Ratri Swasti Windrawan, arsitek muda yang tidak ingin terbebani oleh peliknya masalah percintaan. Dia memilih menjalin hubungan tanpa status, dengan para pria yang pernah dekat dengannya.
Namun, ketika kebiasaan itu membawa Ratri pada seorang Sastra Arshaka, semua jadi terasa memusingkan. Pasalnya, Sastra adalah tunangan Eliana, rekan kerja sekaligus sahabat dekat Ratri.
"Hubungan kita bagaikan secangkir kopi. Aku merasakan banyak rasa dalam setiap tegukan. Satu hal yang paling dominan adalah pahit, tetapi aku justru sangat menikmatinya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Pria Berkemeja Abu-abu
Sastra tak segera melajukan mobilnya. Pria itu terdiam mengawasi. Memastikan si pemilik SUV pergi lebih dulu. Selagi menunggu, dia merapikan kembali celananya.
Setelah dirasa aman, Sastra segera melajukan kendaraan. Tatapannya tertuju lurus ke depan, pada SUV hitam yang entah akan ke mana. Sastra menjaga jarak aman, agar pemilik mobil di depannya tidak curiga.
Selang beberapa saat, SUV itu berhenti di depan minimarket. Pria yang mengemudikannya keluar, lalu masuk ke sana.
"Ck!" Sastra berdecak kesal, seraya mengawasi dari mobil. Sudah lebih dari sepuluh menit, si pria tak juga muncul.
"Buang-buang waktu," keluh Sastra pelan. Namun, dia belum berniat pergi dari sana. Dia bahkan teringat akan sesuatu, yang membuatnya menyunggingkan senyum tipis.
Sastra mengeluarkan telepon genggam, kemudian mencatat plat nomor kendaraan itu. Dia mengirimkan pada seseorang bernama Dani, dengan dilengkapi pesan teks.
[Bantu aku mencari tahu pemilik kendaraan ini.]
Tak berselang lama, Dani membalas.
[Tiga hari. Aku sedang sibuk saat ini.]
[Aku ingin dalam dua hari. Lebih cepat akan lebih baik. Upahmu langsung kutransfer.]
[Ini yang sulit ditolak. Baiklah.]
Sastra tersenyum puas, seraya menutup layar ponsel. Alat komunikasi canggih tersebut dimasukkan kembali ke dalam saku jaket. Setelah itu, dia menghidupkan mesin mobil, kemudian melanjutkan perjalanan menuju apartemennya.
......................
Waktu menunjukkan pukul setengah delapan kurang beberapa menit, ketika Sastra datang ke apartemen yang ditempati Ratri. Seperti biasa, dia tak bisa melewatkan satu ciuman pun, setiap kali bertemu wanita itu. Mereka bersikap layaknya pasangan kekasih dengan ikatan jelas.
“Sudah. Aku harus ke kantor.” Ratri berusaha menjauhkan diri dari Sastra, yang seakan tak mau berhenti menciumnya.
"Sekali lagi."
"Ya, ampun. Apakah seperti ini rasanya jadi Elia?"
Sastra tertawa renyah, seraya kembali meraih pinggang Ratri. “Astaga. Aku sudah kecanduan bibirmu,” godanya, diiringi senyum nakal.
“Dasar mesum,” cibir Ratri, seraya memukul pelan lengan pria itu. "Lepaskan. Aku harus bersiap-siap ke kantor. Kamu hanya membuatku terlambat"
Sastra kembali tertawa. Dia terpaksa melepaskan Ratri, membiarkannya merapikan pakaian dan rambut. Sementara itu, dirinya hanya berdiri memperhatikan, sambil menyandarkan sebagian tubuh pada meja tempat meletakkan beberapa hiasan keramik.
Setelah selesai merapikan kembali penampilan, Ratri menoleh. “Apa yang harus kukatakan, jika Elia melampiaskan kemarahannya padaku?” Dia menghadapkan tubuh sepenuhnya, pada pria tampan bergaya rambut man bun itu.
“Katakan saja bahwa kita sudah resmi berpacaran,” jawab Sastra enteng.
“Konyol sekali. Lagi pula, aku tidak tahu rencanamu selanjutnya. Ah, itu urusanmu dengan Elia.” Ratri meraih tas dari sofa. "Satu yang pasti, aku tidak berani mengatakan itu padanya. Meskipun Elia sudah bersikap jahat, tetapi aku tahu dia juga pasti terluka."
"Tanyakan padanya, kenapa berselingkuh?" Sastra mendekat ke hadapan Ratri. "Coba kamu bandingkan antara aku dengan Prama. Apakah dia lebih keren?"
"Kalian sama-sama terlihat mesum," ujar Ratri, kemudian menjulurkan lidah.
“Aku tidak ingin memikirkan masalah itu sekarang. Aku sedang dalam masa menenangkan diri,” ujar Sastra enteng.
"Apa kamu sudah bertemu Prama?"
Sastra menggeleng.
"Apa yang akan kamu lakukan?"
