Ashana Keyra Zerrin dan Kafka Acacio Narendra adalah teman masa kecil, namun Ashana tiba-tiba tidak menepati janjinya untuk datang ke ulang tahun Kafka. Sejak saat itu Kafka memutuskan untuk melupakan Asha.
Kemana sebenarnya Asha? Bagaimana jika mereka bertemu kembali?
Asha, bukankah sudah kukatakan jangan kesini lagi. Kamu selalu bertindak sesuka hati tanpa memikirkan orang lain. Aku butuh privasi, tidak selamanya apa yang kamu mau harus dituruti.” Ucapakan Kafka membuat Asha bingung, pasalnya tujuannya kali ini ke Stanford benar-benar bukan sengaja menemui Kafka.
“Tapi kak, Asha ke sini bukan sengaja mau menemui kak Kafka. Asha ada urusan penting mau ke …” belum selesai Asha bicara namun Kafka sudah lebih dulu memotong.
“Asha, aku butuh waktu untuk menerima semua ini. Walaupun untuk saat ini sebenarnya tidak ada kamu dalam rencanaku, semua terjadi begitu cepat tanpa aku bisa berkata tidak.” Asha semakin tidak mengerti dengan yang diucapkan Kafka.
“Maksud kak Kafka apa? Sha tidak
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Anfi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18. Harvard
Asha belajar membiasakan dirinya tanpa Kafka, tak tanggung-tanggung fokusnya terhadap Pelajaran dan persiapan ujian beasiswa kuliahnya. Seolah hari-harinya hanya seputar sekolahnya dan persiapan ujian akhir maupun ujian masuk perguruan tinggi. Meskipun sebenarnya itu hanyalah salah satu cara Asha agar tidak terlalu memikirkan Kafka, sosok yang dia rindukan yang sampai saat ini belum memberinya kabar sama sekali setelah dia berangkat ke Stanford.
"Ayah?" Asha menyembulkan kepalanya dari luar pintu ruang kerja Malvin.
"Hmm ... ada apa sayang?" Malvin menghentikan aktivitasnya di depan layar macbooknya setelah mendengar putrinya memanggil.
"Ayah sibuk?" Asha tampak ragu untuk masuk keruangan Malvin, dia tahu ayahnya sangat sibuk akhir-akhir ini. Jadi dia ingin memastikan terlebih dahulu ayahnya bisa dia ganggu sebelum masuk ke ruangannya.
"Sini sayang." Malvin beranjak dari kursi kerjanya, berjalan menuju putrinya kemudian mereka berdua duduk di sofa yang ada dalam ruang kerja Malvin.
Malvin membelai rambut panjang putrinya, di saat-saat seperti ini Asha memang membutuhkan peran Malvin dan Maira tidak hanya sebagai kedua orang tua tapi juga sahabat. Masa peralihan dari remaja menuju dewasa, masa di mana putri sulung mereka akan memulai mencari jati dirinya. Tentunya Malvin dan Maira selalu berusaha ada untuk Asha, membuat putrinya untuk selalu menjadikan Malvin dan Maira rumah untuk segala hal. Membimbing dan mengarahkan Asha tanpa memaksakan ke hendak namun juga memastikan bahwa langkah yang putrinya ambil adalah yang terbaik.
"Ayah, kalau kakak tidak jadi ambil sekolah bisnis di NUS boleh?" Malvin tersenyum mendengar pertanyaan dari putrinya.
"Kenapa? Asha mau nyusul Kafka?" Malvin menggoda putrinya seolah tahu akan mengarah kemana pembicaraan mereka.
"Ih ... ayaah, gak gitu. Kalau ke Harvard boleh yah?" Malvin menegapkan posisi duduknya yang semula santai berubah menjadi agak serius mendengar Asha.
"Di NUS juga ada kedokteran sayang, Stanford juga bagus. kenapa harus Harvard?" Lagi-lagi Malvin bisa menebak apa yang ada di kepala putrinya.
"Ayaaah," Asha mencebik, lagi dan lagi ayahnya mengetahui isi kepalanya.
