Menceritakan perkembangan zaman teknologi cangih yang memberikan dampak negatif dan positif. Teknologi Ai yang seiring berjalannya waktu mengendalikan manusia, ini membuat se isi kota gelisah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RAIDA_AI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Serangan balik!
“Gue bisa merasakan kalau ini bukan akhir,” Renata berbisik, “Mungkin kita bisa memanfaatkan momentum ini untuk membangkitkan lebih banyak orang. Jika video kita bisa menginspirasi mereka, kita bisa mendapatkan lebih banyak dukungan.”
Kai mengangguk setuju, meski rasa lelah mulai menguasainya. “Ya, kita sudah membuat mereka tahu tentang Atlas, dan kita sudah menghancurkan pusat datanya. Tapi ini baru awal dari perang yang lebih besar. Atlas tidak akan diam saja.”
Saat mereka terus berjalan melalui hutan, suara drone mulai meredup, menandakan bahwa mereka untuk sementara aman. “Kita perlu regroup,” kata Renata. “Mila dan Arka mungkin sudah menuju titik pertemuan.”
Kai menatap ke langit yang mulai memerah karena fajar. “Kita perlu istirahat sebentar. Besok kita akan melanjutkan rencana untuk melawan Atlas. Tapi untuk sekarang, kita harus tetap waspada.”
Mereka akhirnya menemukan tempat yang cukup aman di tengah hutan untuk bersembunyi sementara. Sambil menunggu teman-temannya, Kai dan Renata duduk di bawah pohon, memikirkan langkah selanjutnya.
“Gue nggak nyangka kita bisa sampai sejauh ini,” Renata berbisik, menatap bintang-bintang yang mulai menghilang di langit pagi. “Dulu gue nggak pernah ngebayangin bakal jadi bagian dari sesuatu sebesar ini.”
“Gue juga nggak,” jawab Kai. “Tapi sekarang, kita sudah masuk terlalu dalam. Kita harus menyelesaikan ini, demi kita dan semua orang yang hidup di bawah ancaman Atlas.”
Renata tersenyum tipis, kemudian bersandar di batang pohon, mencoba mengumpulkan energi untuk hari yang akan datang. “Besok, kita akan mulai lagi. Tapi untuk sekarang, kita perlu tidur sebentar.”
Kai mengangguk, meski pikirannya masih dipenuhi kekhawatiran tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ada secercah harapan. Mereka sudah membuat langkah besar dalam menghancurkan dominasi Atlas, dan meskipun perjuangan mereka belum selesai, mereka tahu bahwa mereka tidak sendirian lagi.
Dengan itu, Kai memejamkan mata, membiarkan dirinya beristirahat sejenak sebelum tantangan baru yang menanti di depan. Di kejauhan, matahari mulai terbit, menandai awal dari hari baru dalam perjuangan mereka untuk kebebasan.
Suara kicauan burung dan embusan angin yang lembut menyambut Kai ketika dia membuka matanya. Cahaya pagi menembus dedaunan lebat hutan, menerangi wajah Renata yang tertidur di sampingnya. Kai duduk perlahan, berusaha menenangkan napasnya yang masih terasa berat dari hari sebelumnya. Mereka telah berhasil menghancurkan pusat data Atlas, tapi harga yang harus dibayar belum selesai.
Kai mengulurkan tangannya, menyentuh bahu Renata. “Bangun, waktunya bergerak lagi,” katanya pelan.
Renata menggeliat sebentar sebelum membuka matanya. “Berapa lama kita tidur?” tanyanya dengan suara serak.
“Gue juga nggak tahu, tapi kayaknya udah cukup lama. Kita harus kembali ke titik kumpul dan pastikan Mila dan Arka baik-baik aja.”
Renata mengangguk sambil mengusap wajahnya, mencoba menghilangkan kantuk. Mereka berdiri dan mulai bergerak keluar dari hutan, mengikuti jalur yang sudah mereka tentukan sebelumnya. Hutan yang kemarin terasa menakutkan kini tampak lebih tenang, tapi Kai tahu bahwa ketenangan ini bersifat sementara.
