Genre: Action, Drama, Fantasy, Psychological, System
Seluruh siswa kelas 3A tidak pernah menyangka kalau hidup mereka akan berubah drastis ketika sebuah ritual aneh menarik mereka ke dunia lain. Diberikan gelar sebagai "Pahlawan Terpilih," mereka semua mendapat misi mulia untuk mengalahkan sang Raja Iblis dan menyelamatkan dunia asing tersebut. Di antara mereka ada Hayato, siswa yang dikenal pendiam namun selalu memiliki sisi perhatian pada teman-temannya.
Namun, takdir Hayato justru terpecah dari jalur yang diharapkan. Ketika yang lain menerima berkat dan senjata legendaris untuk menjadi pahlawan, Hayato mendapati dirinya sendirian di ruangan gelap. Di sana, ia bertemu langsung dengan sang Raja Iblis—penguasa kegelapan yang terkenal kejam. Alih-alih membunuhnya, Raja Iblis memberikan tawaran yang tak bisa Hayato tolak: menjadikannya "Villain Sejati" untuk menggantikan posisinya dalam tiga tahun mendatang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nov Tomic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
— BAB 27 — Penginapan Part 1 —
Katherine Rundell, sebuah wilayah yang begitu luas dan memikat. Udara di sini terasa segar dengan aroma bunga-bunga yang bermekaran di sepanjang jalan, memberikan nuansa berbeda dibandingkan dengan tempat-tempat sebelumnya yang penuh dengan kesan suram. Bangunan di wilayah ini berdiri megah, sebagian besar terbuat dari batu putih yang berkilauan diterpa sinar matahari. Atap-atapnya tinggi dan melengkung, dihiasi ukiran indah yang menggambarkan sejarah atau mitos lokal.
Eirene berjalan di depanku dengan langkah ringan, matanya berbinar seperti anak kecil yang baru pertama kali mengunjungi tempat bermain. Ia tampak sangat antusias, terutama ketika melihat kios-kios kecil di pasar pusat kota.
“Hayato, lihat itu!” serunya sambil menunjuk ke arah salah satu kios yang memamerkan kristal-kristal berkilauan. “Kau pikir kristal itu terbuat dari sihir? Cahaya di dalamnya terlihat begitu alami.”
Aku melirik ke arah yang ia tunjuk. Kristal-kristal itu memang memancarkan cahaya lembut, seperti bintang yang terperangkap di dalamnya. Namun, aku merasa ada sesuatu yang aneh dengan benda-benda itu.
“Mungkin saja sihir,” jawabku singkat. “Tapi jangan terlalu dekat. Tempat seperti ini sering penuh dengan penjual licik yang mencoba menipu orang-orang yang tidak waspada.”
Ia menoleh padaku dengan senyuman lebar. “Kau ini terlalu serius, tahu? Tidak semua orang di sini berniat buruk. Cobalah untuk santai dan nikmati suasananya.”
Aku hanya mengangkat bahu, memilih untuk tidak membalas. Melihat Eirene menikmati dirinya seperti ini membuatku merasa sedikit lega. Selama satu bulan terakhir, kami selalu berada dalam ketegangan, bertahan hidup di hutan dan menghadapi berbagai ancaman. Mungkin sedikit waktu untuk bersantai memang layak kami dapatkan.
Kami melanjutkan perjalanan, melewati jalan-jalan besar yang dipenuhi pedagang dan pengrajin. Alun-alun kota menjadi tujuan kami berikutnya. Di tengahnya berdiri sebuah air mancur besar yang menjadi pusat perhatian. Air mancur itu dihiasi dengan patung seorang wanita memegang pedang, wajahnya menghadap langit seolah sedang berdoa.
“Patung itu indah sekali,” gumam Eirene dengan mata yang tidak lepas dari pemandangan tersebut.
“Pasti memiliki cerita di baliknya,” kataku. “Mungkin seorang pahlawan lokal atau simbol dari sesuatu yang penting bagi warga Katherine Rundell.”
Ia menoleh ke arahku, tersenyum. “Kau sepertinya tahu banyak tentang tempat ini.”
Aku menggeleng. “Hanya menebak. Tapi aku yakin setiap sudut kota ini memiliki cerita yang menarik.”
Ia tertawa kecil, kemudian menatapku dengan ekspresi hangat. “Aku senang kau ada di sini bersamaku, Hayato. Kalau aku sendirian, mungkin aku akan terlalu sibuk mengagumi semuanya sampai lupa tujuan.”
Aku tersentak mendengar kata-katanya, tapi berusaha menyembunyikan keterkejutanku dengan mengalihkan pandangan. “Kita di sini bukan untuk bersenang-senang, ingat? Jangan terlalu larut dalam kekaguman.”
“Ya, ya, aku tahu,” balasnya sambil terkekeh. “Tapi tidak ada salahnya menikmati perjalanan, bukan?”
Aku tidak menjawab, hanya terus melangkah di belakangnya sambil memastikan kami tidak menarik terlalu banyak perhatian.
Setelah menjelajahi kota selama beberapa jam, kami memutuskan untuk mencari penginapan. Hari sudah mulai sore, dan aku bisa merasakan kelelahan mulai menguasai tubuhku. Namun, perjalanan kami ke penginapan tidak berjalan mulus seperti yang aku harapkan.
