Winarsih, seorang gadis asal Jambi yang memiliki impian untuk bekerja di ibukota agar bisa memberikan kehidupan yang layak untuk ibunya yang buruh tani dan adiknya yang down syndrome.
Bersama Utomo kekasihnya, Winarsih menginjak Jakarta yang pelik dengan segala kehidupan manusianya.
Kemudian satu peristiwa nahas membuat Winarsih harus mengandung calon bayi Dean, anak majikannya.
Apakah Winarsih menerima tawaran Utomo untuk mengambil tanggungjawab menikahinya?
Akankah Dean, anak majikannya yang narsis itu bertanggung jawab?
***
"Semua ini sudah menjadi jalanmu Win. Jaga Anakmu lebih baik dari Ibu menjaga Kamu. Setelah menjadi istri, ikuti apa kata Suamimu. Percayai Suamimu dengan sepenuh hati agar hatimu tenang. Rawat keluargamu dengan cinta. Karena cintamu itu yang bakal menguatkan keluargamu. Ibu percaya, Cintanya Winarsih akan bisa melelehkan gunung es sekalipun,"
Sepotong nasehat Bu Sumi sesaat sebelum Winarsih menikah.
update SETIAP HARI
IG @juskelapa_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Bye, Love.
Saat mendengar teriakan yang ditujukan kepada mereka dari mobil SUV mewah berwarna putih yang kacanya setengah terbuka, mata Utomo langsung tertuju kepada pria tampan di balik kemudinya.
Utomo mengenali pria itu sebagai anak bungsu Pak Hartono, majikan Winarsih. Ada angin apa anak majikan Winarsih itu meneriaki mereka?
Meski tidak pernah berbuat kriminal atau memiliki skandal-skandal yang berhubungan dengan kehidupan pribadinya, tapi Dean sudah terkenal memiliki pribadi yang kurang menyenangkan.
Sebut saja pria itu angkuh dan sombong.
Sebelum memasukkan Winarsih untuk bekerja di rumah Pak Hartono, Jaka teman Utomo yang berasal dari desa yang sama dengan mereka, telah sedikit banyak bercerita soal keluarga itu.
Sifat angkuhnya itu memang sangat bertolak belakang dengan sang ayah yang meskipun menjabat sebagai Menteri Kabinet dan juga seorang pengusaha tambang sukses, namun pria tua itu sangat ramah dan supel.
Begitulah yang dikenal orang-orang selama ini.
Ketika pria itu meneriaki Winarsih dari tepi jalan, Utomo merasa pandangan yang ditujukan pria itu kepada Winarsih tidak seperti biasanya.
Bukan pandangan seorang majikan kepada pembantunya. Utomo adalah seorang pria normal yang sedikit banyak mengerti bagaimana tindak-tanduk seorang pria.
Entahlah, Utomo tak ingin mengartikan tatapan anak majikan Winarsih itu dengan pikiran macam-macam. Karena mungkin saja perasaannya salah.
Winarsih berdiri mematung di tepi jalan masih menatap Dean.
"Ayo cepat naik!" seru Dean lagi.
Winarsih memandang Utomo dan Dean bergantian, kemudian kakinya melangkah menuju pintu pada baris kedua.
"Di depan! Enak aja duduk di belakang! Memangnya saya supir kamu?" bentak Dean lagi.
"Ngakunya sakit dari kemarin tapi sampai jam segini masih keluyuran di luar! Alesan aja kamu. Bilang aja mau pacaran." Dean terus mengomeli Winarsih yang kini sudah membuka pintu depan dan merapikan roknya untuk duduk.
Utomo yang melihat Winarsih masuk ke mobil anak majikannya, merasa situasinya kini semakin tak ada harapan.
Wajahnya menyiratkan kekecewaan yang mendalam. Wanita yang telah dipacarinya lebih dari enam tahun dan siang malam begitu ia impikan menjadi istrinya kelak, kini seakan lepas dari genggaman.
