Ketika Akbar tiba-tiba terbangun dalam tubuh Niko, ia dihadapkan pada tantangan besar untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan baru yang sama sekali berbeda. Meskipun bingung, Akbar melihat kesempatan untuk menjalani hidup yang lebih baik sambil berusaha mempertahankan identitasnya sendiri. Dalam prosesnya, ia berjuang meniru perilaku Niko dan memenuhi harapan keluarganya yang mendalam akan sosok Niko yang hilang.
Di sisi lain, keluarga Trioka Adiguna tidak ada yang tau kalau tubuh Niko sekarang bertukar dengan Akbar. Akbar, dalam upayanya untuk mengenal Niko lebih dalam, menemukan momen-momen nostalgia yang mengajarinya tentang kehidupan Niko, mengungkapkan sisi-sisi yang belum pernah ia ketahui.
Seiring berjalannya waktu, Akbar terjebak dalam konflik emosional. Ia merasakan kesedihan dan penyesalan karena mengambil tempat Niko, sambil berjuang dengan tanggung jawab untuk memenuhi ekspektasi keluarga. Dengan tekad untuk menghormati jiwa Niko yang hilang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Farhan Akbar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Reaksi Orang Awam Tentang Sekolah Elite
Dia segera membuka kontak di ponselnya, mencari nomor baru Erika yang dia dapatkan tadi. Dengan cepat, dia menemukan nama Erika di daftar kontak dan langsung mengirim pesan.
“Hey Erika! Maaf banget, gue baru ingat belum bayar keripik pisang yang gue borong. Berapa totalnya? 🙈”
Tak lama kemudian, ponselnya bergetar. Pesan dari Erika masuk. “Hai Niko! Gak masalah! Totalnya 150.000 untuk semua keripik yang kamu ambil.”
Akbar sedikit terkejut. “Wah, banyak juga ya,” pikirnya. Tapi dia tahu, keripik pisang itu memang enak dan banyak yang suka.
Dia segera membalas, “Oke, gue transfer sekarang. Makasih ya, Erika!”
Di dalam mobil, saat Akbar membaca pesan dari Erika dan merencanakan pembayaran, dia tidak bisa menahan senyumnya. Dalam hati, dia berkata, "Memang enak punya duit banyak. Uang jajan gue aja 10.000.000 per minggu. Bayar 150.000 buat keripik pisang? Murah banget!"
Dia membayangkan betapa mudahnya hidup sebagai Niko, anak konglomerat. Dengan uang jajan sebanyak itu, dia bisa menikmati berbagai hal tanpa harus khawatir.
pikirnya, merasa semakin percaya diri. “Dengan posisi ini, banyak hal seru yang bisa gue lakuin.”
Setelah mentransfer, Akbar menunggu dengan sabar. Tak lama, ponselnya bergetar lagi. Pesan dari Erika masuk, dan saat membacanya, senyumnya semakin lebar.
Erika Senang banget, "makasih banyak yah, Niko! 😊 Keripik pisangnya pasti bakal jadi favorit kalian!”
Akbar merasa senang mendengar respons positif itu. “Sama-sama, Erika! Gue senang bisa bantu,” balasnya.
Di dalam mobil Grabee, Rudi berkata, “Saya sampai sekarang masih takjub, Mas, dengan sekolah ini. Walaupun sesekali suka menjemput pesanan dari siswa-siswi di sini, sekolah ini luar biasa banget.”
Akbar mendengarkan dengan seksama, sambil dalam hati berkomentar, “Iyah, inilah reaksi orang awam melihat sekolah ini.” Dia tahu betul betapa megah dan prestisiusnya sekolah itu, tapi bagi Akbar, yang kini berperan sebagai Niko, semua itu terasa aneh.
“Banyak fasilitas yang bikin siswa bisa belajar dengan nyaman,” lanjut Rudi. “Dari lapangan olahraga sampai laboratorium canggih.”
Akbar mengangguk, berusaha menampilkan ekspresi setuju. “Iya, benar. Kita beruntung bisa belajar di sini,” jawabnya, meskipun di dalam hati dia merasa sedikit tertekan dengan semua ekspektasi yang datang dari lingkungan barunya.
Rudi tersenyum, lalu melanjutkan, “Kalau saya jadi siswa di sini, pasti semangat banget untuk belajar.”
Akbar tersenyum tipis, berpikir, “Semangat itu memang ada, tapi kadang berat juga bawa beban harapan orang lain.” Dia berusaha menyesuaikan diri dengan suasana, tetap fokus pada perannya sebagai Niko.