Di salah satu sudut jalan, seorang lelaki dengan pakaian kumal dan bau alkohol yang menyengat berjalan sempoyongan ke arah kami. Matanya merah, wajahnya memerah, dan tubuhnya tidak stabil.
Aku mencoba menghindari jalannya, tapi ia tiba-tiba menabrak Eirene dengan cukup keras, hampir membuatnya terjatuh.
“Hey! Apa-apaan ini!” bentak lelaki itu dengan suara keras, menarik perhatian orang-orang di sekitar.
Eirene hanya berdiri diam, tidak bereaksi terhadap makian lelaki itu. Aku bisa melihat ia berusaha tetap tenang, meskipun aku tahu ia pasti kesal.
Lelaki itu semakin marah ketika Eirene tidak merespons. “Jangan diam saja, dasar bodoh! Apa kau tidak tahu siapa aku?!”
Ia maju mendekati Eirene dengan tatapan mengancam, lalu menarik tudung jubahnya dengan kasar, memperlihatkan wajah cantiknya. Seketika lelaki itu terdiam, matanya melebar.
“Wah... ternyata kau cantik juga,” katanya dengan senyum licik. “Kalau begitu, aku akan memaafkanmu kalau kau ikut denganku. Bagaimana?”
Eirene tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Dengan tenang, ia menarik kembali tudungnya untuk menutupi wajahnya. “Tidak, terima kasih.”
Penolakan tegas itu membuat lelaki tersebut naik darah. Ia mengangkat tangannya, tampak ingin menyerang Eirene.
Namun, sebelum ia sempat melakukan apa pun, Eirene mengangkat tangannya sedikit, dan akar-akar pohon tiba-tiba muncul dari tanah, melilit kakinya dengan kuat. Lelaki itu terjatuh, meronta-ronta dengan wajah panik.
Orang-orang di sekitar kami menatap dengan terkejut, beberapa di antaranya berbisik-bisik. Aku tahu ini bukan pertanda baik. Kami sudah menarik terlalu banyak perhatian.
“Hayato,” bisik Eirene dengan nada tegas. “Kita harus pergi sekarang.”
Aku mengangguk. Tanpa berkata apa-apa, aku memegang tangannya dan membimbingnya menjauh dari keramaian.
Setelah cukup jauh, aku berhenti dan menoleh padanya. “Kau baik-baik saja?”
Eirene mengangguk, meskipun wajahnya menunjukkan sedikit rasa kesal. “Aku baik-baik saja. Tapi orang seperti itu... membuatku muak.”
Aku hanya menatapnya, tidak tahu harus mengatakan apa. Setelah beberapa saat, kami melanjutkan perjalanan dan akhirnya menemukan penginapan yang sederhana namun terlihat nyaman.
Begitu kami sampai di penginapan, suasana hangat langsung menyambut kami. Tempat itu sederhana namun terasa nyaman. Meja resepsionis terletak di depan ruangan, dijaga oleh seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah yang tampaknya tulus.
“Selamat datang di penginapan kami. Apa yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan nada lembut.
Aku melangkah maju, berniat untuk berbicara. Namun, sebelum kata-kata keluar dari mulutku, tangan Eirene tiba-tiba terangkat, menahan gerakanku.
“Hayato, diam saja,” katanya pelan namun tegas. “Biar aku yang urus ini.”
Aku mengerutkan alis, bingung dengan sikapnya. Tapi aku hanya mengangguk dan mundur sedikit, menyerahkan semuanya pada Eirene.
Eirene melangkah maju dengan percaya diri, menatap resepsionis itu sambil tersenyum kecil. “Kami ingin memesan satu kamar,” katanya.
“Tentu saja,” jawab resepsionis itu, mengeluarkan buku catatan dan pena. “Kamar dengan dua kasur atau satu kasur?”
“Satu kasur saja,” jawab Eirene tanpa ragu. “Yang cukup untuk satu orang.”
Aku langsung terkejut mendengar jawabannya. Mataku membelalak kecil, tapi aku buru-buru menutupinya agar tidak terlihat jelas. Kalau Eirene tahu aku sedang terkejut, ia pasti akan mengejekku habis-habisan.
“Satu kasur, ya? Baiklah. Itu akan dikenakan biaya satu koin perak,” kata resepsionis sambil mencatat di bukunya.
Tanpa banyak bicara, Eirene mengeluarkan sekeping koin perak dari kantong kecil di pinggangnya dan menyerahkannya. Wanita resepsionis itu menerimanya dengan anggukan hormat, lalu memberikan kunci kamar kepada Eirene.
“Kamar nomor tiga, lantai dua. Semoga malam Anda menyenangkan,” katanya dengan senyum ramah.
“Terima kasih,” jawab Eirene singkat, lalu berbalik ke arahku. “Ayo, Hayato.”
Aku mengikutinya tanpa berkata apa-apa, tapi pikiranku penuh dengan pertanyaan. Satu kasur? Serius? Aku tahu ia tidak akan tidur di lantai. Apa aku yang harus melakukannya?