Sinopsis:
Zayden Levano, pewaris perusahaan besar, dihadapkan pada permintaan tak terduga dari kakeknya, Abraham Levano. Sang kakek memintanya untuk mencari Elara, seorang gadis yang kini bekerja sebagai wanita penghibur di klub malam. Keluarga Zayden memiliki hutang budi kepada keluarga Elara, dan Abraham percaya bahwa Elara berada dalam bahaya besar karena persaingan bisnis yang kejam.
Permintaan ini semakin rumit ketika Abraham menuntut Zayden untuk menikahi Elara demi melindungi dan menjaga warisan keluarga mereka. Di tengah kebingungan dan pertarungan moralnya, Zayden juga harus menghadapi kenyataan pahit bahwa istrinya, Laura, mengandung anak yang bukan darah dagingnya. Kini, Zayden terjebak antara tanggung jawab keluarga, cinta yang telah retak, dan masa depan seorang gadis yang hidupnya bergantung padanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak Masa Lalu Yang Membingungkan
Bab 32
Abraham meletakkan foto-foto itu satu per satu di atas meja, memperkenalkan setiap orang yang ada di dalamnya dengan penuh kebanggaan. Elara hanya bisa memandang bingung sambil berusaha mengamati wajah-wajah asing itu.
Ketika sebuah foto yang lebih besar ditunjukkan, perhatian Elara terpusat pada pria yang berdiri di samping Abraham muda. Pria itu menggendong seorang gadis kecil yang terlihat mirip sekali dengan dirinya.
“Dia mirip denganku, Kek?” tanya Elara sambil memiringkan kepalanya untuk melihat lebih jelas.
Abraham mengangguk perlahan. “Ya, dia memang mirip. Tapi bukan kamu.”
Elara semakin bingung. “Jadi, apakah dia saudara Zayden yang lain? Atau... apakah sebenarnya keluarga kami ada hubungan dengan keluarga Zayden? Kenapa ada kemiripan seperti ini?”
Abraham terkekeh mendengar pertanyaan polos itu. “Bukan. Gadis kecil ini adalah kakakmu. Dan, yang menggendong dia adalah sahabatku."
Elara tersentak. “Apa? Kakakku? Tapi... itu tidak mungkin. Aku anak pertama di rumah. Aku tidak pernah punya kakak!” protesnya sambil menatap Abraham dengan mata membulat.
Abraham mengambil foto lain, menunjukkan seorang pria muda berusia sekitar 30 tahun, yang wajahnya sangat mirip dengan pria yang menggendong gadis kecil itu.
“Ini adalah Alfin. Dia ayah dari gadis kecil itu,” kata Abraham santai, seakan tidak sadar betapa pusingnya Elara mencoba mencerna semua informasi.
“Alvin? Siapa itu? Dan kenapa ini? Apakah aku harus kenal mereka semua? Kek, aku benar-benar tidak paham!” Elara memegang pelipisnya, merasa terlalu banyak informasi datang sekaligus.
Abraham terkekeh lagi, menikmati kebingungan Elara. “Tenang, tenang. Kalau kamu pusing, cukup ingat satu hal saja. Gadis kecil yang mirip denganmu ini bukan kamu. Bukan kakak kandungmu, dan bukan juga bagian dari keluargamu yang sekarang.”
“Kalau begitu, siapa dia sebenarnya?” Elara bertanya, matanya masih terpaku pada gadis kecil di foto itu.
Abraham tersenyum samar. “Dia adalah masa lalu yang harus kamu ketahui pelan-pelan, Elara. Tidak semuanya harus kamu pahami sekarang. Tapi percayalah, mengetahui siapa dia akan membantu kamu memahami tempatmu dalam keluarga ini.”
Elara semakin bingung. “Tapi kenapa? Apa ini ada hubungannya dengan Zayden?”
Abraham hanya tertawa kecil dan menepuk pundaknya. “Pelan-pelan, Elara. Rahasia seperti ini akan terungkap saat waktunya tiba. Sekarang, lebih baik kita akhiri sesi mengenang ini sebelum kamu benar-benar pusing.”
Meskipun Abraham tidak memberikan jawaban yang memuaskan, Elara tahu bahwa foto itu menyimpan rahasia besar yang mungkin akan mengubah pandangannya tentang keluarga Zayden—dan juga tentang dirinya sendiri.
Meski terasa membingungkan, Elara masih memandang foto-foto di atas meja dengan kepala yang sudah terasa berat. Kakek Abraham duduk di hadapannya dengan senyuman yang membuat suasana terasa semakin misterius.
“Ini alasan aku memintamu ikut terlibat dalam perusahaan,” ujar Abraham dengan suara berat, penuh arti. “Kau memang bukan keluarga inti kami, tapi kau terikat dengan kami, bahkan lebih erat dari ikatan keluarganya Laura, sebagai besan dan rekan bisnis.”
Elara mengerutkan kening. “Apa maksudnya, Kek? Aku makin enggak ngerti.”
Abraham hanya tersenyum samar, menikmati momen ini. Tapi Elara, yang sudah merasa otaknya seperti benang kusut, akhirnya menatap Abraham dengan serius.
“Kek, bisakah langsung saja? Enggak perlu ceritain sejarah panjang lebar yang bikin aku makin bingung. Kalau memang aku ini siapa, katakan saja. Enggak usah bikin aku mikir keras.”
