Joko, seorang mahasiswa Filsafat, Vina adalah Mahasiswa Fisika yang lincah dan juga cerdas, tak sengaja menabrak Joko. Insiden kecil itu malah membuka jalan bagi mereka untuk terlibat dalam perdebatan sengit—Filsafat vs Sains—yang tak pernah berhenti. Vina menganggap pemikiran Joko terlalu abstrak, sementara Joko merasa fisika terlalu sederhana untuk dipahami. Meski selalu bertikai, kedekatan mereka perlahan tumbuh, dan konflik intelektual itu pun berujung pada pertanyaan yang lebih pribadi: Bisakah mereka jatuh cinta, meski dunia mereka sangat berbeda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menjaga keseimbangan
Hari-hari mereka semakin mengalir tanpa hambatan. Vina dan Joko kini mulai menjadi lebih dari sekadar teman yang sering berdebat. Namun, hubungan mereka juga bukan tanpa tantangan. Di luar dunia kampus yang mereka hadapi bersama, masalah lain mulai muncul yang menguji sejauh mana mereka bisa mempertahankan keseimbangan antara filsafat dan fisika, antara pemikiran dan perasaan.
Pada suatu pagi yang cerah, saat mereka berdua sedang duduk di kantin sambil menikmati sarapan, Joko menatap Vina dengan ekspresi serius.
"Vin," kata Joko pelan, menatap roti panggang di hadapannya, "lo ngerasa nggak sih, kayak ada yang aneh belakangan ini?"
Vina mengangkat alis, menatapnya dengan rasa ingin tahu. "Aneh gimana?"
Joko menepuk-nepuk meja dengan jari-jarinya. "Kayak, gue ngerasa ada semacam ketegangan. Lo, gue, semuanya. Gak tahu kenapa, tapi hubungan kita ini terasa makin berat."
Vina terdiam, berpikir sejenak sebelum akhirnya tersenyum tipis. "Mungkin kita terlalu sering bertengkar, Jok. Kadang, perdebatan itu bisa bikin orang capek, apalagi kalo dibawa-bawa terus. Tapi, di sisi lain, lo nggak merasa kita jadi lebih ngerti satu sama lain karena itu?"
Joko mengangguk pelan, meskipun dia masih ragu. "Iya, sih. Gue juga ngerasa kalo lo tuh jadi orang yang nggak hanya paham fisika, tapi juga bisa paham gue yang kadang-kadang ngaco. Tapi, kadang gue khawatir, nih, kita jadi nggak bisa bedain kapan kita serius dan kapan cuma bercanda."
Vina tertawa kecil, menggigit sendok. "Emang kadang-kadang bisa bikin bingung, ya? Tapi kan, kita bisa atur itu, kan? Gue rasa kita mulai bisa nyatuin pemikiran filsafat dan fisika ini jadi satu kesatuan yang lebih keren."
Joko menghela napas, merasa lega meskipun masalah itu belum sepenuhnya selesai. "Lo yakin kita bisa terus gini? Gue nggak mau hubungan ini jadi aneh atau malah... berantakan."
Vina menatap Joko dengan tatapan yang lebih serius. "Joko, lo itu kadang bisa mikir berlebihan. Gue yakin kalau kita bisa jalan bareng, nggak harus takut tentang itu. Kalo ada masalah, kita bahas. Kalau ada perbedaan, kita cari jalan tengah. Itu yang gue pelajari dari fisika—semuanya punya rumusnya sendiri."
Joko tersenyum, merasa sedikit bodoh dengan kekhawatirannya sendiri. "Ya, lo bener juga. Gue kadang mikir, kenapa gue nggak pernah ngeliat segalanya dengan cara yang lebih simpel."
Vina menyentuh tangan Joko, memberikan sentuhan ringan yang penuh arti. "Gak usah mikir terlalu berat. Ini hubungan kita, bukan eksperimen yang harus ada teori atau rumus tertentu. Lo nggak harus jadi sempurna buat gue. Gue nggak berharap itu."
