Misteri Rumah Kosong.
Kisah seorang ibu dan putrinya yang mendapat teror makhluk halus saat pindah ke rumah nenek di desa. Sukma menyadari bahwa teror yang menimpa dia dan sang putri selama ini bukanlah kebetulan semata, ada rahasia besar yang terpendam di baliknya. Rahasia yang berhubungan dengan kejadian di masa lalu. Bagaimana usaha Sukma melindungi putrinya dari makhluk yang menyimpan dendam bertahun-tahun lamanya itu? Simak kisahnya disini.
Kisah ini adalah spin off dari kisah sebelumnya yang berjudul, "Keturunan Terakhir."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MRK 1
Sebuah mobil berjalan lambat di atas jalanan rusak penuh bebatuan khas pelosok desa. Penumpangnya seorang wanita dan putrinya yang baru saja lulus SMA. Sukma berusaha keras mengendalikan kendaraan tua yang baru dibelinya itu, mereka hendak menuju rumah nenek Ratih, ibu mertuanya.
Matahari baru saja tenggelam kala itu, menampilkan warna jingga di ufuk langit. Sayup-sayup terdengar suara tarhim dari murottal yang dipasang di masjid, suaranya terdengar begitu syahdu, melewati pucuk-pucuk daun tanaman perdu.
Ya, mereka disambut pemakaman yang memanjang di sisi kiri jalan, cukup membuat bulu kuduk berdiri mengingat warna langit mulai menghitam. Belum lagi akses desa yang sangat tak bersahabat menghambat laju perjalanan.
“Nggak ada jalan yang lebih baik apa, Bu?” gumam Nadira lirih tapi masih mampu didengar oleh ibunya.
“Diamlah, ini gara-gara kamu tadi, coba tadi kamu nggak kelamaan kita nggak akan kemalaman sampai sini.” Sukma membalas protes putrinya yang sedari awal keberatan kembali ke desa.
Remaja delapan belas tahun itu tentu belum dewasa, sedikit banyak ia menyalahkan sang ibu akan nasib buruk yang menimpa mereka setelah kepergian ayahnya. Ya, Bagas Bimantara—ayahnya baru saja meninggal dunia, dan sejak saat itu ibunya mengambil alih usaha keluarga.
Namun, nasib sial tak dapat ditebak. Sukma ditipu mentah-mentah oleh adiknya sendiri. Niat hati meminta bantuan sang adik justru berakhir menjadi korban penipuan. Sukma kehilangan segalanya dalam semalam.
Ia menjual rumah, satu-satunya harta yang tersisa, lantas menggunakan sebagian uangnya untuk membeli mobil tua dan memutuskan kembali ke desa sang suami, dimana ibu mertuanya tinggal seorang diri.
Orang tuanya sendiri telah lama tiada, adik yang menipunya juga bukan adik kandung. Itulah yang membuat Nadira geram, karena ibunya terlalu mempercayai orang lain.
“Justru ini gara-gara Ibu, memangnya salah siapa kita harus pindah ke desa, Bu? Lagian bukannya Dira sudah kasih solusi agar kita cari kontrakan murah aja di kota, alih-alih uangnya buat beli mobil rongsokan begini,” celoteh gadis itu lagi.
Sukma memilih diam, ia tak ingin kembali berdebat dengan putrinya. Gadis yang baru saja beranjak dewasa itu terbiasa dimanja oleh suaminya, membuat Dira tumbuh menjadi gadis yang sedikit sembrono. Tak memiliki rasa takut pada siapapun.
Lagi pun Siapa yang ingin ditipu, siapa yang ingin merugi, menjadi korban penipuan, tak cukupkah itu membuatnya menerima simpati, bukannya justru mendapat penghakiman yang pedihnya tiada terperi.
“Bu, kita kembali aja ya. Di desa itu nggak asyik Bu, nggak ada sinyal. Nggak bisa nonton bioskop, nggak bisa nongkrong dan yang jelas Dira nggak punya teman,” rengeknya lagi. Masih berusaha merubah keputusan sang ibu.
“Diamlah, ibu juga sudah bilang kan… nenek itu sendiri disana, nggak kasihan kamu?”
“Kan ada pak lek.” Lirih suara Dira masih bisa didengar oleh Sukma, tapi wanita itu memilih abai.
“Nah, sebentar lagi kita akan sampai. Di sebelah rumah besar itulah rumah nenek.” Sukma menunjuk sebuah rumah dua lantai yang terlihat rusuh, sepertinya bangunan itu sudah lama kosong. Terbukti dari banyaknya rumput liar di sekitar rumah, bahkan sampai ke atas genting.
Dira merasa aneh, ibunya bilang rumah neneknya tepat di samping rumah kosong. Tapi kenapa mobil mereka tetap melaju dan berbelok memutar. Awalnya ia masih diam, tapi ibunya seperti tidak sadar. Mengulangi hal serupa hingga beberapa kali.
