"Kak Zavin kenapa menciumku?"
"Kamu lupa, kalau kamu bukan adik kandungku, Viola."
Zavin dan Viola dipertemukan dalam kasus penculikan saat Zavin berusia 9 tahun dan Viola berusia 5 tahun. Hingga akhirnya Viola menjadi adik angkat Zavin.
Setelah 15 tahun berlalu, tak disangka Zavin jatuh cinta pada Viola. Dia sangat posesif dan berusaha menjauhkan Viola dari pacar toxic-nya. Namun, hubungan keduanya semakin renggang setelah Viola menemukan ayah kandungnya.
Apakah akhirnya Zavin bisa mendapatkan cinta Viola dan mengubah status mereka dari kakak-adik menjadi suami-istri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28
"Lalu, dari mana Ryan tahu?"
Zavin menghela napas panjang sebelum kembali duduk di tepi ranjang. Pikirannya melayang pada sosok Ryan, seseorang yang dulu selalu diandalkannya untuk menjadi mata-mata. Bakat Ryan dalam mengumpulkan informasi tidak diragukan lagi, tapi kini Zavin bertanya-tanya apakah Ryan masih terus memantau Viola, meskipun sudah tak pernah ia perintahkan. "Mungkin, Ryan masih memata-mataimu," gumamnya sambil menatap Viola. "Apa mungkin dia masih cinta sama kamu?"
Viola hanya bisa mengangkat bahunya, tidak yakin akan jawabannya. "Aku sudah lama putus dengan dia. Tapi memang, selama ini dia selalu misterius," jawabnya sebelum duduk di samping Zavin.
"Dulu, dia sendiri yang menawarkan diri untuk memata-mataimu. Katanya dia butuh uang, dan kebetulan saat itu aku memang butuh seseorang untuk mengawasimu."
"Ih, sekarang anak buah Pak Victor yang terus mengawasiku. Aku gak bisa bebas." Viola menghempaskan tubuhnya di atas ranjang dan menatap langit-langit kamarnya.
"Tidak apa-apa, yang penting kamu aman. Mereka gak berniat menculik kamu lagi kan?"
"Awas aja kalau sampai berani paksa lagi. Gimana masalah kantor? tanya Viola, ia menatap Zavin yang kini merebahkan diri di sebelahnya.
Zavin menarik tubuh Viola dan memeluknya. "Saham sudah kembali naik, ya, meskipun tidak setinggi sebelumnya. Ini juga berkat bantuan dari Om Shaka."
Viola mengangguk kecil. "Syukurlah kalau begitu," katanya sambil meraih guling di dekatnya untuk dipeluk. Namun, Zavin dengan cepat menarik guling itu dari pelukannya dan melemparnya ke lantai.
"Sudah ada aku, kamu nggak perlu guling lagi," ujar Zavin sambil tersenyum.
Viola tertawa kecil. "Kak Zavin, kenapa nggak tidur di kamar sendiri aja? Kalau Mama atau Papa tahu, kita bisa kena marah."
Zavin hanya tertawa kecil, dia semakin erat memeluknya. "Tidur bareng kamu lebih enak," bisiknya, sementara kepalanya mulai mendekat ke leher Viola. "Vio, ayo kita nikah."
Pernyataan itu membuat jantung Viola berdegup kencang. "Nikah? Kak, perasaanku dan hidupku masih berantakan seperti ini. Aku belum siap, masih banyak yang perlu aku selesaikan."
Zavin hanya tersenyum tipis, lalu dengan lembut mencium leher Viola. "Kenapa kamu nggak percaya sama perasaanmu sendiri?"
Viola memejamkan mata, tubuhnya merespons setiap sentuhan Zavin, meskipun pikirannya berkecamuk. Setiap ciuman yang diberikan Zavin membuatnya merasa lemah, seakan-akan ia kehilangan kendali atas dirinya. "Kak Zavin, jangan mulai. Aku nggak bisa menolak."
Zavin tersenyum lebar mendengar itu. "Kalau begitu, jangan tolak aku." Alih-alih menjauh, ia semakin bersemangat menyentuh Viola. Ciumannya mulai menjalar lebih jauh, hingga ke da da Viola yang kini setengah terbuka karena ulahnya.
