Malam itu, kabut tebal menyelimuti sebuah desa terpencil di lereng gunung.
Suara angin berdesir membawa hawa dingin yang menusuk tulang.
Di tengah sunyi, langkah empat orang terlihat menuju sebuah bangunan tua yang sudah lama ditinggalkan.
Nur, seorang editor sekaligus kameraman, mengangkat kameranya, siap menangkap setiap detik keangkeran yang tersembunyi di balik bayang-bayang.
Di sampingnya, Pujo, pria dengan kemampuan supranatural, merasakan getaran aneh sejak pertama kali mereka menjejakkan kaki di tempat itu.
"Ini bukan tempat biasa," gumamnya dengan nada serius.
Ustad Eddy, seorang religius dan spiritualis, melangkah mantap dengan tasbih di tangannya, siap mengusir kegelapan dengan doa-doanya.
Sementara Tri, yang dikenal sebagai mediator, berdiri di antara mereka, mempersiapkan dirinya untuk berhadapan dengan entitas dari dunia lain.
Mereka bukan sekadar pemburu tempat angker, tetapi penjelajah alam gaib yang menyuguhkan kisah-kisah misteri dan horor yang ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon F3rdy 25, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAYANG DIUJUNG JALAN 2
Mereka berdiri diam, merasakan kehadiran makhluk besar itu. Genderuwo yang ditakuti mulai menampakkan wujudnya. Sosok gelap dengan tubuh raksasa, berbulu lebat, dan mata merah menyala muncul dari balik kegelapan tangga. Langkahnya berat, terdengar seperti dentuman di lantai kayu tua.
Pujo maju selangkah, berdiri di depan yang lain. "Tenang, jangan tunjukkan ketakutan kalian," katanya dengan tegas.
Nur, meskipun tangannya bergetar, terus merekam. Kamera di tangannya seolah menjadi penghalang antara dirinya dan kengerian yang ada di depannya. Dia tahu, apa pun yang terjadi, momen ini harus diabadikan. "Pujo, apa yang harus kita lakukan sekarang?"
Pujo memandang lurus ke arah genderuwo yang mendekat. "Ini bukan soal apa yang kita lakukan, tapi bagaimana kita melindungi diri. Genderuwo ini tidak datang hanya untuk menakuti. Ada sesuatu yang lebih dalam yang menghubungkan kita dengannya. Kita harus memahami motifnya."
"Motif?" tanya Tri bingung, suaranya sedikit terputus. "Maksudmu, makhluk ini punya alasan untuk muncul?"
Ustad Eddy yang sejak tadi berdoa dengan tasbih di tangannya, menjawab. "Setiap makhluk, termasuk yang seperti genderuwo, tidak bergerak tanpa sebab. Mungkin ada luka lama di tempat ini, atau mungkin kita telah mengganggu sesuatu yang tidak seharusnya disentuh."
Genderuwo itu mendekat, tubuh besarnya hampir memenuhi seluruh ruang. Suara napas beratnya terdengar jelas di telinga mereka, seperti gemuruh yang menggema di dalam ruangan. Cahaya mata merahnya menyala terang, menatap mereka dengan intensitas yang menakutkan.
Nur menelan ludah, mencoba meredakan ketakutan yang semakin menguasai dirinya. "Pujo, aku tidak yakin bisa bertahan. Ini terlalu nyata."
Pujo, dengan tenang, menoleh ke arah Nur. "Kamu harus tetap fokus, Nur. Apa pun yang terjadi, jangan sampai kamu kehilangan kendali. Ketakutan kita adalah makanan bagi makhluk seperti ini. Ingat, dia bisa merasakan energi kita."
Tiba-tiba, genderuwo itu berhenti bergerak, hanya beberapa meter dari mereka. Suasana menjadi sunyi, kecuali suara detak jantung mereka yang semakin cepat. Ustad Eddy terus menggumamkan doa, memperkuat lingkaran perlindungan di sekitar mereka.
"Dia sedang menilai kita," bisik Pujo, matanya tidak lepas dari sosok itu. "Dia tahu kita tidak datang untuk menantangnya, tapi dia ingin tahu apa yang kita cari."
Tri, yang merasa jiwanya terguncang oleh kehadiran genderuwo itu, mencoba mengatur napas. "Pujo, apa mungkin kita bisa bicara dengannya? Maksudku, jika dia benar-benar makhluk dengan kesadaran, bisakah kita berkomunikasi?"
Pujo terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Ada cara untuk berbicara dengan makhluk seperti ini, tapi itu berisiko. Jika kita salah mengucapkan kata, atau menyinggung, bisa jadi dia akan marah."
Nur menurunkan kameranya sedikit. "Apa kamu yakin, Tri? Berkomunikasi dengan genderuwo bukan hal yang mudah. Kita tidak tahu apa yang dia mau."