Winarsih, wanita yang pergi bersamanya ke kota kurang dari sebulan yang lalu, dalam sekejab saja telah menjadi orang asing baginya.
"Win! Aku akan nungguin sampai kamu siap! Aku nggak akan ngelepasin kamu. Aku sayang kamu Win! Kita pergi sama-sama ke kota ini, kita juga harus pulang sama-sama ke desa!" Utomo berteriak dari tepi jalan.
Kaca mobil Dean perlahan menutup, dan mobil mulai beralih ke kanan untuk masuk ke jalur tengah.
Utomo berlari kecil menjajari mobil Dean,
"Aku nggak akan nyerah! Aku akan jadi orang hebat untuk kamu!" teriak Utomo sambil mengetuk kaca mobil di mana Winarsih berusaha untuk menahan tangisnya sejak tadi.
Dean semakin melajukan mobilnya, meninggalkan Utomo yang terlihat putus asa di tepi jalan.
Winarsih mengamati kaca spion untuk melihat mantan kekasihnya itu. Bisa jadi, itu adalah kali terakhir dia bertemu dengan Utomo. Bibirnya bergetar, air matanya terus mengalir tanpa suara. Berkali-kali tangannya mengelap kedua pipinya yang basah.
Seolah mengerti apa yang sedang terjadi antara Winarsih dan kekasihnya, Dean diam seribu bahasa.
"Maafin aku," ucap Dean akhirnya.
Perkataan Dean membuat pertahanan Winarsih akhirnya runtuh. Wanita itu menangis sejadi-jadinya dengan menutup wajah dengan kedua tangan. Bahunya berguncang.
Dean tak tahu harus berbuat apa. Memangnya apa lagi yang harus dikatakannya pada wanita itu? Mobil Dean tiba di depan gerbang rumah yang langsung dibukakan oleh satpam.
Sejak Winarsih menangis tadi, Dean hanya diam. Dia berharap pembantunya itu bisa merasa lebih baik saat menumpahkan semua beban yang menyumbat di dadanya.
"Maafin aku," ucap Dean lagi saat menghentikan mobilnya di lahan parkir sayap kiri rumah yang letaknya tak jauh dari kamar Winarsih.
Menyadari bahwa mobil telah berhenti, Winarsih segera membuka pintu berniat langsung pergi ke kamarnya. Dia tak mempedulikan apa yang dikatakan Dean sejak tadi. Perasaannya malam ini sudah cukup hancur lebur saat mengakhiri hubungannya dengan Utomo. Meski Utomo jauh dari kata sempurna, tapi Winarsih pernah memimpikan memiliki masa depan bersama kekasihnya itu.
"Kamu denger aku bilang apa barusan?" tanya Dean memegang pergelangan tangan kanan Winarsih.
"Dengar Pak, saya sudah berkali-kali mendengar itu dari Bapak. Lantas saya harus menjawab apa? Saya sudah memaafkan Bapak? Begitu? Belum. Saya belum memaafkan Bapak. Malah jauh dari itu. Orang seperti Bapak nggak akan pernah mengerti dengan cerita orang miskin seperti kami," pungkas Winarsih sambil menatap Dean tajam.
Dean menatap pembantunya itu lekat-lekat. Dia tak menyangka ternyata Winarsih yang dikiranya pendiam itu ternyata pintar berbicara.
Wajah Winarsih masih pucat. Bahkan lipstik merah jambu yang kemarin dipakainya, hari ini tak tampak menghiasi bibirnya yang penuh.
Wajahnya yang oval sempurna dengan pipi berisi tampak berkilau karena air mata. Dengan poni yang tersisir rapi menutupi dahinya, serta mata bulat berkaca-kaca, wajah Winarsih terlihat sangat menggemaskan di mata Dean.
