Tahu masa lalunya yang sangat menyakitkan hati satu minggu sebelum hari pernikahan. Sayang, Zoya tetap tidak bisa mundur dari pernikahan tersebut walau batinnya menolak dengan keras.
"Tapi dia sudah punya anak dengan wanita lain walau tidak menikah, papa." Zoyana berucap sambil terisak.
"Apa salahnya, Aya! Masa lalu adalah masa lalu. Dan lagi, masih banyak gadis yang menikah dengan duda."
Zoya hanya ingin dimengerti apa yang saat ini hatinya sedang rasa, dan apa pula yang sedang ia takutkan. Tapi keluarganya, sama sekali tidak berpikiran yang sama. Akankah pernikahan itu bisa bertahan? Atau, pernikahan ini malahan akan hancur karena masa lalu sang suami? Yuk! Baca sampai akhir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
*Episode 18
"Dari mana, Aya. Bikin cemas aja."
"M-- mas Arya."
"Lho, kok gugup sih? Aya dari mana? Beli gorengan?"
"Iy-- iya."
"Mana? Sini liat, minta dikit."
"Eng-- nggak. Gak boleh."
Ya kali dia berikan. Orang gorengannya sudah dingin. Bukannya menikmati, nanti yang ada, dia akan buat Arya curiga.
"Lho, kok pelit sih. Bagi dikit aja gak papa dong?"
"Gak. Kalo mau, beli sendiri aja," ucap Zoya sambil beranjak meninggalkan Arya.
Arya terdiam sambil menatap kepergian Zoya.
Dalam hati dia berkata. 'Aku tidak tahu kamu dari mana, Aya. Tapi, selagi kamu merasa nyaman, aku akan tetap berpura-pura baik-baik saja. Meski sebenarnya, aku selalu ingin tahu apa yang terjadi dengan kamu. Ke mana kamu pergi. Apa yang sudah kamu lakukan. Tapi, aku sadar, jika aku lakukan itu, kau akan menjauh. Aku tidak ingin hal itu terjadi.'
....
"Di mana Zoya, Bik?"
"Non Zoya ... masih di kamarnya deh keknya, Den."
"Di kamar? Gak keluar sejak masuk kamar tadi sore?"
"Sepertinya, tidak."
Arya terdiam sambil menatap makanan yang ada di depannya. Setelah bertemu tadi sore, istrinya semakin aneh. Bahkan sekarang, tidak kunjung keluar dari kamar. Padahal, ini adalah jam makan malam.
Arya bangun dari duduknya. Niatnya, dia sendiri yang akan memanggilkan Zoya buat makan bersama. Namun, langkah itu langsung tertahan oleh suara bi Nari. "Biar bibi saya yang panggilkan, Den."
"Gak papa, Bi. Biar aku aja."
Setelahnya, Arya langsung beranjak menuju kamar Zoya yang ada di sebelah kamarnya. Awalnya dia pikir, Zoya susah turun lebih dulu. Tapi ternyata, istrinya masih berdiam diri di kamar tersebut setelah bertemu tadi sore.
"Aya."
Panggilan disertai dengan ketukan langsung terdengar. Zoya yang sedang sibuk dengan ponselnya langsung mengalihkan pandangan.
"Aya, waktunya makan. Kok gak turun."
"Sebentar!"
Zoya pun langsung beranjak menuju pintu kamar. Sesaat kemudian, dia membuka pintu dengan hati yang sedikit enggan.
"Mas."
"Kok gak turun makan, Ay? Kenapa nih? Ada yang gak nyaman yah?"
"Ah, bukan. Aku ... masih kenyang."
"Makan apa sih kenyang sampai jam segini? Jangan kebanyakan ngemil, Aya. Tar kegendutan lho."
Perhatian Arya memang tiada taranya. Kelembutan, kasih sayang yang tulus. Terkadang, Zoya cukup dibuat merasa bersalah. Saat hati ingin menolak, tapi sikap dan tingkah laku Arya yang seolah tidak pernah merasakan sedikitpun rasa sakit, atau tidak sedikitpun merasa terganggu akan sikap Zoya yang ingin menjauh, bahkan terlalu nyata sedang menghindar, Arya tetap bersikap lemah lembut dan penuh kasih. Hal itu sangat mengusik hati.
"A-- aku .... "
"Jangan ngemil berlebihan yah. Bukan gak boleh. Tapi makan makanan pokok itu harus. Ayo turun. Setidaknya, makan sedikit saja."
Zoya pun tidak lagi sampai hati untuk menolak. Dia hanya bisa pasrah. Menganggukan kepala, sambil beranjak. Mereka pun berjalan berdampingan menuruni anak tangga.
"Aya, besok akhir pekan. Mau jalan-jalan tidak?"
"Ah, bukan-bukan." Arya tahu kalau pertanyaan itu akan mendapat penolakan. Jadi, sesegera mungkin dia meralat ucapannya barusan sebelum yang di tanya memberikan jawaban.