Tri menghela napas dalam-dalam. "Aku tahu ini berbahaya, tapi kalau kita tidak mencoba, dia mungkin akan menyerang kita tanpa alasan yang jelas."
Ustad Eddy berhenti berdoa sejenak, menatap Tri. "Jika kamu yakin ingin mencoba, aku akan mendukungmu. Tapi ingat, kata-kata memiliki kekuatan. Ucapkan hanya yang perlu dan hindari provokasi."
Tri mengangguk. Dia maju beberapa langkah, mendekati genderuwo yang masih diam memperhatikan mereka. Dengan hati-hati, dia berbicara, suaranya rendah namun jelas.
"Kami datang ke sini bukan untuk mengganggu atau merusak. Kami hanya ingin memahami dan mencari tahu apa yang terjadi di tempat ini. Jika ada sesuatu yang kau ingin sampaikan, kami siap mendengar."
Genderuwo itu diam sejenak, lalu tiba-tiba terdengar suara berat, seperti gemuruh yang keluar dari mulutnya. "Manusia... kalian tidak tahu apa yang kalian hadapi..."
Mereka semua terkejut mendengar suara itu. Nur bahkan hampir menjatuhkan kameranya, tapi dengan cepat menahan diri. "Dia... dia berbicara?" bisik Nur dengan tidak percaya.
Tri, meskipun jantungnya berdebar kencang, mencoba tetap tenang. "Apa yang kami tidak tahu? Jelaskan, dan kami akan mendengarkan."
Suara genderuwo itu bergemuruh lagi. "Tempat ini... telah diambil oleh kegelapan... oleh sesuatu yang lebih kuat dari apa pun yang bisa kalian bayangkan. Aku di sini... untuk menjaga... tapi bahkan aku tidak bisa melawannya."
Pujo melirik ke Ustad Eddy, lalu kembali menatap genderuwo itu. "Kegelapan apa yang kau maksud? Apakah ada sesuatu yang lebih kuat dari kekuatanmu?"
Genderuwo itu mengangguk lambat. "Ada kekuatan lain... kekuatan yang muncul dari tanah ini... dari sejarah yang telah dilupakan manusia... Penguasa kegelapan yang lama... telah bangkit kembali."
Mendengar itu, Nur merasa bulu kuduknya berdiri. "Apa yang kita hadapi, Pujo? Apakah ini lebih besar dari yang kita bayangkan?"
Pujo menatap genderuwo itu dalam-dalam. "Ini bukan hanya tentang hantu atau makhluk halus biasa, Nur. Kita berhadapan dengan kekuatan kuno yang mungkin telah terkubur selama berabad-abad. Jika benar yang dikatakan genderuwo ini, kita berada dalam bahaya yang jauh lebih besar."
Tri masih mencoba memahami situasi. "Apa yang harus kita lakukan? Apakah ada cara untuk melawan kekuatan ini?"
Genderuwo itu terdiam sejenak, sebelum berbicara lagi. "Hanya ada satu cara... kalian harus menemukan akar kegelapan... dan memutusnya. Tapi hati-hati... banyak yang telah mencoba, dan semuanya gagal."
Ustad Eddy, yang sejak tadi hanya diam mendengarkan, akhirnya berbicara. "Jika kita harus menemukan akar kegelapan itu, apakah kau bisa membantu kami? Atau setidaknya memberi petunjuk di mana kami harus mencarinya?"
Genderuwo itu menatap mereka dengan mata merahnya yang menyala, lalu perlahan-lahan mundur. "Aku tidak bisa ikut campur... tapi aku akan memberi petunjuk... Pergilah ke pohon besar di ujung desa... di sanalah segalanya dimulai..."
Setelah itu, tanpa peringatan, genderuwo itu menghilang ke dalam kegelapan, meninggalkan mereka dalam keheningan yang mencekam.
Nur menurunkan kameranya, masih syok dengan apa yang baru saja terjadi. "Apakah itu nyata? Apakah kita benar-benar berbicara dengan genderuwo?"
Pujo menghela napas panjang. "Ya, kita berbicara dengannya. Dan sekarang, kita punya tugas baru."
Tri, meskipun masih merasa gentar, merasa ada semangat baru yang tumbuh. "Kita harus pergi ke pohon besar itu. Kalau apa yang dikatakan genderuwo itu benar, kita mungkin bisa mengakhiri semua ini."
Ustad Eddy mengangguk setuju. "Tapi kita harus berhati-hati. Ini mungkin jebakan, atau mungkin benar-benar petunjuk. Apa pun itu, kita tidak boleh lengah."
Mereka kemudian berbalik, meninggalkan rumah tua itu, menuju ujung desa. Di balik kabut malam, bayangan pohon besar yang disebut genderuwo mulai terlihat samar-samar, seolah menunggu kedatangan mereka.
Perjalanan mereka belum selesai. Bahkan mungkin, apa yang ada di depan lebih berbahaya dari apa pun yang telah mereka hadapi.