Mas Rudi bertanya, “Mas, maaf, kalau sekolah di sini kira-kira harus bayar pembangunan berapa, ya?”
Akbar berpikir sejenak. Dia sebenarnya tidak tahu pasti, hanya mengira-ngira dari informasi yang pernah dia baca di internet. “Mungkin kisaran 300.000.000-an, Mas,” jawabnya, berusaha terdengar yakin.
Rudi terkejut. “Wah, luar biasa juga! Pasti banyak banget fasilitas yang didapat dengan jumlah segitu, ya?”
Akbar mengangguk, meskipun dia merasa agak tidak nyaman. “Iya, sih. Tapi juga banyak biaya operasional lainnya,” jawabnya sambil menyembunyikan kebingungan.
Rudi mengangguk, “Pantas saja sekolah ini jadi salah satu yang terbaik. Kerja keras orang tua murid pasti terbayar dengan kualitas pendidikan di sini.”
Akbar hanya bisa tersenyum, menyadari bahwa pandangan Rudi tentang sekolah ini sangat idealis. “Iya, semoga semua usaha itu bermanfaat untuk kami semua,” balasnya, berusaha menyampaikan optimismenya meskipun dalam hati dia merasakan tekanan yang cukup besar.
Akbar berpikir sejenak sebelum melanjutkan, “Yah, tapi mungkin ada murid yang mendapatkan beasiswa, jadi dia nggak terlalu bayar penuh. Bahkan mungkin ada yang gratis.”
Rudi mengangguk setuju. “Oh, itu benar! Banyak sekolah sekarang menawarkan beasiswa untuk siswa berprestasi atau yang membutuhkan. Bagus banget buat kesempatan belajar.”
“Betul,” jawab Akbar, merasa lega bisa berbagi informasi yang lebih akurat. “Sekarang ini, pendidikan seharusnya bisa diakses oleh semua orang, kan?”
“Setuju! Pendidikan itu hak semua orang,” kata Rudi. Dia tersenyum, seolah terinspirasi oleh percakapan itu. “Semoga lebih banyak anak-anak yang bisa mendapatkan kesempatan sama seperti kalian di sini.”
Akbar merasakan sedikit kebanggaan, meskipun di dalam hatinya, dia juga merasa bahwa tidak semua orang seberuntung itu. “Iya, semoga saja. Kita semua butuh kesempatan untuk belajar dan berkembang.”
Mas Rudi melihat ponselnya dan berkata, “Mas, kita berarti ke Stasiun Manggarai ya? Mungkin akan sampai 45 menit-an. Kalau nggak macet, setengah jam sudah nyampe.”
Akbar mengangguk, merasa lega karena perjalanan tampak cukup lancar. “Iya, Mas. Semoga nggak ada macet,” jawabnya, sambil melihat ke luar jendela, memperhatikan pemandangan yang berlalu.
“Jakarta memang selalu punya potensi macet,” kata Rudi sambil mengemudikan mobil dengan hati-hati. “Tapi kalau beruntung, bisa cepat sampai.”
“Benar,” Akbar setuju. “Apalagi jam pulang sekolah biasanya ramai.”
Rudi tersenyum. “Kalau mau, saya bisa kasih tips untuk menghindari jam-jam sibuk itu, Mas. Banyak rute alternatif yang bisa dicoba.”
“Wah, pasti berguna banget! Saya belum tahu banyak tentang jalan-jalan di sini,” kata Akbar, merasa terbantu. Dia menyadari betapa pentingnya pengetahuan lokal, terutama dalam situasi seperti ini.
Rudi tertawa, “Ah, masa Masnya nggak tahu jalan Jakarta? Duh, bisa-bisa tersesat nanti!”
Akbar beralasan, “Saya sibuk belajar, Mas. Biasanya supir yang ngasih rute. Saya cukup duduk nyantai aja.” Dia tersenyum, berusaha menunjukkan bahwa dia tidak terlalu memikirkan masalah ini.
“Pantas saja! Emang enak jadi anak sekolah,” Rudi menggelengkan kepala dengan senyum. “Tapi, sekali-sekali harus belajar tentang jalan juga. Supaya tahu ke mana harus pergi.”
“Benar juga, sih,” Akbar mengakui. “Mungkin nanti setelah ujian, saya bisa mulai eksplorasi Jakarta. Sambil cari-cari tempat menarik.”
“Wah, itu ide yang bagus! Jakarta banyak tempat seru, loh. Bisa jadi pengalaman baru,” kata Rudi, bersemangat.
“Bisa jadi,” jawab Akbar, merencanakan dalam hati untuk menjelajahi kota dengan cara yang baru.