Joko menatapnya, matanya yang biasanya penuh keraguan kini mulai lebih terbuka. "Makasih, Vin. Lo selalu punya cara buat bikin gue ngerasa lebih tenang."
Vina tersenyum lebar. "Itulah tugas gue, kan? Menjaga lo tetap waras."
Mereka berdua tertawa, suasana yang tadinya canggung kini terasa lebih ringan. Untuk pertama kalinya, Joko merasa bahwa hubungan mereka benar-benar ada pada jalur yang tepat. Mereka bukan lagi hanya dua individu dengan cara pandang yang berbeda—mereka kini lebih dari itu. Mereka adalah dua orang yang belajar saling menerima dan memahami, bahkan dalam perbedaan yang terkadang terasa mengganggu.
Di luar jendela kantin, langit biru mulai tampak semakin cerah, menandakan bahwa hari itu akan menjadi hari yang penuh harapan. Bagi Joko dan Vina, hari-hari mereka mungkin tidak selalu mulus, tetapi dengan setiap percakapan, setiap perdebatan, dan setiap pemahaman baru yang mereka bagi, mereka semakin merasa bahwa mereka sedang membangun sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan. Mereka sedang membangun suatu keseimbangan, di antara ilmu pengetahuan dan perasaan, di antara filsafat dan fisika, di antara dua dunia yang sebelumnya terasa begitu jauh.
Dan Joko tahu, selama dia bersama Vina, dunia itu bisa lebih mudah dimengerti—bahkan kalau itu sekadar soal belajar menerima dan bertumbuh bersama.
Beberapa minggu setelah percakapan yang mengubah banyak hal bagi Joko dan Vina, hubungan mereka terus berkembang. Meskipun tidak selalu mulus, mereka mulai menemukan kenyamanan satu sama lain. Namun, saat itu, Vina merasa ada sesuatu yang mengganjal, dan dia tahu saatnya untuk mengungkapkan masalah besar yang selama ini dia simpan.
Pada suatu sore yang tenang di taman kampus, Joko dan Vina duduk di bangku panjang sambil menikmati udara segar. Vina tampak termenung, matanya tidak sekilas cerah seperti biasa. Joko yang sedang asyik dengan ponselnya, mulai menyadari perubahan sikap Vina.
"Vin," panggil Joko, menyadari ada yang aneh dari Vina. "Lo kenapa? Lo keliatan beda banget, deh."
Vina menoleh ke arah Joko, mencoba tersenyum, tapi jelas ada sesuatu yang mengganjal. "Gak apa-apa, Jok. Cuma lagi mikirin beberapa hal aja," jawabnya, berusaha terdengar santai.
Joko menurunkan ponselnya dan menatap Vina dengan penuh perhatian. "Lo nggak kayak biasanya, Vin. Pasti ada yang lo pendem, kan? Cerita dong, apa yang bikin lo keliatan kayak gini."
Vina menarik napas dalam-dalam, merasa berat untuk membuka apa yang sudah lama ia simpan. Dia menunduk sejenak, lalu mulai berbicara pelan, "Joko, ada satu hal yang… gue rasa lo perlu tahu. Gue udah lama simpen ini, tapi kayaknya ini saat yang tepat."
Joko terdiam, menunggu dengan sabar. "Gue dengerin kok, Vin. Lo bisa cerita apa aja."
Vina mengatupkan bibirnya, menahan kata-kata. Setelah beberapa detik, dia mulai membuka mulutnya, "Gue punya masalah keluarga, Jok. Masalah yang bikin gue nggak pernah bisa bener-bener ngerasa nyaman di rumah. Mungkin lo nggak bakal nyangka sih, tapi itu yang bikin gue kadang merasa kayak terasing dari orang-orang."
Joko semakin tertarik, merasa ada hal besar yang sedang disembunyikan. "Masalah apa, Vin? Lo nggak usah takut, kok. Gue nggak akan nge-judge lo."
Vina menghela napas, matanya mulai terlihat berkaca-kaca. "Jadi, bokap gue tuh orang yang keras banget, Jok. Dari gue kecil, dia selalu ngatur semuanya—ngatur hidup gue, nilai gue, bahkan pilihan gue dalam segala hal. Dan yang paling parah, dia selalu nganggap gue nggak cukup baik. Semua yang gue lakukan, selalu nggak pernah cukup buat dia."