"Karena besok akhir pekan, boleh temani aku jalan-jalan ya, Ay. Capek. Butuh waktu santai buat menyegarkan pikiran."
Arya pun langsung menoleh.
"Mau gak?"
Ingin rasanya Zoya menolak. Tapi, lagi-lagi, dia sudah terlalu sering mengabaikan ajakan Arya. Ini bukan ajakan yang pertama. Sudah banyak ajakan yang dia tolak. Tapi Arya tidak pernah mengeluh. Jangan kan mengeluh, memperlihatkan wajah kecewa saja tidak. Arya selalu mempertahankan wajah lemah sembuhnya walau terkadang, di matanya, rasa kecewa itu sangat jelas terlihat.
Dia akan tersenyum manis saat Zoya memberikan penolakan. Dia memperlihatkan bahwa dirinya memaklumi Zoya yang menolak ajakannya meski dengan alasan sepele. Bahkan, sangat sepele sampai tidak bisa dia jadikan pertimbangan untuk menolak ajakan darinya yang jelas-jelas adalah suami sahnya Zoya.
"Hm. Kalo gak bisa juga gak papa, Aya. Mungkin lain kali, kamu punya waktu buat temani aku, bukan?"
"Iy-- iya."
"Ta-- tapi .... "
Tiba-tiba, Zoya ingat ucapan Gilang.
"Arya gak salah, mbak."
"Sebenarnya, Arya pria baik. Dia juga berhak bahagia."
"Saya bicara seperti ini karena sebagai pria, saya bisa melihat sisi terlukanya Arya. Dia sudah berusaha menghindar, mbak. Jadi, seharusnya, yang harus di salahkan bukan dia."
Begitulah kata demi kata yang Gilang ucapkan. Dua hal yang cukup menyulitkan Zoya untuk mencerna dari pertemuannya dengan Gilang tadi sore. Di satu sisi, dia sedikit lega karena tahu seperti apa suaminya di mata pria lain. Sedangkan di sisi lain, dia juga di buat tahu tentang mantan kekasih suaminya yang sedang sangat gencar untuk mendapatkan Arya lagi.
"Aya."
"Ah, iy-- iya."
"Kok diam. Sudah sampai meja makan nih. Malah melamun."
"Jangan terlalu kamu pikirkan apa yang sudah aku katakan. Aku tidak akan memaksa, Aya."
"Aku tahu, butuh banyak waktu untuk aku-- "
"Kita pergi besok." Zoya menjawab dengan cepat.
Hal itu cukup mengejutkan Arya. Ucapannya yang tertahan barusan, membuat bibirnya sedikit terbuka. Di tambah pula jawaban Zoya yang baru saja kupingnya dengar, hal tersebut cukup mengejutkan buat Arya.
"Ap-- apa?"
"Aku bilang, kita bisa pergi besok mas, jika kamu mau."
"Beneran?"
Zoya mengangguk pelan. Seketika, senyum manis dengan manik mata penuh kebahagiaan langsung terlihat. Ternyata, hal receh seperti itu bisa membuat Arya sangat amat bahagia. Sebagian hati Zoya semakin merasa bersalah. Tapi sebagian lagi merasa cukup senang akan hal tersebut.
....
Setelah makan malam yang dipenuhi dengan kebahagiaan, Arya terus memikirkan kebahagiaan esok hari yang akan dia jalani bersama Zoya seharian. Tujuannya adalah, ke tempat yang dulunya pernah dia datangi bersama Zoya. Dia juga akan bawa Zoya berbelanja. Akan dia manjakan istrinya itu besok hari.
Uh ... rasanya, Arya sudah tidak sabar lagi untuk menyambut datangnya pagi. Dia ingin sekali cepat-cepat berkencan dengan wanita pujaan htinya itu. Sangking banyaknya pikiran tentang apa yang akan dia dan Zoya lalui besok, mata Arya bahkan sulit untuk dia pejamkan. Jadilah Arya yang tidak bisa tidur walau harus sudah sangat larut.
"Ah, ya ampun. Kok jadi sulit tidur begini sih? Kan gak asik jika besok aku jalan dengan wajah kusut."
"Aduh ... ayolah mata. Tidurlah!"
Setelah menghabiskan banyak waktu, barulah mata itu terpejam. Karenanya, Arya dibuat bangun kesiangan akibat kelamaan tidur malam.
"Ya Tuhan! Jam berapa sekarang?"
Arya bergegas bangun. Lalu, melihat jam kecil di atas nakas. "Hah!" Hampir jam delapan. Bagaimana mungkin dia bisa tidur sampai jam segitu? Padahal, niatnya dia akan bangun sepagi mungkin.
"Aduh ... ya ampun."
Tanpa banyak membuang waktu, Arya bergegas menuju kamar mandi untuk melakukan rutinitas paginya. Setelahnya, pria itu turun dengan langkah besar agar segera bertemu dengan sang istri. Tentunya, sudah dia pastikan penampilan yang dia kenakan adalah yang paling baik.
lanjut kak...
semngat....
sdah mampir...
semoga seru alur critanya...
semngat kak ...