"Ayo kita pacaran!" Ryan melontarkan kata-kata tak pernah kusangka.
"A-apa?" Aku tersentak kaget bukan main.
"Pacaran." Dengan santainya, dia mengulangi kata itu.
"Kita berdua?"
Ryan mengangguk sambil tersenyum padaku. Mimpi apa aku barusan? Ditembak oleh Ryan, murid terpopuler di sekolah ini. Dia adalah sosok laki-laki dambaan semua murid yang memiliki rupa setampan pangeran negeri dongeng. Rasanya aku mau melayang ke angkasa.
Padahal aku adalah seorang gadis biasa yang memiliki paras sangat buruk, tidak pandai merawat diri. Aku juga tidak menarik sama sekali di mata orang lain dan sering menjadi korban bully di sekolah. Bagaimana Ryan bisa tertarik padaku?
Tidak! Aku akan menolaknya dengan keras!!!
[update setiap hari 1-2 bab/hari]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 | Penggeledahan
Wajah Isabella semakin merah, emosi mulai menguasai dirinya. “Ayo, jawab! Kenapa kamu nggak keluar sama yang lain?”
Aku terdiam, mataku terbuka lebar karena terkejut dengan tuduhan itu. Di sekelilingku, suasana hening mendadak terasa berat, seolah setiap detik yang berlalu menciptakan ketegangan yang tak tertahankan.
Namun, sebelum Isabella bisa melanjutkan, Ryan, yang sebelumnya hanya diam dan menyaksikan dari jauh, tiba-tiba berdiri dan melangkah ke arah kami.
“Isabella, cukup,” katanya dengan nada rendah tapi tegas, memecah kebekuan suasana.
Isabella menoleh, tatapannya bertemu dengan Ryan yang kini berdiri dengan raut wajah serius, seolah mengancam. Tangannya mengepal di samping tubuhnya, menunjukkan betapa seriusnya dia.
“Kenapa? Kamu juga mau membela dia?” Isabella berkata dengan nada menggebu, matanya menyala penuh tantangan. “Lihat deh, Ryan. Dia satu-satunya yang di dalam kelas saat ini! Siapa lagi yang mungkin mencuri uang kas kelas kalau bukan dia?”
Ryan menghela napas panjang, mengumpulkan kesabarannya. Wajahnya sekilas menunjukkan rasa lelah yang amat sangat, seperti dia sedang menghadapi ujian yang tak diinginkan.
“Tapi aku juga ada di kelas bersama Aura,” katanya akhirnya, suaranya datar namun menohok.
Isabella terdiam, bibirnya sedikit terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu, namun terhenti. Di dekatnya, Vanesa mendekat, alisnya terangkat dan matanya menyipit, menunjukkan ketidakpercayaannya. Ia meremas lengan Isabella, membuatnya mengerang pelan.
“Apa ini yang kamu rencanakan, Bella? Menuduh Aura mencuri uang kas hanya untuk memojokkan dia?” bisik Vanesa, namun cukup keras untuk bisa kudengar. Nafasnya terdengar pendek, dan rahangnya mengeras.
“Nggak!” katanya, berusaha membela diri. “Uang kasnya beneran hilang.” Suaranya goyah, tak setegas beberapa menit lalu.
Kemudian, senyuman kecil yang licik muncul di wajahnya. Ia menutup mulut dengan jari telunjuk, seolah mencoba menahan tawa puas.
“Tapi sepertinya aku bisa memanfaatkan situasi ini untuk membuat Ryan menjauhi Aura,” gumamnya dengan suara yang hanya bisa didengar oleh Vanesa.
Ryan angkat suara sekali lagi, “kalau begitu, kita harus mengumpulkan anak-anak sekelas untuk mencari siapa pelakunya.”
Ryan bergegas menuju aula, tempat di mana semua teman sekelas kami sedang berkumpul. Langkahnya cepat dan penuh determinasi, membuat beberapa orang menoleh ke arahnya dengan rasa penasaran. Begitu tiba di aula, Ryan berdiri di depan pintu dan mengetuknya dengan cukup keras untuk menarik perhatian.
“Kembali ke kelas sekarang. Ada yang perlu dibahas,” seru Ryan, menepuk Pundak satu persatu teman sekelas kami di Tengah aula yang ramai.
“Ada apa, sih?” tanya Nina dengan raut bingung.
“Udah, balik ke kelas sekarang juga,” sahut Ryan.
Satu per satu, teman-teman kami kembali ke kelas, langkah-langkah mereka terdengar berat di lantai keramik yang mengkilap. Mereka duduk di bangku masing-masing, beberapa di antaranya saling bertukar pandang penuh tanya, sementara yang lain hanya diam dengan wajah tegang.
“Semua sudah berkumpul, ya?” Ryan memandang seisi kelas, memastikan tidak ada yang tertinggal.
Suaranya tegas, seperti ketua kelas yang bisa diandalkan, penuh wibawa.
“Do, tutup pintunya,” perintah Ryan dengan anggukan kecil ke arah Edo, yang duduk di dekat pintu.
