Cantik, cerdas dan mandiri. Itulah gambaran seorang Amara, gadis yang telah menjadi yatim piatu sejak kecil. Amara yang seorang perawat harus dihadapkan pada seorang pria tempramental dan gangguan kejiwaan akibat kecelakaan yang menimpanya.
Sanggupkah Amara menghadapi pria itu? Bagaimanakah cara Amara merawatnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SHIRLI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Merasa sendirian (Rindu Juan)
Amara melangkah cepat menuju washtafel guna mencuci tangannya. Bekas gigitan itu terlihat memerah dan mulai lebam. Tentu saja menyisakan rasa sakit yang lumayan. Tak lupa pula ia menggunakan antiseptik untuk menetralkannya dari kuman.
Ini untuk yang ke sekian kalinya Amara mendapat perlakuan kasar dari pria sakit itu. Dan entah sampai kapan hal ini akan terjadi, tak ada yang tahu, bahkan Amara sendiri. Sebab itu semua adalah rahasia Sang Ilahi.
Amara terpaku saat pandangannya terarah pada cermin di depan dan menampakkan pantulan dirinya di sana. Amara tersenyum getir menatap dirinya sekarang yang telah berbeda dengan dia yang sebelumnya.
Wajah lelah penuh rasa putus asa. Serta warna hitam di kantung mata yang sudah mirip mata panda. Entah kapan terakhir kali ia tidur nyenyak dan istirahat nyaman. Pikiran tenang pun hilang entah kemana, sebab hari-harinya kini dilalui dengan rasa was-was dan penuh kecemasan.
Amara menyeka bulir bening yang tiba-tiba meluncur bebas dari sudut matanya. Sehebat apapun dirinya menyimpan tangis di depan banyak orang, tetap saja air mata itu tumpah di saat dirinya merasa sendirian. Hal yang tak pernah Amara tunjukkan betapa rapuhnya ia di balik topeng ceria dan setegar karang.
Bagaimanapun juga Amara hanyalah wanita biasa. Dia juga mendambakan sentuhan lembut kasih sayang, sebagai penyemangat dalam menjalani hari-hari berat. Saat keluarga tak lagi dimilikinya, Amara seperti kehilangan dayung dari sampannya. Ia seperti terombang-ambing di lautan luas.
Hanya Juanlah sosok penyelamat yang selalu hadir dalam keadaan suka maupun duka. Dalam tangis maupun tawa. Hanya dia satu-satunya orang yang mampu mengisi ruang kosong di hati Amara.
Namun Amara hanya berani menganggapnya sebagai sahabat dan menghalau perasaan lebih yang pernah singgah. Cinta, sebuah rasa yang tak layak untuk Amara miliki. Bahkan hanya sekedar bermimpi untuk memiliki tambatan hati, Amara merasa hal itupun tak pantas bagi diri.
Ia sudah puas hati dengan hanya mencintai tanpa ingin memiliki. Karena ia cukup tahu diri. Tak sedikitpun rasa sesal meski sejak kecil hingga sekarang cintanya hanya berlabuh pada Juan, lelaki yang benar-benar tak ingin ia miliki. Ia cukup bahagia meski hanya sebagai sahabat saja. Dan Amara bertekad tak ingin merusak persahabatan mereka dengan cinta yang bisa saja menjadi derita.
Namun kini saat penopang itu tak lagi bersama untuk menyangga, semangat Amara seakan runtuh dan porak-poranda. Tiada lagi tempat untuk menyandarkan kesedihannya. Tak ada tempat untuk berbahagia. Ia benar-benar merasa sendirian meski di sekeliling banyak orang.
"Juan ,,, aku rindu ,,," lirihnya dalam sedu.
* * *
"Terimakasih ya, Pak Mamad sudah mengantar Amara sampai sini," ucap Amara sambil memiringkan kepala--untuk menatap Mamad yang masih duduk di belakang kemudi--saat mobil berhenti di lobi rumah sakit.
"Nggak perlu sungkan, Amara," jawab Mamad ramah dengan senyum hangat. "Bapak tunggu di basemen, nanti telpon bapak kalau urusan sudah kelar."
"Iya pak, Amara masuk dulu ya. Assalamualaikum," pamit Amara, ia tersenyum sambil melambaikan tangan dan kemudian berbalik badan lalu melangkah menjauh dengan langkah ringan.
Setelah mengawasi punggung gadis berjilbab itu hingga tak nampak dari pandangan, Mamad pun melajukan mobilnya menuju tempat parkir rumah sakit untuk menunggu Amara di sana.
Seminggu sekali Amara datang ke rumah sakit Ia memang memiliki kewajiban untuk menyerahkan laporan mengenai kesehatan Dimas. Mengingat kesehatan Dimas sendiri masih berada dalam pantauan tim dokter rumah sakit tempatnya di operasi.
Saat memasuki ruang resepsionis, beberapa orang teman Amara yang saat itu sedang bertugas tampak terkejut dengan kedatangan Amara. Senyum bahagia tampak menghiasi wajah mereka. Disertai pelukan hangat dan penuh kerinduan sebagai sambutannya.
"Amara, aku kangen," ucap Hana yang masih bergelayut di lengan Amara dengan mimik manja.
"Aku juga kangen ,,," Amarapun membalas tak kalah manja dan bahkan memanyunkan bibirnya.
