Seluruh siswa kelas 3A tidak pernah menyangka kalau hidup mereka akan berubah drastis ketika sebuah ritual aneh menarik mereka ke dunia lain. Diberikan gelar sebagai "Pahlawan Terpilih," mereka semua mendapat misi mulia untuk mengalahkan sang Raja Iblis dan menyelamatkan dunia asing tersebut. Di antara mereka ada Hayato, siswa yang dikenal pendiam namun selalu memiliki sisi perhatian pada teman-temannya.
Namun, takdir Hayato justru terpecah dari jalur yang diharapkan. Ketika yang lain menerima berkat dan senjata legendaris untuk menjadi pahlawan, Hayato mendapati dirinya sendirian di ruangan gelap. Di sana, ia bertemu langsung dengan sang Raja Iblis—penguasa kegelapan yang terkenal kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nov Tomic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
— BAB 32 — Melanjutkan Perjalanan —
Keesokan paginya, sinar matahari yang lembut menyusup melalui celah-celah tirai kamar penginapan. Aku sudah bangun sejak fajar, memastikan semua barang bawaan kami tertata rapi. Mantel hangat, kantung air, makanan, obat-obatan—semua sudah siap di dalam ransel. Eirene masih tertidur dengan wajah damai di sudut kasur, menyelimutkan mantelnya untuk menghalau dinginnya pagi.
Aku berjalan mendekat, menyentuh bahunya dengan lembut. "Eirene, bangun. Kita harus segera pergi."
Ia menggeliat pelan, mengusap matanya, lalu menatapku dengan tatapan kosong sejenak sebelum mengangguk. "Oke, aku siap. Tunggu sebentar."
Eirene cepat-cepat menggulung mantel dan menyiapkan barang-barangnya. Dalam waktu singkat, kami sudah berdiri di depan penginapan, memandang jalan yang membentang menuju Mark Rosenfelder.
Sebelum benar-benar pergi, tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada resepsionis dan pemilik penginapan yang telah melayani selama beberapa hari ini.
Katherine Rundell pagi ini tampak sibuk seperti biasa. Para pedagang membuka lapak, anak-anak berlarian di jalan berbatu, dan aroma roti panggang menguar dari toko roti di ujung jalan. Tapi aku dan Eirene tidak sempat menikmati suasana itu. Kami segera melangkah keluar gerbang kota, menuju jalur timur seperti yang disarankan penjual peta.
Saat kami melangkah keluar gerbang kota, langkah kami terhenti oleh suara berat yang memanggil dari belakang. Seorang penjaga berpakaian zirah, lengkap dengan pelindung dada dan penutup kepala—juga tombak di tangannya, menghentikan kami dengan tatapan tajam.
“Berhenti di situ,” katanya, mengangkat tangan untuk menghentikan kami. “Saya perlu memeriksa barang bawaan kalian.”
Eirene dan aku saling berpandangan, sedikit terkejut, tetapi kami tidak punya pilihan lain. Kami mengangguk dan berhenti, sementara penjaga itu mulai memeriksa ransel kami satu per satu.
Ia membuka ransel Eirene terlebih dahulu, mengeluarkan beberapa barang: botol air, makanan kering, dan peta yang kami beli. Penjaga itu mengangguk, tampak puas dengan apa yang ia lihat. Kemudian, ia melanjutkan dengan mengecek isi tasku.
Setelah selesai memeriksa, ia menutup ranselku dan mengangguk. “Kalian boleh pergi. Hati-hati di luar sana. Banyak yang tidak kembali.”
Kami mengucapkan terima kasih dan melanjutkan langkah kami, melewati gerbang yang terbuka lebar.
"Seberapa jauh Mark Rosenfelder dari sini?" tanya Eirene, memeluk mantel hangatnya untuk melawan angin pagi yang dingin.
"Menurut peta, sekitar tiga hari perjalanan," jawabku, menatap horizon di depan kami. "Kalau kita tidak berhenti terlalu lama di jalan."
Ia mengangguk, wajahnya tampak bersemangat meski matanya sedikit sayu karena masih mengantuk. "Aku penasaran seperti apa tempat itu."
Aku hanya tersenyum kecil. Mark Rosenfelder, walaupun wilayahnya merupakan gunung salju abadi—katanya, adalah kota dengan perpaduan arsitektur kuno dan teknologi sihir yang canggih. Namun, informasi itu masih belum pasti. Bagiku, perjalanan ini bukan hanya soal mencapai tujuan, tapi juga soal bertahan hidup dan melindungi Eirene.
Aku tidak peduli dengan cuaca maupun medan ekstrim yang akan dihadapi, karena sebelumnya—kami bisa melewati beberapa lembah dan sungai saat menuju ke Katherine Rundell, tanpa ada hambatan apapun.
Kami terus berjalan melewati hutan yang lebat. Pepohonan menjulang tinggi, ranting-rantingnya saling bertautan hingga hanya sedikit sinar matahari yang bisa menembus ke tanah. Suasana terasa tenang, tapi aku tetap waspada.