Joko tercengang, tidak menyangka Vina menyimpan beban sebesar itu. "Gila, Vin... gue nggak pernah tahu kalo lo punya masalah berat kayak gitu di rumah."
Vina mengangguk pelan, menahan emosi. "Itu nggak berhenti di situ. Gue nggak cuma ngerasa nggak pernah cukup buat dia, tapi ada juga kekerasan verbal yang sering dia ucapin. Dulu, waktu masih kecil, setiap kali gue salah, dia selalu ngomong, 'Lo tuh cuma beban.' 'Lo gak bakal berhasil.' Itu terus-terusan sampai gue remaja."
Joko mendengus, merasa marah dan kesal dengan apa yang dikatakan oleh ayah Vina. "Lo nggak pernah cerita soal ini ke siapa-siapa, Vin? Gue nggak ngerti kenapa lo nggak ngomong ke gue atau temen-temen lo."
Vina menatap Joko dengan tatapan penuh penyesalan. "Gue nggak pernah berani, Jok. Gue takut banget kalo gue cerita, gue bakal dianggap lemah. Dan gue nggak mau semua orang lihat gue sebagai anak yang nggak berdaya. Jadi gue simpen semua itu, biar keliatan kuat."
Joko terdiam, meresapi cerita Vina. Dia merasa hatinya tergerak, tetapi juga cemas, karena dia tahu seberapa berat beban yang Vina pikul selama ini.
Vina melanjutkan, "Tapi itu belum selesai. Beberapa tahun lalu, pas gue mulai kuliah, gue sempat nggak ada komunikasi sama bokap gue selama beberapa bulan. Kita nggak pernah benar-benar ngobrol tentang apa yang terjadi, sampai akhirnya… sampai akhirnya dia sakit."
Joko semakin terdiam. "Sakit? Maksud lo gimana?"
Vina menghela napas panjang. "Iya, dia kena stroke. Gue harus balik ke rumah, dan disitu gue baru sadar, meskipun gue benci sama cara dia perlakukan gue, gue masih harus jadi anaknya. Gue ngerasa terjebak antara rasa benci dan rasa kasihan."
Joko menggenggam tangan Vina dengan lembut, memberikan rasa nyaman yang mungkin belum pernah dia rasakan sebelumnya. "Vin, gue ngerti kok. Ini nggak gampang buat lo. Dan gue nggak bakal nge-judge lo karena ini. Gue malah makin respect sama lo, karena lo bisa tetap kuat meskipun hidup lo kayak gitu."
Vina menatapnya, matanya mulai lebih lembut. "Gue sering mikir, Jok. Kalau gue nggak punya semua ini, mungkin gue bisa jadi orang yang lebih terbuka, lebih gampang jatuh cinta, lebih gampang buat percaya sama orang. Tapi kadang, karena masa lalu itu, gue jadi takut."
Joko menatap Vina dengan penuh perhatian. "Gue ngerti banget, Vin. Semua orang punya masa lalu yang bikin mereka jadi kayak gitu. Tapi lo nggak sendirian, kok. Gue bakal ada di sini, bareng lo, kalau lo mau cerita atau nggak. Kita bisa ngelewatin ini sama-sama."
Vina mengangguk, merasa lebih lega. "Makasih, Jok. Lo nggak ngerti betapa beratnya itu buat gue, dan betapa nyamannya sekarang bisa ngomong sama lo."
Joko tersenyum, menggenggam tangan Vina lebih erat. "Lo nggak perlu takut, Vin. Gue selalu ada buat lo."
Hari itu, setelah percakapan yang membuka banyak hal, Vina merasa seperti ada beban yang terangkat dari pundaknya. Dia tahu bahwa meskipun masalah keluarganya masih belum selesai, dia tidak perlu menanggung semuanya sendirian. Joko ada di sisinya, dan itu sudah cukup membuatnya merasa lebih kuat.