Sepeninggal suami, Nani terpaksa harus bekerja sebagai seorang TKW dan menitipkan anak semata wayangnya Rima pada ayah dan ibu tirinya.
Nani tak tau kalau sepeninggalnya, Rima sering sekali mengalami kekerasan, hingga tubuhnya kurus kering tak terawat.
Mampukah Nani membalas perlakuan kejam keluarganya pada sang putri?
Ikuti kisah perjuangan Nani sebagai seorang ibu tunggal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenyataan Pahit
Saat sang putri tengah membersihkan diri Nani bergegas melempar seluruh barang milik ayah dan ibu tirinya dari kamarnya.
Setelahnya dia membereskan kamar Rima yang juga di penuhi oleh barang-barang Dita adik tirinya.
"Enak saja mereka menguasai rumahku, aku berjanji akan membalas kalian!" monolognya kesal.
Setelah merapikan barang-barang miliknya dan sang putri ke kamar yang memang seharusnya milik mereka, Nina segera menuju ke dapur untuk mencari plastik guna mengumpulkan pakaian milik orang tua dan saudari tirinya.
"Bu," panggil Rima lemah.
"Ya Allah gusti, kenapa tubuhmu penuh lebam nak?" Rima yang keluar hanya dengan melilitkan handuk yang sangat kusam dan penuh dengan robekan memperlihatkan beberapa lebam yang ada di bahu sampai punggungnya.
"Ayo kamu segera berpakaian, nanti kita ke rumah sakit ya," ajaknya.
Nina sudah mengirimkan segala barang bawaan serta oleh-olehnya pada penitipan kargo yang baru bisa di terimanya lusa.
Ia bersyukur ada dua potong pakaian milik putrinya yang dia bawa sendiri.
"Ibu belikan ini, kamu suka?" ucapnya sambil merentangkan sebuah gamis berwarna soft pink yang sangat cantik.
Mata Rima berbinar, "ini cantik sekali Bu, terima kasih," Rima lantas memeluk sang ibu bahagia.
"Iya nak, cantik seperti kamu, maafkan ibu ya nak, ibu ngga tau kalau sepeninggal ibu, hidupmu sangat menderita," lirih Nina.
"Rima senang sekarang ibu udah pulang, ibu ngga akan ninggalin Rima lagi kan?" tanya Rima sendu.
Nina menghapus jejak air mata di wajah anaknya, tentu saja dia tidak akan meninggalkan lagi sang putri.
Selain dia sudah habis kontrak kerja, Nina juga sudah memiliki cukup simpanan untuk membuka usaha di rumah.
.
.
Dita gadis yang selalu hidup dengan bebas, pagi itu ia menatap heran kediaman kakak tirinya yang cukup tenang.
Biasanya pagi hari di waktu libur seperti ini suara teriakan ibunya dan tangisan Rima akan menjadi suara nyanyian di pagi harinya.
"Bu!" panggilnya lalu mendudukkan diri di sofa ruang tamu.
Matanya terbelalak kala melihat bungkusan plastik di depan kamarnya.
Saat dia ingin mendekat, pintu kamarnya terbuka dan muncullah Rima dari dalam kamarnya.
"Anak setan! Ngapain kamu dandan kaya gini hah! Sana cepat ambilin aku sarapan!" bentaknya.
Saat dia hendak memukul Rima yang masih diam mematung, suara jeritan dari arah dapur membuatnya membeku.
"Turunkan tanganmu kalau ngga mau golok ini membuntungi tanganmu!" ancam Nina sambil berjalan mendekat.
"Mbak ... Mbak Nina?" ucapnya dengan wajah pias, setelah itu dia segera tersenyum menyembunyikan keterkejutannya.
"Kapan mbak pulang?" sapanya berusaha ramah.
Tak ada sambutan dari Nina yang masih menatap tajam dirinya.
"Keluar dari rumahku sekarang kalau kamu masih sayang sama nyawamu!" ancamnya mendekati Dita dengan perlahan.
Tentu saja Dita ketakutan melihat wajah sangar kakak tirinya, terlebih lagi Nina masih memegang golok di tangannya.
"Apa maksud mbak Nina? Kita kan keluarga, lagi pula aku tinggal di sini Mbak?" jelasnya sambil berjalan mundur.
"Satu ... Dua ..." tanpa banyak kata Nina menghitung, enggan mendengarkan penjelasan Dita.
Dita yang ketakutan dengan perubahan Nina mau tak mau keluar dengan terbirit-birit, kala Nina mengacungkan goloknya.
"Astaga, kesambet apa sih tuh janda! Pasti anak setan itu udah ngadu ke ibunya. Duh lagian ke mana sih bapak sama ibu!” dengusnya kesal.
