. Kamu harus tahu itu." katanya dengan suara rendah, menatap mata Sekar tanganya mengambil jepit rambut yang baru saja Sekar pasang.

"Benarkah?" jawab Sekar dengan suara pelan.

Panji tertawa kecil sambil menarik jepit terakhir dari rambut Sekar. "Percayalah, penampilan itu penting. Orang bisa tahu kalau kamu berusaha menjadi sesuatu yang bukan dirimu." Dia menunduk lagi, sementara Sekar memperhatikannya dengan cermat.

"Kamu cantik dan-," katanya sambil melepas lilitan rambutnya hingga terurai. "Manis. Manis alami yang tidak dimiliki gadis lain."

"Benarkah?" tanya Sekar saat Panji mundur sedikit dan meletakkan jepit rambut di atas tempat tidur. Dia mengibaskan rambut Sekar perlahan, melepaskan gelombang alaminya kembali. Aroma citrus langsung memenuhi ruangan saat rambutnya bergerak.

"Tergantung, kurasa." Panji menghela napas dan mengangkat tangannya untuk memiringkan dagu Sekar ke arahnya. "Ingat, aku tidak akan setuju menikah denganmu kalau aku tidak berpikir kamu luar biasa." Panji tersenyum kecil, memperhatikan ekspresi Sekar yang membelalak.

"Kenapa? itu mengejutkan?" Tanya Panji

Sekar berkedip, menarik napas panjang, dan menggigit bibir bawahnya. Ketika dia tidak menjawab, Panji tertawa kecil, mengambil tangannya, dan menepuknya dengan lembut. "Kamu gadis yang lucu," katanya. "Ayo, kita harus membayar mahal untuk sebuah Tumpeng dan Wedang Jahe sambil mendengar Ibu tiriku membicarakan dirinya sendiri tanpa henti."

Panji bangkit dan meninggalkan ruangan, sementara Sekar tetap duduk di tempatnya, masih menghadap pintu meskipun dia sudah pergi. Ada sesuatu tentang Panji—cara dia begitu jujur tapi juga berbahaya—yang membuat Sekar lupa untuk menjaga jarak. Dia menarik napas dalam-dalam, menatap kedua tangannya yang terlipat di pangkuannya.

Dia harus mengendalikan dirinya. Dia harus membangun pertahanan kembali, dia perlu keluar dari pernikahan ini dengan martabat yang tersisa. Ketika berdiri, lututnya terasa lemas, perutnya dipenuhi rasa gugup yang aneh. Dia meletakkan tangan di atas perutnya, menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir rasa gelisah itu.

Dia tidak boleh melupakan apa yang terjadi di pertemuan sebelumnya. Panji sedang merencanakan sesuatu, dan dia tidak bisa membiarkan dirinya lengah, apalagi berpikir bahwa ini semua nyata.

1
sSabila
ceritanya keren, semangat kak
jangan lupa mampir di novel baru aku
'bertahan luka'
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!