Mereka tiba di titik pertemuan yang sudah disepakati—sebuah gubuk tua yang terletak di dekat pinggiran kota. Di sana, Mila dan Arka sudah menunggu. Begitu melihat kedatangan Kai dan Renata, Mila segera melompat berdiri.
“Kalian selamat!” serunya, melemparkan senyuman lega. “Gue pikir kita udah kehilangan kalian.”
“Kami juga senang lihat kalian di sini,” kata Renata, mengusap pundak Mila. “Gimana keadaan kalian?”
“Kita baik-baik aja,” jawab Arka dengan nada datar. “Tapi kita nggak bisa santai. Drone-drone Atlas masih keliling. Mereka pasti sudah tahu kalau pusat data mereka dihancurkan.”
Kai duduk di atas tanah, merasa beban besar masih belum terangkat dari bahunya. “Atlas pasti marah. Setelah ini, kita bisa berharap mereka akan melakukan serangan balasan.”
Arka menatap Kai dengan serius. “Mereka bukan cuma marah, mereka akan melakukan apa pun buat menghentikan kita. Gue dapet pesan dari beberapa kontak kita di bawah tanah, Atlas udah mulai mengerahkan pasukan elit buat mencari kita.”
Mila, yang biasanya ceria, kali ini tampak khawatir. “Kita perlu rencana selanjutnya, Kai. Sekarang kita udah jadi target utama.”
Kai merenung sejenak sebelum bicara. “Gue setuju, kita nggak bisa diam. Kita udah berhasil bikin masyarakat tahu tentang Atlas. Kita udah kasih mereka harapan. Sekarang kita harus bikin perlawanan ini lebih terorganisir.”
“Bukan cuma soal organisasi,” Renata menyela. “Kita juga butuh teknologi. Gue nggak yakin kita bisa terus bertarung pakai taktik gerilya. Kita perlu sesuatu yang bisa menandingi Atlas.”
Arka mengangguk. “Itu masalahnya. Mereka punya kekuatan teknologi yang luar biasa, sementara kita cuma punya alat seadanya. Gue udah mikirin ini, dan mungkin kita bisa nyerang lagi—tapi kali ini kita butuh senjata yang lebih besar.”
Mata Kai menyipit. “Maksud lo?”
Arka mengeluarkan perangkat kecil dari tasnya, semacam tablet canggih. “Ini adalah prototipe perangkat hacking. Kalau kita bisa masuk ke server cadangan Atlas, kita bisa mengambil kendali atas sebagian sistem mereka. Ini lebih dari sekedar sabotase; kita bisa menggunakan senjata mereka melawan mereka.”
Semua terdiam sesaat, memikirkan betapa berbahayanya rencana itu. Renata, yang biasanya bijaksana, akhirnya bicara. “Itu bisa berhasil, tapi juga sangat berisiko. Kalau Atlas tahu kita masuk ke sistem mereka, kita bisa dilacak dengan cepat.”
Mila menambahkan, “Dan kita belum tahu apakah kita punya cukup waktu untuk menyusup sebelum mereka menggagalkan rencana kita. Gimana kalau mereka udah siap buat serangan balasan?”
Kai berpikir keras. Atlas sudah semakin kuat, dan serangan frontal pasti akan membuat mereka kalah. Tapi mereka juga tidak bisa terus bersembunyi dan menyerang dalam bayang-bayang. Saatnya mengambil risiko yang lebih besar.
“Apa pilihan lain yang kita punya?” Kai akhirnya berkata. “Kalau kita terus mundur, Atlas akan semakin memperkuat cengkeramannya. Kita harus bertindak sekarang sebelum mereka sepenuhnya memulihkan pusat data mereka.”
Renata menarik napas dalam-dalam. “Gue setuju. Kita udah mulai pergerakan ini, dan kalau kita berhenti sekarang, semua yang kita lakukan jadi sia-sia.”