"Bu Wingsih liat ibu sama bapak?" tanya Dita pada tetangganya.
"Tadi sih liat, belum pulang emang? Olah raga pagi kali!" jawabnya ketus.
"Ke mana lagi mereka pergi, apa mereka juga di usir sama mbak Nina ya?" gumamnya.
"Apa! Nina udah pulang?" tanya Wingsih terkejut.
"Biasa aja dong bu Wingsih ngagetin aja!" dengus Dita sambil mengusap dadanya.
"Alhamdulillah, saya yakin kalian pasti akan di balas sama mbak Nina!" kecam Wingsih.
Dita memandang sebal pada perempuan yang umurnya tidak begitu jauh dari Nina itu.
"Alah janda kaya dia bisa apa? Bentar lagi juga berangkat dia jadi TKW!" ketusnya lalu meninggalkan kediaman Wingsih menuju rumah kakak kandungnya.
"Pasti mereka ke rumah mbak Tyas, aku ke sana aja deh! haduh bisa runyam kalau anak setan itu ngadu ke mbak Nina," monolognya.
Wingsih yang mengetahui Nina sudah kembali, mengajak sang suami untuk mendatangi kediamannya.
"Assalamualaikum," sapa Wingsih saat melihat Nina dan Rima tengah duduk di ruang tamu.
"Wa ‘alaikumsalam, masuk Bu Wingsih, pak Prapto," jawabnya sambil mempersilakan keduanya masuk.
"Kapan pulang Mbak Nina?" tanya Wingsih setelah keduanya di persilakan duduk.
"Baru tadi Bu," lirihnya sambil memeluk bahu sang putri.
Wingsih meneteskan air mata, baru beberapa jam bertemu dengan ibunya, Wingsih melihat perubahan yang sangat signifikan pada gadis itu.
Wajah Rima tampak bersih dan berseri, hatinya bersyukur karena Rima bisa kembali berkumpul dengan ibunya.
"Saya yakin Mbak Nina sudah tau keadaan Rima. Maafkan saya yang sebagai tetangga ngga bisa berbuat apa-apa."
Wingsih sudah beberapa kali bertengkar dengan Titik dan Dita kala melihat langsung mereka menyiksa Rima. Namun ia tak bisa berbuat banyak, dirinya yang hanya seorang ibu rumah tangga hanya bisa terenyuh menyaksikan keadaan Rima.
Terkadang dia memberikan Rima makanan yang layak karena sering melihat remaja itu sering kelaparan.
"Bu Wingsih sering membela Rima Bu, bahkan sering kasih Rima makanan," jelas Rima.
Nina tak kuasa menangis mendengar ucapan putrinya, "terima kasih Bu Wingsih pak Prapto sudah menolong anak saya."
"Kami yang malu mbak Nina, ngga berani membantu lebih, saya benar-benar minta maaf," sergah Prapto yang juga merasa bersalah.
Sebagai seorang laki-laki, bahkan dia juga sering menasihati pak Dibyo agar bisa mengontrol kelakuan istri dan anaknya agar tak melukai Rima. Sayangnya semua di anggap angin lalu oleh lelaki tua itu.
"Ngga papa bu, pak, saya yang salah telah mempercayakan mereka untuk menjaga Rima. Saya ngga akan kecolongan lagi, mereka harus merasakan akibatnya," kecamnya.
"Yang sabar mbak Nina. Sekarang mereka akan ke mana? Soalnya setau saya rumah orang tua mbak Nina udah di sita sama rentenir, dan mereka tinggal di sini setelahnya," jelas Bu Wingsih yang membuat Nina terkejut.
"A-apa? Rumahku di sita?" Bu Wingsih mengangguk.
Itulah sebabnya tadi mereka tak mau pergi dari rumah ini? Ternyata mereka benar-benar biadab!
"Kalian seperti mau pergi," tanya Wingsih saat melihat penampilan keduanya.
"Iya Bu, saya akan memeriksakan kondisi Rima ke rumah sakit," jelas Nina.
"Ya sudah kalau begitu kami pamit ya Nina. Kami harap kamu ngga perlu bekerja kembali ke luar negeri, kasihan Rima," pinta Wingsih saat mereka hendak pamit pulang.
"Iya Bu, saya ngga akan pergi ke mana-mana lagi, terima kasih untuk pertolongan kalian pada Rima ya Bu, Pak."
Saat Nina dan Rima hendak masuk kembali ke dalam rumah, terdengar teriakan dari arah belakang mereka kembali.
"HEH! ANAK NGGA TAU DI UNTUNG! KENAPA KAMU MENGUSIR BAPAK DAN IBU!"
.
.
.
Tbc