Melihat itu, Hana pun terkekeh geli dan kembali merangkul sahabatnya.
"Apa kau melihat Mbak Diana?" tanya Amara kemudian saat keduanya sudah duduk di kursi dengan wajah penasaran.
"Dia sedang memeriksa pasien sama Dokter Lucy."
"Hemm," Amara menggumam sambil mengangguk faham.
"Hey, nanti mampir ke messku, ya. Sebentar aja. Kan udah lama nggak ketemu, aku pengen curhat sama kamu," ucap gadis berjilbab dengan postur mungil itu membujuk. Bahkan ia memasang senyum di wajahnya sok imut.
" Yahhh ,,, sepertinya nggak bisa, Hana. Aku tidak bisa meninggalkan pasien ku berlama-lama," ucap Amara dengan wajah penuh penyesalan. Ia pun memberengut sambil menggenggam tangan Hana begitu erat.
Hana mendesah pelan. "Hemm, baiklah. Kau terlalu sibuk rupanya."
Amara tersenyum lemah. "Lain kali saja aku main. Sekarang aku harus menemui Dokter Khanza. Mungkin beliau sedang menungguku."
"Iya. Cepat temui dia. Jangan biarkan menunggu lama."
"Dah, aku tinggal ya," pamit Amara yang sudah melangkah pergi sambil melambaikan tangannya.
* * *
"Assalamualaikum Dokter," ucap Amara sembari menutup pintu ruang kerja Dokter Khanza dari dalam.
"Waalaikumsalam, duduklah Amara." Dokter Khanza menyambut Amara dengan senyuman. Ia mengawasi gadis itu hingga duduk berseberangan. "Bagaimana kabarmu?" tanyanya kemudian saat Amara sudah duduk dengan posisi nyaman.
"Baik, Dokter." jawab Amara pelan dengan senyum yang dipaksakan. "Ini berkas laporan tentang perkembangan Tuan Dimas, Dok." Amara menyodorkan map berisi beberapa berkas yang langsung di terima oleh Dokter Khanza.
Dokter senior cantik itu segera membuka dan mengamatinya dengan seksama untuk beberapa lama. Lalu tersenyum sembari menutup berkas itu dan menaruhnya di sisi meja.
Pandangannya beralih pada Amara yang masih setia berada di sana. "Apa dia masih suka melukaimu?"
Amara hanya tersenyum sebagai jawaban, sebab sepertinya Dokter Khanza sendiri sudah melihat bekas gigitan yang tampak lebam di tangan Amara.
"Apa kau sudah mencari tahu seperti apa perilaku normal Dimas sebelum kecelakaan itu?"
"Saya sudah bertanya pada asisten rumah tangga di rumah itu, beliau mengatakan kalau awalnya Tuan Dimas merupakan lelaki yang sangat baik Dokter. Maaf, saya belum menemukan sisi kelemahan Tuan Dimas serta penyebab gangguan kejiwaannya."
"Tidak perlu minta maaf padaku. Tapi kau perlu lebih giat lagi untuk berusaha. Gali informasi mengenai Dimas lebih dalam lagi. Mungkin dari kekasih atau masa lalunya. Kau tidak berniat untuk mundur, kan Amara?"
Amara mengangguk pelan sambil tersenyum tipis. "Tidak Dokter. Saya akan tetap pada keputusan saya."
"Bagus Amara."
* * *
Saat mobil memasuki gerbang rumah Dimas, Amara melihat Euis berdiri di teras dengan wajah cemas. Sepertinya gadis itu memang sengaja menunggunya.
"Apa yang terjadi? Apa Tuan Dimas mengamuk lagi?" Amara menggumam penuh kekhawatiran. Ia pun dengan tergesa turun dari mobil dan berhambur mendekati Euis.
"Euis apa Tuan Dimas sudah bangun?" Amara bertanya dengan nada panik.
"Sudah Teh. Tapi tenang wae, Mas Dimas aman di taman belakang."
Amara menghela napas lega sambil mengusap dadanya. "Alhamdulillah ,,, baguslah." Ia segera melangkah, berniat untuk melihat sendiri keadaan Dimas di taman. Euis pun mengikutinya, dan mereka berjalan beriringan. "Apa aku terlalu lama keluar, ya Euis?"
"Iya atuh Teh, Euis sampai kangen. Ditinggal Teteh sehari rasanya seperti dua puluh empat jam saja," ucap Euis dengan bibir mencebik sembari bergelayut manja di lengan Amara.
"Euis!" Amara menghentikan langkah dan menoleh, menatap Euis dengan sebal. "Sehari, kan memang dua puluh empat jam ,,,!" protesnya kesal.
"Oh iya." Euis terkekeh. "Berarti Euis teh tidak lebay atuh, Teh. Euis apa adanya, kan."
"Iya, tapi aku tadi cuma pergi tiga jam Euis ...!"
"Ih Teteh kalau marah makin cantik aja."
"Udah ya Euis, aku nggak punya duit receh."
"Duit receh?" Euis menggumam pelan sambil berusaha menelaah arti dari perkataan Amara. "Memangnya Teteh pikir saya teh, pengamen!" Seru Euis pada Amara yang sudah melangkah jauh meninggalkannya.
Bersambung
kasih bonus dong 😘😘😘
😨😨