Istri Bisu Milik Sang CEO

Mobil Theo menyusuri jalan kota Jakarta untuk mengantarkan Moira menuju Perusahaan Dante. Sepanjang perjalanan hanya ada keheningan, tidak ada yang bicara sekalipun itu Theo. Sebenarnya Theo masih sangat berat mau melepaskan Moira, ia sangat suka dengan Moira yang menenangkan hati.

"Ehem, Moi.." Setelah sekian lama terus terjebak didalam keheningan Theo memberanikan diri memulai pembicaraan pada Moira.

Pandangan mata Moira langsung tertuju pada Theo, meskipun tidak bisa bicara tapi ekspresi wajah Moira seperti bertanya ada apa.

"Kalau tempat kerja barumu ini tidak nyaman, kau bisa kembali bekerja di tempatku. Selalu ada lowongan untukmu.." Ucap Theo, terdengar sangat tulus dan lembut.

Sampai Moira terharu. "Kalau bisa memilih aku memang tidak mau meninggalkan perusahaan mu. Bekerja bersama dengan Nia lebih menyenangkan bagiku."

Theo tersenyum melihat apa yang tangan-tangan Moira katakan, mobilnya berhenti didepan Perusahaan Dante.

"Ini kesempatan bagus, Moi. Aku tidak mau mengacaukan karirmu, sebaiknya kau coba dulu. Kalau memang tidak betah nanti bisa resign lalu bekerja lagi bersamaku." Theo memberi saran kepada Moira agar tidak ragu.

Tanpa Theo tahu jika sebenarnya hal yang membuat Moira ragu adalah Leon. Karena Leon adalah suami diam-diamnya, semakin berdekatan dengan pria itu maka akan semakin sulit untuk bernapas. Moira tidak bisa berbuat apapun, apa lagi semua ini telah menjadi keputusan sepihak dari Leon Dante.

Tangan Moira ingin membuka pintu mobil tapi dihentikan oleh Theo, pria itu memegang lengannya seperti ingin mengatakan sesuatu. Tatapan mata Theo sangat dalam dan penuh makna kepada Moira kali ini. Sampai Moira menjadi terlena, ia penasaran akan apa yang dikatakan oleh Theo kali ini.

"Malam nanti aku ingin mengajakmu dinner, kau mau?" Tanya Theo, sebuah tawaran ngedate yang tidak pernah Moira dapatkan sebelumnya dari siapapun.

Karena Moira diam membisu seperti itu membuat Theo menjadi merasa mungkin Moira tidak nyaman dengan ajakannya. "Ah aku tidak memaksa kok, kalau kau tidak mau bisa kita lakukan_" Omongan Theo terhenti karena tangan Moira memegang tangannya.

Tangan Moira bergerak memberikan jawabannya akan ajakan Leon tadi. "Aku mau, malam nanti aku akan datang. Kirim saja alamatnya padaku nanti.."

Theo tersenyum sangat lebar sembari menganggukkan kepala sangat mantap. Ia menjadi tidak sabar dengan agenda malam nanti, secepatnya harus mencari restoran yang enak agar Moira senang nantinya.

"Kau pasti bisa, Moi. Percaya padaku!" Theo menyemangati disaat Moira sudah turun dari mobil.

Wajah cantik Moira tersenyum sangat manis, ia mengangguk sembari menempelkan jari kelingking pada dagunya. Yang mengartikan jika semua akan baik-baik saja, ia yakin itu.

Tanpa Moira dan Theo sadari jika ada Leon yang memperhatikan semua aktivitas mereka. Leon memperhatikan dari jendela ruangannya, ia berbalik badan karena tidak mau melihat lagi senyuman manis Moira untuk Theo tadi.

"Ck, bahkan dia belum pernah senyum selebar itu padaku.." Leon duduk di bangku kebanggaannya, ia memikirkan Moira yang mana sempatnya diantar oleh Theo.

Mengapa mereka bisa seakrab itu, sebenarnya hal apa yang dimiliki Theo hingga membuat sosok Moira menjadi hangat begitu. Sementara Moira saat bersamanya seperti menghindar dan seakan takut. Sungguh sifat berbeda yang sangat tidak Leon sukai, tapi ia terlalu malu untuk memberontak pada Moira tentang sikap yang berbeda itu.

"Dia tidak membalas pesanku hanya karena sedang berdua dengan Theo? Mengapa dia mengabaikan aku demi pria tidak berguna itu, menyebalkan!" Leon melempar dokumen yang menumpuk karena rasa kesal dihati.

Tatapan mata tajam Leon tertuju pada layar ponselnya yang masih menunggu balasan pesan dari Moira. Tidak peduli meskipun balasan Moira nanti hanyalah cacian atau bahkan kemarahan, tetap saja Leon ingin sebuah balasan.

"Astaga, ternyata sangat menyebalkan menunggu balasan pesan dari orang!" Leon memutar bangku kerjanya untuk menghadap pada jendela.

Kedua tangan Leon saling mengepal erat, bayangan Moira yang tersenyum pada Theo tadi masih sangat terlintas di benaknya.

"Tidak akan, aku tidak akan membiarkan dia senyum lagi kepada pria tidak berguna itu!" Leon kesal sendiri sampai seperti memukul lalat padahal mah angin.

"Ehem, permisi, Tuan.." Suara David mengejutkan Leon, langsung pria itu memperbaiki kerah jasnya lalu berbalik badan untuk menatap David.

"Nona Moira sudah datang.."

Leon dan Moira saling tatap satu sama lain, terlihat keduanya tidak ada senyuman satu sama lain. Moira menunduk malah, merasa benci dengan Leon yang sesukanya memanggil dirinya untuk bekerja disisi pria tersebut.

"David, pergilah!" Perintah Leon yang langsung David angguki, jadinya hanya tinggal mereka didalam ruangan yang cukup luas.

Mata Leon tertuju pada tangan Moira yang memegang ponsel, itu menandakan jika ponsel Moira baik-baik saja. Lalu kenapa tidak bisa membalas pesannya, apakah benar-benar sengaja tidak mau membalas pesannya? Mengapa sekejam itu, padahal Leon sangat menunggu sebuah balasan singkat saja.

"Kau tidak memiliki kuota internet?" Tanya Leon disaat Moira sendiri tidak menyangka jika pertanyaan seperti itu sebagai pembukaan obrolan pertama.

"Kenapa dia menanyakan kuotaku?" Moira menjadi bingung sendiri, ia menggelengkan kepala sebagai jawaban.

"Lalu kenapa kau tidak membalas pesanku tadi, apa benar-benar kau sengaja untuk mengabaikan pesanku?" Tanya Leon lagi, kali ini sembari berjalan mendekati Moira yang hanya berdiri menatapnya penuh tanda tanya.

Moira mengetik sesuatu di ponselnya. "Aku lupa, lagian tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi di pesan tadi."

Leon tersenyum sinis, jadi hanya dirinya saja yang menganggap banyak hal yang harus diperbincangkan. "Dengar, kau tidak boleh mengabaikan pesanku seperti tadi. Aku tidak suka itu, yang berhak melakukan semua itu hanya aku. Mengerti?"

Moira semakin yakin jika Leon memang selalu saja sesukanya, Moira mengangguk saja mengalah. Tiba-tiba saja tangan Moira ditarik oleh Leon untuk duduk di sofa, sampai Moira terhuyung karena langkah cepat Leon.