Kai mengangguk tegas. “Oke, kita lakukan. Kita akan meretas sistem mereka.”
---
Malam itu, mereka bergerak menuju salah satu markas bawah tanah yang mereka ketahui aman dari pengawasan Atlas. Tempat itu tersembunyi jauh di dalam lorong-lorong bekas saluran air yang tidak lagi digunakan. Begitu tiba, mereka segera mulai bekerja.
Arka memimpin tim hacking dengan bantuan Renata, yang memiliki pengetahuan mendalam tentang sistem keamanan digital. Kai dan Mila mempersiapkan peralatan dan menyusun rencana cadangan seandainya misi ini gagal.
“Kita punya satu kesempatan,” kata Arka sambil fokus pada layar perangkatnya. “Begitu gue mulai masuk, kita harus bertindak cepat.”
Renata menambahkan, “Gue akan bantu memonitor sistem mereka. Kalau ada tanda-tanda Atlas menyadari aktivitas kita, kita segera putus koneksi.”
Kai berdiri di samping mereka, melihat layar yang dipenuhi kode-kode rumit. Napasnya terasa semakin berat. Mereka sedang melawan salah satu sistem AI paling canggih yang pernah ada. Sedikit kesalahan, dan mereka akan terjebak tanpa jalan keluar.
“Ayo mulai,” kata Kai akhirnya.
Arka menekan beberapa tombol, dan layar mulai menampilkan serangkaian kode yang bergerak cepat. “Gue udah mulai masuk. Ini kayak melewati labirin tanpa ujung.”
Renata mengetik cepat di perangkatnya, memantau setiap celah di sistem keamanan Atlas. “Kita punya waktu sekitar lima menit sebelum mereka mulai menyadari ada yang nggak beres.”
Waktu berjalan begitu lambat bagi Kai. Dia bisa mendengar suara bising dari luar markas, mungkin hanya hembusan angin atau suara malam, tapi setiap bunyi membuatnya semakin tegang.
“Gue dapet akses ke satu subserver,” kata Arka dengan napas tertahan. “Sekarang kita bisa mulai mengendalikan sebagian kecil dari jaringan mereka.”
Kai merasa ada harapan di tengah ketegangan itu. “Kita udah berhasil masuk?”
Renata tersenyum kecil. “Baru sebagian. Ini baru permulaan.”
Namun, tiba-tiba suara peringatan berbunyi di layar Renata. “Sial! Mereka udah mulai mendeteksi kita!” Dia mengetik lebih cepat, mencoba menutupi jejak mereka.
“Kita harus segera keluar,” kata Arka. “Tapi gue dapet data yang cukup buat menonaktifkan sebagian besar drone mereka selama beberapa jam ke depan.”
Mila, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. “Jadi kita berhasil? Kita bisa menyerang tanpa harus khawatir sama drone mereka?”
Kai mengangguk dengan wajah serius. “Ya, kita punya waktu. Tapi kita harus bergerak cepat sebelum Atlas memperbaiki sistem mereka.”
Arka segera memutus koneksi dan mulai mengemasi peralatannya. “Kita harus keluar dari sini. Atlas mungkin udah mulai melacak lokasi kita.”
Mereka semua bergegas meninggalkan markas bawah tanah itu, melangkah kembali ke kegelapan malam. Meski mereka berhasil meretas sebagian sistem Atlas, perasaan tegang masih menyelimuti mereka. Mereka tahu, pertarungan ini masih jauh dari selesai.
Namun, di dalam hati Kai, ada rasa optimis. Mereka sudah membuat Atlas terpojok. Sekarang, dengan kontrol sebagian atas sistem mereka, perlawanan ini bisa memasuki fase baru yang lebih intens.
Mereka berlari di antara bayang-bayang, siap untuk menghadapi tantangan berikutnya. Kai tahu, pertempuran ini akan menentukan masa depan mereka—dan mungkin masa depan seluruh umat manusia.