"Harvard Medical School (HMS) punya fasilitas riset medis dan kolaborasi jaringan dengan rumah sakit terkemuka, selain itu punya prestise yang kuat. Mungkin nanti ambil spesialis bisa di Stanford, boleh ya yah?"
"Bukan karena Kafka?" Malvin kali ini menatap Asha dengan serius, memastikan tidak ada keraguan pada putrinya.
Asha menggelengkan kepalanya "Bukan ayah, Asha yakin itu yang Asha mau."
"Kemanapun Asha mau mengambil pendidikan, ayah dan bunda tidak akan pernah melarang. Dengan catatan semua berasal dari dalam diri dan keyakinan bahwa kamu bisa melakukan penuh kesadaran juga tanggung jawab.Mmenjadi dokter bukan hal yang mudah, pundak Asha akan menopang tanggung jawab yang besar. Berjuang untuk orang lain, menyelamatkan nyawa banyak orang tanpa perduli kamu kenal atau tidak. Tapi ketika Asha sudah yakin dengan semua itu, ayah dan bunda akan selalu mendukung apapun keputusanmu nak." Malvin memeluk putri sulungnya dengan penuh rasa bangga, kini putri kecilnya telah beranjak dewasa.
"Insyaallah Asha yakin yah," awalnya memang semua karena Kafka, tapi selama beberapa bulan Asha membaca buku dan jurnal tentang ilmu dasar kedokteran membuatnya semakin larut dan tertarik. Dia mencari informasi dengan detail setiap universitas kedokteran, alih-alih memilih universitas yang sama dengan Kafka. Asha lebih memilih Harvard sebagai tujuan masa depannya.
Maira masuk membawakan coklat hangat untuk suami dan anaknya, dia ikut bergabung dengan mereka. Quality time hanya bertiga dengan Asha yang kini beranjak dewasa membuat Maira tampak berkaca-kaca. Dia juga memberikan sebuah amplop berwarna putih tebal, bertuliskan Harvard Medical School.
"Tadi siang sampai sayang." Maira menyerahkan pada Asha.
"Bunda," Asha sudah berkaca-kaca, selama berbulan-bulan Asha fokus berlatih dan belajar untuk mengikuti program beasiswa Harvard. Bahkan semenjak masih di kelas sebelas dia sudah mulai mencari informasi tentang universitas-universitas yang masuk dalam listnya. Walaupun Asha tidak mengatakan pada kedua orang tuanya, tapi Malvin maupun Maira mengetahui semua persiapan putrinya. Mereka hanya memantau dan memastikan putri sulung mereka berada pada jalur yang benar.
"Asha pikir bisa menyembunyikan ini dari ayah dan bunda?" Maira menunjuk pada amplop putih yang sedang di pegang Asha.
"Asha mungkin lupa kalau akses jaringan di rumah semua terkoneksi dengan email kita bun," Malvin terkekeh melihat ekspresi Asha yang terkejut.
"Asha tidak ada hal yang mudah di dapatkan di dunia ini, apa yang sudah Asha dapatkan harus kamu syukuri sayang. Tanggung jawab Asha ke depan akan menjadi lebih berat, Asha mungkin akan melalui hari-hari yang panjang. Bisa juga hari yang melelahkan dan mungkin membuat kamu akan menyerah, tapi ingat satu hal ayah dan bunda akan selalu ada untuk Asha. Asha harus ingat semua yang Asha punya semua adalah milik Allah, terus belajar untuk bersyukur. Ayah dan bunda akan selalu menjadi rumah untuk Asha kembali." Maira mencium kening putri sulungnya.
Mereka beranjak dari ruang kerja Malvin dan menuju kamar masing-masing untuk istirahat. Asha mendapatkan pemberitahuan bahwa dia diterima di Harvard Medical School melalui program beasiswa yang dia ikuti beberapa waktu lalu. Saat ini fokusnya adalah mempersiapkan ujian akhir sekolahnya di JIS kemudian Bersiap untuk mengambil undergraduate degree Harvard yang wajib di lalui sebelum masuk pendidikan kedokterannya.
Asha merebahkan dirinya di kasur, menatap langit-langit kamarnya yang tertempel lampu berbentuk bintang dan bulan. Dia mengambil ponselnya, ada sedikit keraguan sebelum akhirnya Asha mengirimkan pesan.