Eirene tampak menikmati perjalanan ini, sesekali berhenti untuk mengamati bunga liar atau mendengarkan kicauan burung. "Hayato, lihat bunga ini!" katanya sambil memegang bunga ungu kecil yang tumbuh di dekat akar pohon.
Aku mengangguk, meski pikiranku lebih fokus pada kemungkinan bahaya yang mengintai. "Indah, tapi jangan terlalu lama. Kita harus melanjutkan perjalanan."
Ia menghela napas dan meletakkan bunga itu kembali. "Kau selalu serius. Cobalah untuk rileks sedikit."
Aku hanya tersenyum tipis. "Nanti, mungkin."
Saat matahari mencapai puncaknya, kami berhenti di tepi sungai kecil untuk makan siang. Aku membuka ransel dan mengeluarkan roti kering serta daging asap, sementara Eirene menimba air dengan kantung kulit yang kami bawa.
"Aku merasa perjalanan ini terlalu tenang," katanya tiba-tiba, menatap aliran air yang jernih.
Aku mengangkat alis. "Bukankah itu hal yang bagus?"
"Entahlah. Rasanya seperti... sesuatu akan terjadi."
Aku tidak bisa menyangkal perasaannya. Memang ada sesuatu di udara yang membuatku gelisah, tapi aku tidak ingin membuatnya khawatir. "Mungkin kau hanya terlalu memikirkan hal-hal buruk."
Namun, tak lama setelah kami melanjutkan perjalanan, firasat Eirene terbukti benar. Dari kejauhan, aku melihat sekelompok orang berkuda mendekat. Jumlah mereka sekitar lima orang, semuanya mengenakan pakaian gelap dengan logo tengkorak di dada.
"Bandit," gumamku pelan, mencoba menilai situasi.
Eirene mendekatiku, wajahnya serius. "Apa yang harus kita lakukan?"
Aku berpikir cepat. Melawan mereka di tempat terbuka seperti ini bukan ide yang bagus, apalagi mereka memiliki kuda. "Kita harus bersembunyi dulu. Ikut aku."
Kami segera menyelinap ke dalam semak-semak di tepi jalan, menahan napas saat mereka semakin dekat. Namun, salah satu dari mereka menghentikan kudanya, mengamati sekeliling.
"Aku tahu kalian di sini," katanya dengan suara kasar. "Keluar sekarang, atau kami akan membakar hutan ini."
Aku menggenggam lengan Eirene, memberinya isyarat untuk tetap diam. Tapi aku tahu kami tidak bisa bersembunyi selamanya.
Saat mereka mulai bergerak ke arah kami, aku keluar dari persembunyian dengan tangan terangkat, mencoba mengalihkan perhatian mereka.
"Hei, aku di sini. Jangan melibatkan yang lain," kataku, menatap pemimpin mereka.
Ia menyeringai, menurunkan kuda dan mendekatiku. "Bagus, anak pintar. Sekarang serahkan semua barang berharga kalian."
Aku mengangguk perlahan, membuka ranselku seolah-olah akan mematuhi perintahnya. Namun, dengan cepat aku melompat ke arahnya, menggunakan teknik yang kupelajari dari pertarungan sebelumnya.
Pertarungan berlangsung sengit. Meski mereka bersenjata, aku menggunakan kelincahanku untuk menghindari serangan mereka. Satu per satu, aku menjatuhkan mereka dengan pukulan dan tendangan yang terarah.
Eirene, yang awalnya bersembunyi, akhirnya keluar untuk membantu. Ia menggunakan sihir tanahnya untuk membuat akar-akar pohon melilit kaki para bandit, membuat mereka kehilangan keseimbangan.
Dalam waktu singkat, kami berhasil mengalahkan mereka. Para bandit yang tersisa melarikan diri, meninggalkan kami dalam keadaan lelah tetapi utuh.
Setelah memastikan tidak ada lagi ancaman, kami melanjutkan perjalanan. Aku merasa lega karena kami berhasil selamat, tapi juga sadar bahwa ini baru permulaan.
Eirene berjalan di sampingku, sesekali melirik dengan ekspresi khawatir. "Hayato, apa kau baik-baik saja?"
Aku tersenyum kecil. "Aku baik-baik saja. Jangan khawatir."
Ia mengangguk, meski raut wajahnya masih menunjukkan keraguan. "Aku hanya berharap kita bisa sampai di Mark Rosenfelder tanpa masalah lagi."
Aku tidak menjawab, hanya memandangi jalan di depan kami. Perjalanan ini jelas tidak akan mudah, tapi selama kami tetap bersama, aku yakin kami bisa melewatinya.
untuk sistemnya sebenarnya gaada yang spesial, tapi gua suka liat cara MC manfaatin skill yang ada dari sistem itu, dia kaya berusaha nyoba semua skillnya pas bertarung, ga kaya kebanyakan di cerita lain yang skillnya itu cuma jadi pajangan alias ga dipake samsek dengan alasan ini itu.
di bagian pacing, ceritanya emang berjalan agak lambat, tapi gua masih bisa nikmatin karena itu jadi nilai plus sesuai apa yang gua sebut di awal tapi, yaitu realistis.