Viola semakin mendongak, tangannya secara tidak sadar mengacak rambut Zavin. Perasaan aneh seperti kupu-kupu beterbangan di perutnya, semakin membuatnya tak berdaya. "Kak..."
"Hem?" Zavin menatap Viola, tubuhnya semakin mendekat dan menindih lembut tubuh Viola yang kini sudah bersemu merah.
"Kak, aku takut kebablasan," bisik Viola, suaranya penuh ketakutan namun terselip juga keinginan yang sulit ia redam.
Zavin berhenti sejenak, lalu menatap Viola dengan tatapan penuh kesungguhan. "Aku akan bertanggung jawab," katanya dengan serius.
Viola hendak menjawab, tapi suaranya tercekat ketika Zavin kembali membungkam bibirnya dengan ciuman hangat. Mereka terlibat dalam pergumulan yang semakin intens, tubuh mereka bergerak selaras, napas mereka semakin berat.
Tiba-tiba, terdengar ketukan keras di pintu dan suara yang memanggil nama mereka dengan lantang. "Zavin! Viola!"
Zavin langsung melepaskan Viola, napasnya tersengal-sengal, sementara tangannya dengan cepat mengusap bibir yang masih basah.
"Kak Zavin, itu Papa! Gimana ini?" tanya Viola dengan panik setengah berbisik.
Zavin dengan tenang membantu merapikan piyama Viola, lalu segera turun dari ranjang. "Katakan saja, kamu nggak tahu apa-apa soal aku," ucapnya sebelum melangkah cepat menuju kamar mandi.
Viola menganggukkan kepalanya, berusaha tetap tenang meski jantungnya berdegup kencang. Setelah memastikan Zavin masuk ke kamar mandi, ia melangkah menuju pintu, membuka sedikit celah, dan menatap papanya yang berdiri di luar. "Papa, ada apa?" tanyanya dengan suara yang ia upayakan terdengar wajar, seolah tidak ada hal yang mencurigakan.
Arvin tidak segera menjawab. Matanya mengitari kamar putrinya dengan pandangan penuh selidik, seakan mencari tanda-tanda adanya sesuatu yang salah. Keheningan yang ditinggalkannya semakin membuat jantung Viola berdebar. Rasa waspada menyeruak di benaknya, namun ia tetap berdiri tegap, menunggu apa yang akan dilakukan ayahnya.
Tanpa sepatah kata pun, Arvin melangkah masuk ke kamar. Viola tak mampu menahan napas ketika ayahnya menuju kamar mandi. Pintu kamar mandi terbuka, dan Zavin berada di dalam sana. Seketika suasana yang sebelumnya tegang menjadi semakin menyesakkan.
"Zavin!" Suara Arvin menggema di ruangan kecil itu, tajam dan penuh kemarahan. Ia meraih tangan Zavin dan menariknya keluar dari kamar mandi dengan cepat. "Apa yang kamu lakukan? Setiap malam kamu tidur di sini? Kalian sudah...?" Pertanyaan itu menggantung di udara.
"Tidak, Pa. Jangan salahkan Viola. Ini sepenuhnya salahku. Aku yang tidak bisa menahan diri. Aku cinta sama Viola," kata Zavin.
Arvin membuang napas kasar. "Kembali ke kamar kamu!" perintahnya dengan keras pada Zavin.
Zavin hanya mengangguk, merasa tidak ada gunanya membantah lebih jauh. Tanpa berkata-kata lagi, ia berjalan keluar kamar Viola.
Ketika Arvin akan mengikuti Zavin keluar, Viola dengan cepat memanggilnya. "Papa, aku dan Kak Zavin memang tidak seharusnya seperti ini. Setelah aku pikir-pikir, lebih baik aku pulang saja ke rumah Pak Victor. Aku sudah tidak ingin lagi menjadi adik Kak Zavin. Aku ingin status ini jelas."
"Pulang ke rumah Victor?"
Thanks Mbak Puput
Ditunggu karya selanjutnya ❤️
perjuangan cinta mereka berbuah manis...
Semoga cepat menghasilkan ya, Zavin
semoga cepat diberi momongan ya ..
udah hak Zavin...
😆😆😆