Dean mengendurkan pegangannya pada pergelangan tangan wanita itu hingga perlahan dia melepaskannya. Dia benar-benar tak tahu harus mengatakan apa lagi hingga dirinya menarik nafas panjang dan mengusap wajahnya.
Dean memandangi Winarsih yang sekarang mengalihkan pandangannya ke arah jajaran pohon pinang yang membatasi lahan parkir dan kolam renang. Ia menatap pembantunya dari ujung kaki hingga kepala.
Menatap setiap detil yang dikenakan Winarsih. Sepasang sandal murahan, sebuah rok yang rasanya sudah dilihat Dean puluhan kali, serta sebuah kaos lengan panjang yang coraknya mulai memudar. Leher kaos itu berbentuk bulat sederhana. Pandangan Dean sesaat tertumbuk pada bercak di atas dada wanita itu. Merah kebiruan. Apakah itu noda bekas ciumannya kemarin malam?
Pikiran Dean kembali berkelana.
"Sudah selesai Pak? Saya mau masuk dulu," ucap Winarsih tiba-tiba yang membuat lamunan Dean langsung buyar.
"Tunggu," cegah Dean. Dia juga heran kenapa dirinya menahan wanita itu. Winarsih yang tadinya sudah akan turun kini kembali berhenti untuk memandangnya.
"Aku cuma bisa bilang, aku minta maaf. Aku memang nggak sengaja udah.... Pokoknya aku minta maaf. Seperti yang kamu tau, aku udah punya pacar. Aku bahkan udah melamarnya. Jadi memang sebenarnya aku benar-benar nggak pantas melakukan itu ke kamu. Karena itu, aku akan menuruti apapun yang kamu minta selain.... Yah, kamu tau sendiri itu apa. Kamu perlu berapa untuk menghidupi keluargamu di desa? Bilang aja, semua akan aku tanggung," ucap Dean akhirnya.
Sesaat Winarsih terdiam menelaah semua hal yang dikatakan Dean. Kemudian Winarsih menarik napas.
"Nggak Pak, nggak perlu. Terima kasih atas perhatian Pak Dean. Kalau saya meminta, itu artinya sama saja dengan saya menjual diri. Uang Pak Dean nggak akan cukup untuk membeli saya. Sementara ini, saya masih bisa menafkahi keluarga saya di desa dengan gaji dari pak Hartono," tegas Winarsih kemudian turun dari mobil dan membanting pintu di belakangnya hingga menutup.
Mendengar Winarsih mengatakan hal itu padanya, Dean cepat-cepat turun dan mengejar pembantunya.
"Tunggu dulu!" panggil Dean.
"Apa lagi?" ketus Winarsih.
"Aku laper, masakin aku mi kuah!" perintah Dean.
"Baru pulang Pak?" tiba-tiba suara Mbah muncul dari belakang mereka.
Keduanya terlonjak. Winarsih menutup mulutnya seketika.
"Aduh! Mbah ngagetin Dean aja," tukas Dean. Mbah malah terkekeh.
"Pak Dean mau makan apa, bisa Mbah masakin. Winarsih kasihan masih nggak enak badan," ucap Mbah yang sepertinya muncul sebagai penyelamat Winarsih.
"Enggak, Mbah yang kasihan. Udah tua jam segini harusnya istirahat, biar dia aja yang masak!" titah Dean sambil melihat ke arah Winarsih yang berdiri dengan kedua tangan yang mengait di depan roknya.
"Harus Winarsih?" tanya Mbah lagi.
"Iya, harus Winarsih. Ayo kamu cepat ke dapur, saya tunggu. Mbah kembali ke kamar aja, tidur. Udah tengah malem." Dean pergi berjalan cepat-cepat menuju pintu dapur kotor yang berada tak jauh dari tempat mereka.
"Permisi Mbah...." Winarsih sedikit menunduk kepada Mbah, kemudian berjalan buru-buru mengikuti Dean.
To Be Continued.....