"Kak apa kabar?"
"Kak Kafka tidak pernah kasih kabar Asha."
"Kakak sibuk sekali ya?"
"Jaga Kesehatan."
Sejak hari itu Asha masih terus mengirim pesan pada Kafka, namun sampai saat ini pesan Asha tak pernah di balas Kafka.
"Kak, hari ini Asha mulai ujian akhir."
"Doakan Asha ya semoga lulus dan masuk universitas terbaik."
Asha menatap layar ponselnya, entah sudah berapa kali dia mengirimkan pesan pada Kafka. Dia merebahkan diri di kasur dengan tangan yang memijat pelipisnya karena pusing, sampai akhirnya dia tertidur dengan sendirinya.
Asha melalui ujian akhir sekolahnya dengan baik, hasilnya pun sangat memuaskan. Jadwal wisuda sudah keluar, Asha sudah menerima undangan untuk menghadiri wisuda kelulusannya bersama keluarga.
"Kak Kafka, aku lulus dengan nilai yang memuaskan."
"Kamu tidak ingin memberiku selamat?"
"Kapan kakak pulang?"
"Asha kangen."
Lagi-lagi Asha hanya dapat menatap layar ponselnya dengan mata yang berkaca-kaca, ada rasa ingin marah tapi dia benar-benar merindukan Kafka.
"Sayang, boleh bunda masuk?" Asha buru-buru menyeka air matanya, takut bundanya melihat dia dalam kondisi yang tidak baik.
"Boleh bun," Maira masuk dengan membawa es krim tiramisu buatannya.
"Asha yakin tidak mau datang dulu ke wisuda sebentar saja?" Maira bertanya sekali lagi pada Asha, kalau saja mungkin putrinya berubah pikiran.
"Enggak bun, yang pentingkan ijazah sama transkip nilai Asha nanti tetap di kasih." Asha menyuapkan es krim kedalam mulutnya, es krim yang selalu menjadi kesukaannya. Es krim buatan bundanya memang tak ada duanya.
"Ya sudah kalau memang itu yang Asha mau."
"Semua sudah beres kak? Yakin ya gak ada yang ketinggalan?" Maira bangkit dari duduknya mengecek kembali isi koper-koper milik Asha yang belum di tutup.
"Eumm ... insyaallah sudah bun," bukan tanpa sebab Asha memilih untuk tidak datang keacara wisudanya. Asha memilih untuk berangkat ke Harvard sebulan sebelum masa perkuliahan di mulai, dia ingin melihat-lihat dulu kampusnya sebelum perkuliahan di mulai.
"Bun? Boleh Asha minta tolong?" Maira menatap putrinya, dari sorot matanya saja sudah dapat terlihat ada gurat kesedihan yang berusaha dia sembunyikan. Maira mencoba untuk tak menanyakan apapun dan hanya mendengarkan apa yang ingin putrinya katakana.
"Boleh sayang, sini bilang sama bunda. Ada apa?"
"Jangan bilang tante Tiara atau kak Kafka kalau Asha ambil kedokteran Harvard ya bun. Biarkan mereka mengira Asha di NUS," Maira menyetujui apa yang menjadi ke inginan putrinya, tak perlu menanyakan perihal alasannya. Dia adalah bundanya Asha, dia paham betul bagaiman putri sulungnya itu, Maira sudah mengatakan pada suaminya juga ke dua anaknya yang lain perihal Asha yang tidak mau siapapun tahu dia mengambil kedokteran di Harvard.
Asha sudah siap dengan semua barang-barang yang akan di bawanya ke Cambridge, Maira tersenyum simpul melihat putrinya saat ini. Alih-alih menangis, justru dia bahagia karena putrinya akan mulai menemukan banyak hal baru yang akan menjadikan dia bertambah dewasa. Rion dan Cia sebelumnya sudah menghabiskan banyak waktu bersama dengan Asha, bahkan selama tiga hari mereka tidur bersama. Malvin dan Maira mendidik mereka bertiga dengan baik.