"Entahlah. Kami berteman baik sejak lama." Sastra mengembuskan napas pelan dan dalam. "Kita berempat tak ada bedanya. Itulah kenapa aku tidak tahu apakah harus menghajar bajingan itu atau tidak. Untuk saat ini, aku memilih bersikap tak peduli."
Ratri tak menanggapi. Dia hanya menatap Sastra penuh arti. Tak terbayangkan dirinya akan berada dalam situasi seperti saat ini
Ya. Ratri bisa saja menghindar dan menolak tegas godaan Sastra. Namun, kenyataannya tidak Sisi normal sebagai wanita, tak kuasa dilawan Pesona kuat seorang Sastra Arshaka membuatnya terlena.
"Jika suatu hari nanti kamu bosan padaku, kuharap kita mengakhiri ini secara baik-baik," ucap Ratri pelan.
"Ya. Namun, untuk saat ini aku masih merasa nyaman dan ...." Sastra tidak sempat melanjutkan kalimatnya karena dering panggilan.
"Sebentar." Sastra sedikit menjauh dari Ratri, sebelum menjawab panggilan yang berasal dari Carson. Mereka berbicara selama beberapa menit, sebelum Sastra kembali ke hadapan Ratri.
“Ayo. Kuantar ke tempat kost-mu,” ajak Sastra.
“Ah, tidak. Aku akan ke sana nanti sore. Sendiri,” tolak Ratri, seraya berjalan ke pintu keluar.
“Kalau begitu, kuantar ke kantor,” ujar Sastra enteng, seraya mengikuti dengan langkah tenang.
Mendengar ucapan Sastra, membuat Ratri langsung tertegun dan menoleh. Dia melotot tajam, sebagai tanda protes keras. “Jangan gila!”
Namun, Sastra justru membalas dengan tawa pelan. “Aku sudah gila sejak pertama kali bertemu langsung denganmu.”
Ratri mendelik, sambil berlalu. Dia tersenyum kecil, mendengar rayuan usang Sastra. Meskipun tidak membuatnya tersanjung, tetapi dirasa cukup menghibur.
“Kalau kamu tidak mau diantar ke tempat kost atau ke kantor, lantas untuk apa aku kemari pagi-pagi begini?” protes Sastra, seraya mempersilakan Ratri masuk ke lift.
“Wow! Apa lift-nya berbeda?” tanya Ratri, mengabaikan ucapan Sastra. Dia justru mengagumi interior lift yang tak biasa.
“Ini merupakan lift khusus. Bisa dikatakan VIP karena hanya diakses oleh sebagian kecil penghuni apartemen. Salah satunya adalah kamu,” terang Sastra. Dia menuntun Ratri masuk karena wanita itu hanya terpaku di depan lift.
“Mengagumkan,” gumam Ratri takjub.
Sastra tak sempat menanggapi, berhubung ada seseorang yang masuk ke lift. Pria berkemeja abu-abu tua, dengan lengan dilipat tiga per empat. Pria itu berdiri membelakangi dirinya dan Ratri.
"Kamu pulang saja," bisik Ratri, baru menanggapi ucapan Sastra.
"Astaga. Membuang waktu," keluh Sastra dengan berbisik pula.
"Aku tidak mau Elia makin meradang. Jangan menambah masalah," bisik Ratri lagi.
"Ck!" Sastra berdecak pelan. Dia tak mengatakan apa pun lagi, berhubung pintu lift sudah terbuka.
Ternyata, si pria berkemeja abu-abu tua juga menuju lantai yang sama. Mereka bahkan berjalan beriringan menuju tempat parkir. Namun, tak ada sapa atau sekadar basa-basi. Dia bersikap sangat dingin.
"Apakah orang kaya memang seperti itu?" tanya Ratri polos, setelah duduk di dalam mobil.
"Tidak juga," jawab Sastra, seraya memasang sabuk pengaman. Pria itu terdiam sejenak. "Kamu pasti tahu. Tidak perlu berpura-pura," ucapnya, seraya menoleh sekilas.
"Apanya yang berpura-pura?" Ratri menautkan alis tak mengerti.
"Bi Lestari bercerita banyak padaku tentang keluargamu dulu."
Ratri tersenyum kelu. "Itu dulu. Sekarang, aku bukan siapa-siapa. Aku harus bekerja keras demi masa depan Asha," ucapnya.
"Kami kerap berkirim pesan," ujar Sastra, seraya menghidupkan mesin mobil.
"Kuharap, kamu tidak merayunya. Dia masih kecil."
"Ya, ampun. Jahat sekali pikiranmu. Tenang saja Kamu lebih menggoda." Sastra hendak melajukan kendaraan. Namun, dia mengurungkan niat, ketika sebuah SUV hitam melintas lebih dulu dari arah kanan.
taukan ela itu pemain drama
apa prama yaa
☹️☹️
betkelas dech pokoknya
" ternyata baru kusadari sirnanya hatimu yg kau simpan untuknya
aku cinta kepadamu,aku rindu dipelukmu
namun ku keliru t'lah membunuh cinta dia dan dirimu... oh...ohh..ohhh"
😅😅😅😘✌
jangan2 emaknya ratri ibu tirinya sastra...