Alya, gadis miskin yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di salah satu universitas harus bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya tertarik saat menerima tawaran menjadi seorang baby sister dengan gaji yang menurutnya cukup besar. Tapi hal yang tidak terduga, ternyata ia akan menjadi baby sister seorang anak 6 tahun dari CEO terkenal. kerumitan pun mulai terjadi saat sang CEO memberinya tawaran untuk menjadi pasangannya di depan publik. Bagaimanakah kisah cinta mereka? Apa kerumitan itu akan segera berlalu atau akan semakin rumit saat mantan istri sang CEO kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25, Ingin tetap tinggal
Setelah menidurkan Tara, Alya memilih untuk duduk di teras samping rumah. Udara malam yang sejuk dan gemerisik daun memberikan rasa tenang setelah hari yang melelahkan. Ia memeluk secangkir teh hangat di tangannya, merenung tentang segala kejadian yang baru-baru ini terjadi.
Apakah memang aku harus bertahan? batinnya sedikit goyah. Tara membutuhkanku.
Perlahan, suara langkah kaki terdengar mendekat. Alya menoleh dan melihat Aditya berjalan ke arahnya. Ia mengenakan kemeja kasual yang lengannya digulung hingga siku. Wajahnya terlihat lelah, tetapi sorot matanya serius. Tanpa berkata apa-apa, Aditya duduk di kursi di samping Alya, pandangannya terarah ke langit malam yang bertabur bintang.
Aditya menghela nafas panjang, "Langitnya cerah malam ini."
Alya tersenyum tipis, "Iya. Tapi kelihatannya kepala kita berdua nggak secerah itu."
Aditya tersenyum kecil, tetapi tak langsung merespons. Beberapa detik berlalu dalam keheningan, hanya suara jangkrik yang menemani.
Aditya mengalihkan pandanganya ke arah Alya, "Alya... aku tahu, situasi ini nggak mudah buat kamu. Terutama setelah apa yang Nadia lakukan."
Alya tersenyum samar, "Saya nggak apa-apa, pak. Saya hanya tidak ingin Tara merasa terjebak di tengah semua ini."
Aditya menganggukkan kepalanya pelan, "Aku juga tidak ingin itu terjadi. Tapi aku sadar satu hal... Tara butuh kamu."
Alya menatap Aditya dengan mata sedikit terbelalak, tak menyangka mendengar kata-kata itu.
"Pak Aditya yakin? Bukannya... bukannya aku hanya pengasuh yang kebetulan ada di waktu yang tepat?"
Sekali lagi Aditya menggelengkan kepalanya pelan, "Kamu lebih dari itu, Alya. Aku tahu aku mungkin belum pernah bilang ini dengan jelas, tapi aku melihat bagaimana kamu merawat Tara. Kamu memberikan sesuatu yang bahkan aku atau Nadia nggak pernah bisa—perasaan aman dan diterima."
Alya tersipu dengan ucapan Aditya, "Pak... aku hanya melakukan tugasku."
Kali ini Aditya menatap Alya secara intens, seolah ingin Alya hanya memperhatikan matanya, "Kalau itu hanya tugas, kenapa kamu selalu memprioritaskan perasaannya bahkan ketika kamu disakiti? Kenapa kamu bertahan ketika orang lain mungkin sudah pergi?"
Alya terdiam, tak tahu harus menjawab apa.
Aditya pun melanjutkan ucapannya, "Aku tahu Nadia nggak akan berhenti sampai dia mendapatkan apa yang dia mau. Tapi aku sudah memutuskan. Kalau ini berarti aku harus melawan dia... aku akan melakukannya."
Alya cukup terkejut, "Melawan? Maksud pak Aditya?"
Aditya kembali menatap Alya dalam-dalam, "Aku akan melindungi Tara. Dan aku akan melindungi kamu juga, Alya. Aku memberikan kepercayaan penuh padamu untuk tetap tinggal. Aku tahu Tara butuh kamu. Dan... aku juga merasa butuh kehadiranmu di sini."
Alya merasakan jantungnya berdetak lebih cepat mendengar pengakuan Aditya. Ada kehangatan yang menyelimuti hatinya, tetapi juga keraguan.
"Pak Aditya... saya nggak tahu apakah saya pantas mendapatkan kepercayaan itu. Bu Nadia benar, saya bukan ibu Tara. Saya cuma orang luar." ucap Alya dengan suara pelan.
Aditya menyela dengan tegas, "Kamu bukan orang luar."
"Maksud pak Aditya?" tanya Alya ragu.
Aditya pun sama, ia merasa terjebak dengan ucapanya sendiri, "Kamu..., kamu adalah seseorang yang telah membuat Tara tertawa, merasa aman, dan percaya bahwa dia dicintai. Itu jauh lebih berarti daripada apa pun."
Alya menundukkan kepalanya, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya.
"Aku... aku nggak tahu harus bilang apa."
Aditya tersenyum tipis, "Kamu nggak perlu mengatakan apa-apa, Alya. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku percaya padamu. Dan kalau Nadia ingin mencoba mengambil hak asuh Tara, dia harus berhadapan denganku terlebih dulu."
Alya tersenyum kecil, meskipun air mata akhirnya jatuh di pipinya.
"Terima kasih, Pak. Aku nggak tahu bagaimana caranya, tapi aku akan melakukan yang terbaik untuk Tara." ucap Alya berbisik.
"Sebaiknya jangan panggil aku, pak. Itu rasanya begitu aneh, rasanya aku seperti sudah sangat tua." ucap Aditya dengan sedikir bercanda.
"Saya harus panggil apa, pak? Rasanya tidak pantas kalau saya hanya panggil nama." ucap Alya merasa sungkan, meskipun sudah beberapa kali Aditya meminta Alya untuk memanggil nama saja.
"Sepertinya aku lebih suka jika kamu panggil mas, itu tidak akan terlalu canggung kan?" Aditya memberi ide. Tapi justru ide itu membuat Alya semakin canggung.
"Mas...,"
Aditya tersenyum, "Nah itu lebih bagus."
Mereka duduk dalam diam, menikmati momen keheningan di bawah langit malam. Angin sepoi-sepoi menggoyangkan dedaunan di sekitar mereka. Meski banyak tantangan di depan, Alya merasa sedikit lebih ringan. Ia tahu kini ia tidak berjalan sendirian.
Aditya mengalihkan pandangannya ke langit, lalu berujar dengan suara rendah.
"Langit cerah ini... semoga menjadi pertanda baik untuk kita semua."
Alya menatap Aditya sejenak sebelum kembali memandang ke arah bintang-bintang. Dalam hati, ia berdoa agar ia cukup kuat untuk melindungi Tara dan mendukung keluarga kecil ini.
Bersambung
Happy reading