Mereka semua berangkat ke bandara Soekarno-Hatta (CGK), termasuk pak Maman dan bi Ana yang ikut mengantar. Karena tidak ada rute penerbangan langsung dari Jakarta ke Boston, jadi Asha harus terbang dulu ke Singapur untuk transit sebelum menuju Boston. Asha menggunakan maskapai Singapore Airlines menuju Boston dengan perjalanan udara 18-19 jam, Malvin memilihkan maskapai yang menurutnya paling nyaman dan tidak terlalu lama jeda waktu transitnya.
"Sayang, jaga kesehatan. Ibadah jangan tertinggal, apapun yang terjadi jangan ragu untuk bilang ayah dan bunda." Malvin memeluk putri sulungnya, seolah enggan melepasnya pergi jauh. Bagi Malvin dia tetaplah bayi perempuannya sampai kapanpun.
Mereka semua berpelukan, Asha juga berpamitan pada pak Maman dan bi Ana. Dia melambaikan tangannya pada semua sambil berjalan masuk sampai tak terlihat lagi keluarganya dari pandangan mata barulah Asha berbalik dan berjalan maju.
"Hai dunia baru, semoga kita bisa saling membantu. Aku akan giat agar tidak mengecewakan ayah, bunda dan adik-adik. Kak Kafka aku masih merindukanmu, semoga waktu membuat hatimu meluluh." Asha bermonolog dengan dirinya sendiri.
Sementara itu di JIS sedang berlangsung acara wisuda kelulusan angkatan Asha, acara sambutan dan pesta terlihat meriah.
"Nak Kafka? Sedang libur?" Kepala sekolah langsung menghampiri Kafka saat melihatnya.
"Iya bu, kebetulan sedang libur semester. Jadi saya pulang sebentar," Kafka berbincang sebentar dengan mantan kepala sekolahnya, baru setelah itu dia ijin untuk bertemu yang lain. Di sana juga tampak Revan hadir sebagai alumni, dia memang pulang bersama Kafka karena mereka satu jurusan di Stansford.
"Cegil mu gak kliatan Kaf?" Mata Revan nampak berkeliling mencari seseorang yang dia sebut cegil Kafka.
"Gak usah mulai deh Van," Revan terkekeh, tapi memang sedari tadi Kafka mencari keberadaan Asha yang tak terlihat. Tiba-tiba saja Nana teman sekelas Asha lewat di samping mereka.
"Nana." Nana menoleh karena merasa ada yang memanggilnya.
"Eh kak Revan, kak Kafka." Nana berjalan menghampiri ke dua kakak seniornya itu.
"Sendirian? Asha mana? Biasanya kalian berdua," Revan celingak celinguk, sementara Kafka seperti biasa hanya diam.
"Hayo nyariin Asha ya? Tapi Asha sayangnya gak datang kak, kalau gak salah hari ini dia berangkat."
"Berangkat kemana?" Bukan Revan yang bertanya melainkan Kafka.
"Ehemm," Revan sengaja menggoda sahabatnya itu yang tampak tertarik ketika Nana bilang Asha tidak datang diacara wisudanya sendiri.
"Kurang tahu kemana, yang jelas dia kan mulai perkuliahan bulan september. Dia bilang kalau dia berangkat menuju negara tempat dia akan kuliah itu hari ini, gak ada yang tahu dia lanjut kuliah dimana," Nana bepamitan pergi pada Revan dan Kafka karena harus berfoto dengan teman-temannya.
"Makanya kalau Asha ngirim pesan itu di balas Kaf. Tahu rasa kan sekarang anaknya di cari in malah gak ada," Kafka mencelos mendengar sindiran Revan, ada rasa kecewa dalam hatinya. Kafka sendiri yang tidak membalas pesan-pesan Asha, tapi saat ini dia malah seolah datang mencari Asha.
Saat ini Asha sudah berada di bandara Singapur (SIN), sedang transit kurang lebih dua jam untuk menunggu penerbangan dari Singapur menuju bandara Boston (BOS). Karena lama tinggal di Singapur jadi dia tidak terlalu kesulitan, Asha memilih untuk mencari makan yang ada di dalam bandara sambil menanti waktu masuk pesawat, mengingat dia membawa beberapa koper besar.