Abraham terkekeh, tampaknya menikmati kepolosan mantu kecilnya itu. “Elara, kamu memang benar-benar sederhana, ya. Tapi kalau kakek langsung bilang, kamu bisa kaget atau bahkan menolak kenyataan ini. Kakek hanya ingin kamu memahaminya perlahan.”
“Tapi aku enggak suka perlahan-lahan, Kek. Semakin lama diceritain, semakin pusing. Jadi, tolong jujur saja,” kata Elara sambil menatap kakek Abraham dengan penuh harap.
Abraham menarik napas panjang, lalu meletakkan tangan di atas meja. Wajahnya serius sekarang. “Baiklah, kalau begitu. Elara, kamu adalah cucu dari Bahrun.”
Elara mengerutkan dahi. “Bahrun? Siapa Bahrun?”
“Bahrun adalah mitra bisnis keluarga Levano,” jelas Abraham perlahan.
Elara masih belum mengerti. “Mitra bisnis? Jadi maksudnya, aku punya hubungan dengan keluarga Zayden lewat bisnis?”
Abraham mengangguk. “Benar. Tapi bukan hanya itu. Kakekmu, Bahrun, memiliki perjanjian yang sangat penting dengan keluarga kami. Perjanjian itu melibatkan masa depan kedua keluarga.”
“Masa depan? Kek, sekali lagi, ini serius banget, aku makin pusing dan sepertinya mending gak tahu apa-apa, deh.” Elara memegang kepalanya, merasa makin bingung dengan semua informasi ini.
Abraham tersenyum tipis. “Nanti kamu akan mengerti, Elara. Tapi yang perlu kamu tahu sekarang, kamu adalah bagian penting dari keluarga ini, bahkan lebih dari apa yang kamu sadari. Itulah alasan mengapa kakek ingin kamu terlibat di perusahaan.”
Elara hanya bisa menatap Abraham dengan mata lebar. Semua ini terasa seperti teka-teki besar yang harus dipecahkan, tanpa bantuan siapa pun.
###
Di rumah kontrakan sederhana milik Bu Nira. Pemilik kontrakan, seorang pria tua dengan perut sedikit buncit dan sikap arogan, berdiri di ruang tamu. Wajahnya menunjukkan ekspresi penuh tuntutan, sementara Bu Nira duduk dengan wajah gusar, berusaha tetap tenang meski hatinya bergejolak.
“Bik Nira, saya sudah bilang dari minggu lalu, harga kontrakan harus naik. Sekarang semuanya serba mahal,” ujar Pak Samin, pemilik kontrakan, dengan nada tegas. “Dua kali lipat ini bukan permintaan, tapi keputusan.”
Bu Nira, yang dipanggil Bik, berusaha menjaga nadanya tetap sopan. “Pak Samin, kami ini hidup pas-pasan. Kalau harganya dinaikkan sebesar itu, bagaimana kami bisa bertahan? Lagipula, kondisi rumah ini juga tidak pernah Bapak perbaiki, genteng bocor, dinding retak, lantai sudah usang…”
Pak Samin memotong kalimat Bu Nira dengan cepat. “Itu urusan lain, Bik! Lagipula, katanya Elara, anakmu, sekarang sudah jadi orang kaya. Menantu keluarga Levano, kan? Masa bayar kontrakan segini saja tidak bisa? Suruh dia bantu, selesai masalah!”
Bu Nira terdiam, mendengar nama putrinya disebut dengan nada meremehkan seperti itu. Amarahnya mulai memuncak, tapi ia tahu harus tetap tenang. “Pak Samin, apa yang terjadi pada Elara tidak ada hubungannya dengan saya. Dia punya kehidupannya sendiri. Jangan bawa-bawa anak saya untuk urusan ini.”
“Loh, tapi kan dia anakmu? Kalau memang dia sudah sukses, seharusnya dia bantu keluarganya, bukan?” Pak Samin melipat tangannya, tersenyum sinis.
Tetangga yang kebetulan lewat mulai berkerumun di depan pintu, mendengar keributan yang terjadi. Beberapa dari mereka mulai berbisik-bisik, merasa heran mengapa nama Elara ikut terseret dalam masalah ini.
Bu Nira akhirnya berdiri, menatap Pak Samin dengan mata berkaca-kaca. “Saya tidak akan meminta apa pun dari anak saya. Kalau Bapak memang mau menaikkan harga kontrakan, itu hak Bapak. Tapi jangan pernah mengungkit-ungkit nama Elara seperti ini. Itu tidak adil untuk dia ataupun saya.”
Pak Samin tampak tidak terpengaruh. “Yah, terserah kalau begitu. Tapi ingat, Bu Nira, bulan depan saya akan kirim surat peringatan kalau uang sewanya tidak cukup. Saya tidak peduli dengan alasan apa pun.”
Tanpa menunggu jawaban, Pak Samin berbalik dan pergi, meninggalkan Bu Nira yang masih berdiri kaku di tempatnya.
Seorang tetangga, Bu Inah, mendekati Bu Nira dengan penuh simpati. “Sabar, Bu Nira. Jangan dipikirkan omongan Pak Samin. Dia memang begitu, suka bawa-bawa urusan orang lain.”
Bu Nira tersenyum tipis, meski hatinya terasa sesak. “Terima kasih, Bu Inah. Saya akan cari jalan keluarnya.”
Bu Nira tahu betul, perhatian tetangga hanya basa-basi. Nyatanya dia tetap sendiri dalam kesulitan apa pun.
Bersambung...