Akbar mencoba menanyakan, “Mas, kalau murid yang pesan Grabee, boleh masuk ke dalam, nggak? Maksudnya, ada aturan khusus atau gimana?”
Rudi berpikir sejenak. “Sebagian besar sih boleh, selama mereka punya izin dari orang tua. Tapi kadang-kadang ada sekolah yang lebih ketat. Kenapa, Mas? Ada yang mau dijemput lagi?”
Akbar menggeleng. “Nggak, sih. Cuma penasaran aja. Kan, tadi ada sedikit ribet di gerbang.”
“Oh, itu. Ya, memang kadang penjaga gerbang ketat. Mungkin biar aman juga,” jelas Rudi. “Tapi selama semua prosedur diikuti, harusnya nggak ada masalah.”
“Paham,” kata Akbar, merasa sedikit lebih tenang. “Maksudnya, itu penting untuk menjaga keamanan siswa, kan?”
“Exactly! Keselamatan anak-anak itu yang utama,” Rudi setuju, sambil melanjutkan perjalanan. Akbar merasa lega bisa mendapatkan informasi itu, meskipun dia tetap waspada dengan situasi yang bisa berubah kapan saja.
Rudi menanyakan, “Mas Niko, pernah ke Monas? Itu kan ikon Jakarta yang terkenal banget.”
Akbar terdiam sejenak. Tentu saja, sebagai Akbar, dia sesekali ke Monas, tapi sebagai Niko, dia merasa seolah tidak pernah ke sana. “Hmm, kayaknya belum pernah, Mas. Saya lebih sering jalan-jalan keluar negeri, sih.”
Rudi mengangguk. “Oh, gitu ya. Pasti banyak pengalaman seru. Tapi, Monas juga seru, loh. Bisa lihat pemandangan kota dari atas.”
“Betul sih,” jawab Akbar, berusaha mengingat detail tentang Monas. “Mungkin suatu saat bisa coba ke sana, ya?”
“Wajib banget! Selain Monas, banyak tempat menarik lain di Jakarta yang sayang untuk dilewatkan,” kata Rudi. “Kalau ada waktu, coba ajak teman-teman ke sana.”
“Ok, Mas. Nanti saya coba rencanakan,” Akbar menjawab, merasa sedikit lebih percaya diri meskipun di dalam hati dia tahu itu hanya bagian dari perannya sebagai Niko.
Rudi mulai menjelaskan dengan antusias, “Jakarta itu punya banyak destinasi wisata, Mas. Selain Monas, ada juga Ancol, tempat yang asyik buat bersantai dan bermain air. Di sana ada pantai, taman tema, dan restoran yang enak-enak.”
Akbar mengangguk, mendengarkan dengan seksama. “Iya, saya pernah dengar tentang Ancol. Seru banget ya?”
“Bener! Selain itu, ada Kota Tua yang penuh sejarah. Si masnya bisa jalan-jalan sambil melihat bangunan tua yang keren. Banyak spot foto menarik di sana,” Rudi melanjutkan.
“Wah, itu menarik juga. Pasti banyak yang bisa dijelajahi,” kata Akbar, berusaha membayangkan tempat-tempat itu.
“Terus, ada juga Taman Mini Indonesia Indah. Di sana, bisa melihat miniatur budaya dari berbagai daerah di negeri ini. Seru banget untuk belajar dan eksplorasi,” tambah Rudi.
“Bagus juga! Bisa jadi pilihan buat liburan,” Akbar menjawab, merasa senang mendengar rekomendasi itu.
“Pastikan aja, kalau ada waktu, masnya bisa ajak teman-teman. Jakarta banyak kejutan!” Rudi menyimpulkan, tersenyum lebar.
Akbar berkata, “Mas, nanti kalau ada ATM terdekat, berhenti dulu ya? Saya nggak bawa uang cash, masalahnya.”
Rudi mengangguk. “Oh, pasti. Nggak masalah, Mas. Kita cari ATM yang dekat, ya.”
Akbar merasa lega. “Terima kasih, Mas. Kadang saya lupa bawa uang tunai, lebih sering pakai kartu.”
“Zaman sekarang memang banyak yang lebih suka pakai kartu atau dompet digital,” Rudi menjawab. “Tapi tetap penting juga bawa cash, kadang-kadang ada tempat yang nggak menerima pembayaran digital.”
“Benar juga,” kata Akbar, menyadari pentingnya tetap siap dengan berbagai cara pembayaran. “Jadi, kita harus hati-hati.”
“Yup, pokoknya saya akan bantu cari ATM terdekat. Santai aja, Mas,” Rudi menambahkan dengan senyum.