Edo mengangguk patuh, berdiri, lalu menutup pintu dengan bunyi klik yang terdengar nyaring di telinga kami. Ia kemudian berjalan kembali ke bangkunya, duduk dengan postur tubuh tegang, siap untuk apa pun yang akan terjadi.
“Jadi, kita sedang dalam masalah.” Ryan mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. “Uang kas kelas kita hilang. Aku dan Isabella sudah berusaha mencarinya, tapi sampai sekarang belum ketemu.”
Ruangan yang tadinya riuh seketika sunyi. Semua mata beralih ke arah Isabella yang duduk dengan wajah tegang. Bibirnya terkatup rapat, seolah ia sedang menahan sesuatu. Beberapa teman saling bertukar pandang, terlihat gelisah dan penasaran. Aku sendiri hanya bisa menundukkan kepala, berusaha menenangkan diriku sendiri meski dadaku berdegup kencang.
“Apakah di antara kalian ada yang tahu siapa yang mengambilnya?” tanya Ryan, matanya menyapu setiap sudut ruangan, mencari jawaban di wajah-wajah yang menatapnya dengan ragu.
Hening. Tak ada yang berani berbicara. Beberapa anak hanya memandangi meja mereka, sementara yang lain pura-pura sibuk merapikan buku atau membetulkan posisi duduk. Keheningan itu terasa lama dan penuh tekanan. Aku bisa merasakan keringat dingin mengalir di pelipisku.
“Kalau begitu, dengan terpaksa kita akan melakukan razia tas,” kata Ryan, menegaskan kalimat yang membuat beberapa orang tersentak.
Beberapa pasang mata melebar, suara bisikan makin ramai. Mereka yang duduk di bagian belakang mulai bergerak gelisah.
Ryan melangkah ke arah Edo. “Do, tolong bantu aku,” ujarnya dengan nada yang lebih rendah tapi tegas.
Edo, meski tampak gugup, mengangguk. Dia berdiri perlahan, seolah butuh waktu untuk memantapkan dirinya sebelum menatap seisi kelas dengan pandangan canggung. Ia menarik napas dalam, seolah menyerap keberanian dari udara sekitarnya.
“Oke, semua, silakan keluarkan tas kalian dan buka di meja. Kita akan periksa satu per satu,” kata Edo, suaranya terdengar jelas meski sedikit bergetar.
Suara gemeresik mulai terdengar di ruangan. Anak-anak membuka resleting tas mereka dengan gerakan lambat dan ragu. Beberapa saling berpandangan, wajah-wajah mereka memancarkan kebingungan dan rasa khawatir. Di sudut kelas, beberapa siswa menunduk, menolak menatap mata teman-teman mereka.
Edo menarik napas dan mengangkat tasnya sendiri. “Aku akan mulai duluan,” katanya, berusaha menunjukkan sikap profesional sebagai wakil ketua kelas.
Dengan teliti, ia mengeluarkan buku catatan, botol minum, dan kotak pensilnya. Tasnya kosong, hanya menyisakan remah-remah bekal di sudut.
“Bersih,” kata Ryan sambil mengangguk. Ia melanjutkan pemeriksaan ke tas Dito yang tampak santai meski sedikit gugup. “Silakan, Do, periksa tas Dito,” lanjutnya.
Dito membuka tasnya dengan anggukan cepat. Buku matematika tebal, dua pulpen, dan selembar kertas ujian yang lusuh terlihat di dalamnya. Ryan dan Edo memeriksanya, memastikan tak ada yang mencurigakan.
“Aman,” ujar Ryan.
Satu per satu, teman-teman lain mengikuti. Tas Rani penuh dengan alat tulis berwarna-warni dan catatan-catatan yang ditempel dengan stiker kecil, membuat beberapa anak menggumamkan kekaguman mereka. Detak jam di sudut ruangan semakin terdengar jelas, menggema seperti detak jantung yang terpacu.
Kelas mulai terasa seperti ruang sidang, di mana setiap gerakan diperhatikan, setiap tatapan dinilai. Suara pelan dari kertas yang digeser dan benda-benda yang dikeluarkan menjadi musik latar yang menambah ketegangan.
Ketika Ryan akhirnya sampai di bangkuku, aku merasa semua mata tertuju padaku. Jemariku gemetar saat meraih resleting tasku dan perlahan membukanya. Buku catatan yang penuh coretan, kotak bekal yang kosong, dan alat tulis menjadi pemandangan pertama yang terlihat.
Ryan menunduk, memperhatikan isi tasku dengan teliti. Matanya tajam namun netral. Detik-detik itu terasa seperti menit panjang yang tak berkesudahan. Aku menggigit bibir, menahan napas saat Ryan meraih ke dalam tas.
Tiba-tiba, jantungku terasa berhenti. Ryan menarik sesuatu, beberapa lembar uang kertas dan selembar kertas catatan kecil.
“Apa ini, Aura?”
...»»——⍟——««...