“Bu, kenapa kita hanya berputar-putar? dimana rumah nenek?”
“Apa maksudmu?”
Nadira menghela nafas berat, menghadap lurus ke arah ibunya yang masih sibuk mengendalikan kuda besi itu. “Sadarlah Bu, sudah lima kali kita berjumpa dengan rumah kosong yang sama. Juga berbelok di pertigaan yang sama, kata ibu rumah nenek tepat di sebelah rumah kosong kan?”
Sukma tampak berpikir keras, ia sendiri tak sadar dengan apa yang dilakukannya. Setelah melewati rumah kosong untuk yang kesekian kalinya, Sukma melirihkan laju mobil. Mencari-cari rumah nenek Ratih tapi tak melihat apapun kecuali gelap dan asap putih yang memenuhi sekitar. “Ada yang bakar sampah ya? ini asap dari mana?” gumam Sukma membuka pintu mobil.
“Ibu, Ibu mau kemana?” Dira menarik tangan ibunya, lantas membantu sang ibu menutup kembali pintu kendaraan mereka. “Lebih baik kita tetap di mobil deh Bu, Dira merasa aneh… seingat Dira juga dulu rumah nenek disini kan? tapi ini kenapa jadi tanah kosong begini?” Menunjuk ke arah lokasi dimana seharusnya rumah neneknya berada.
“Sebentar ya, ibu telepon pak lekmu dulu.” Sukma meraih ponsel dalam tas, mencoba menghubungi adik sepupu suaminya itu. “Aduh nggak ada sinyal lagi,” keluh Sukma menunjukkan ponsel pada putrinya.
Sementara itu Dira melakukan hal sama, lebih buruknya ponsel Dira mati kehabisan daya. “Itulah Bu, desa. Jaringan sulit.”
“Gimana ini Dira, mana di luar sepi banget lagi…”
“Ya nggak tau Bu, malah tanya Dira. Gimana sih? Bu, Dira pengen pipis nih..”
“Aduh kamu ini, ditahan dulu aja!” Sukma merasa frustasi akan sikap putrinya itu. Dalam keadaan genting begini bisa-bisanya malah ingin buang air kecil. Sungguh merepotkan pikirnya.
“Tapi sampai kapan? rumah nenek aja belum jelas dimana,” jawab gadis berambut lurus itu.
“Ya udah kita jalan lagi aja, bismillah semoga di depan ada orang yang bisa kita tanya.” Sukma kembali menghidupkan mesin, tapi sayang sekali. Sepertinya mobil mereka mogok, mesin enggan menyala. Ibu dan anak itu pun semakin panik, apalagi saat melirik ke arah rumah kosong di belakang mereka. Entah kenapa bulu kuduk merinding seolah ada mata yang mengawasi keduanya dari bangunan dua lantai itu.
“Yang benar saja Ibu…” Dira hampir menangis, sebenarnya ia sudah ketakutan sejak tadi. Keinginan pipis hanya alasan semata.
Suasana desa memang tampak aneh malam ini, setau Sukma di jam segini desa suaminya ini masih ramai. Banyak warga yang duduk di teras untuk sekedar berbincang, sembari memesan bakso atau kupang lontong yang kebetulan lewat di depan rumah. Tapi kali ini, pintu rumah para warga tertutup rapat. Lampu rumah juga mati, hanya lampu teras yang dibiarkan menyala.
“Haruskah ibu turun? kita coba tanya ke salah satu penghuni rumah.”
“Tapi Bu, gimana kalau di luar jauh lebih berbahaya?” Dira mulai khawatir, bagaimanapun juga ibu adalah satu-satunya orang tua yang dimilikinya kini.
“Tidak apa-apa, jangan takut pada makhluk halus. Kita punya Allah Dira. Kita turun bersama dan baca ayat kursi,” usul Sukma. Dira mengangguk setuju, keduanya pun turun dari mobil, bergandengan tangan menuju salah satu rumah.
Tok tok tok….
“Assalamualaikum…” ucap keduanya. Tak ada jawaban dari dalam rumah itu. Dira mengulang salam, tapi keadaan masih sama. Sunyi senyap seolah rumah itu tak berpenghuni.
Hihihihihihihi….
“Alamak… Ibu….” Nadira memeluk ibunya erat, bersembunyi di balik ceruk leher sang ibu. Suara tawa seorang wanita membuatnya hampir saja mengompol. Sukma mencoba menenangkan putrinya itu, memeluk erat tubuh Dira dan menuntunnya kembali ke mobil.
“Siapa itu? jangan ganggu kami!” teriak Sukma lantang, kali ini ia membaca ayat kursi keras-keras. Dan tiba-tiba saja ia merasakan sebuah tepukan tangan di pundaknya.
“Aaaaah….!!!”
.
Tbc
Haloha yeorobun... Ada yang kangen Rendra? Stay ya buat ketemu cogan kita. 😘👻