Ketika adik-adiknya sudah memiliki jodoh masing-masing, Ara masih diam tanpa progres. Beberapa calon sudah di depan mata, namun Ara masih trauma dengan masa lalu. Kehadiran beberapa orang dalam hidupnya membuat Ara harus memilih. Teman lama atau teman baru? Adik-adik dan keluarganya atau jalan yang dia pilih sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon veraya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2 : Lamaran
“Astaga… adik kecilku kini sudah mau menikah. Beneran sudah siap? Pipis aja masih kena celana.”
“Ayolah… jangan bilang begitu di depan calon istriku, Mbak.”
“Justru ituu… calon istrimu harus tahu ini sebelum dia memutuskan mau menikah denganmu. Masih belum terlambat kalau mau menyesal sekarang.”
Ara tertawa ala mertua galak dalam sinetron sedangkan Alan mulai mencari cara untuk menutup mulut kakak perempuannya itu.
Dista, calon istri Alan, hanya bisa tersenyum malu sambil menutup mulutnya dengan cemilan. Dia akan makan apa saja ketika merasa cemas.
Sementara kakak adik itu mulai saling mengacak-acak rambut, si Anak Tengah, Azka, sibuk mengejar anak balitanya yang sibuk mengejar kucing yang sibuk melarikan diri.
“Syilaa… udah dong, jangan dikejar lagi kucingnya, kasihan dia takut sama kamu.”
“Meng-nya mau Syila peluk, Yaah.”
“Meng-nya nggak mau dipeluk. Rambut dia sudah tebal, sumuk. Ntar dimarahin Budhe Ara loh kalau kucingnya kamu kejar-kejar terus.”
“Nggak, Budhe Ara baik sama Syila.”
Azka menghela nafas.
“Udah ya, Ayah capek. Sana duduk aja sama Bunda. Nanti kita makan es krim. Siapa yang nggak duduk manis, nggak dikasih es krim duluan.”
“Oke!”
Syila berlari kemudian duduk di sebelah Tari, istri Azka. Azka menyusulnya sambil menyeka keringat. Memiliki anak aktif perlu ekstra tenaga. Sejak memiliki anak, berat badannya mulai turun perlahan.
“Lumayan lah ya, buat olahraga Ayah.”
Azka tertawa kecil mendengar perkataan Tari.
“Bagaimana kalau lain kali kita olahraga bareng?”
Kali ini Tari yang tertawa.
“Kalau aku punya waktu luang, aku pastikan aku ada di tempat tidur, Mas.”
“Ngorok?”
Kali ini Syila yang tertawa. Azka menyadari tak akan pernah bisa mengusik waktu tidur Tari. Walaupun ada gempa atau tsunami, mungkin Tari akan jadi orang terakhir yang bangun dari tempat tidur.
Tamu-tamu mulai berdatangan. Keluarga Darmana mulai berkumpul menyambut keluarga calon besan. Bapak Agung Darmana dan Ibu Sarah Darmana bersama anak-anak dan cucunya. Aradila Putri Darmana, si Sulung. Azkanio Putra Darmana, Si Tengah. Dan Alandra Putra Darmana, si Bungsu. Mereka berjajar memperkenalkan diri kemudian dibalas oleh keluarga Dista.
Ara merasa gelisah. Setelah acara resmi selesai, dia memilih untuk menepi, menyingkir dari keramaian dan duduk di tepi kolam. Ara merasa lega ada tempat bagi dirinya untuk menyendiri. Dia bersyukur Alan tidak memilih rumah mereka sendiri untuk mengadakan acara lamaran. Alan cenderung tidak mau repot dan ribet.
Ara masih memegang segelas es krim bertabur tropical fruit dan jelly, menu kesukaannya di manapun ada acara makan-makan.
Ara memandang langit malam.
“Polusi cahaya bikin aku nggak bisa lihat bintang. Seandainya seluruh kota mati lampu.”
“Ngapain di sini sendirian?”
“Astaga! Bikin kaget aja sih!”
Alan menyusul Ara dengan membawa gelas es krim.
“Kamu bawa itu buat aku?”
Tangan Ara gesit memindahkan isi gelas Alan ke gelasnya. Kini es krim di gelas Ara terlihat menumpuk.
“Makasih.”
“Sama-sama.” balas Alan bete karena es krimnya lenyap dalam sekejap.
“Ngapain kamu di sini? Acara lamaran gini nggak bagus meninggalkan calon istrimu sendirian. Ntar diambil orang, loh.”
Alan nyengir.
“Siapa yang mau ambil? Isinya keluarga sendiri.”
“Eh, jangan salah, bisa aja sepupunya Dista naksir trus berencana…”
“Kamu kebanyakan nonton drama, Mbak.”
“Beneran, dari sekian probabilitas, satu persen itu bisa saja terjadi.”
“Seperti yang terjadi padamu?”
“Yang mana?”
“Yang bagian kamu mau dijodohkan dengan sepupu tapi kamu nggak mau.”
“Mama yang nggak mau, aku bahkan nggak tahu ada perjodohan itu.”
“Kalau tahu, kamu bakalan mau?”
“Belum tentu juga sih.”
Alan tertawa. Dia memandang kakaknya dan merasa bahwa Ara semakin kurus.
“Aku sudah denger mereka ngomong apa.”
“Siapa?”
“Orang-orang itu.”
“Ngomongin apa?”
Ara tidak bisa menyembunyikan rasa gelisahnya. Dia menyendok es krim beberapa kali hingga nyaris tandas.
Pertanyaan itu memang sudah berseliweran di telinganya beberapa bulan terakhir. Kenapa Ara tidak punya pasangan, kenapa Ara tidak menikah, kenapa dia didahului adik-adiknya, apa pekerjaannya, apakah dia galak sehingga tidak ada laki-laki yang mau menikah dengannya? Kenapa nasibnya tidak bagus?
Ara memijit pelipisnya.
“Tidak usah dimasukin hati, mereka nggak kenal kita, jadi ngomongnya seenak hati.” Alan menepuk-nepuk pundak kakaknya.
“Haha… lalu harus aku masukin ke mana? Saku bajumu? Telingaku bahkan lebih tajam dari anjing pelacak.” Ara merengut.
“Aku mau menikahi Dista karena aku mau. Pernikahan bukan sesuatu yang harus dipaksakan. Kalau kamu belum siap, ya… nggak apa-apa, Mbak. Jangan jadi beban pikiranmu.”
“Cieee… sudah mulai bijaksana nih, calon suami orang. Anak kemarin sore.”
“Iya, iya, aku cuma adikmu tapi aku beneran serius ngomong ini, Mbak.”
“Iya, aku paham. Sudah sana, balik ke habitatmu.”
Ara memutar bahu Alan dan mendorongnya kembali ke dalam. Alan melangkah perlahan. Dia masih berharap Ara mengikutinya ke dalam untuk kembali berkumpul bersama keluarga. Namun Ara tetap tak bergeming. Dia kembali menatap langit, berharap bintang terang bisa terlihat.
...* * * * *...
Hiruk pikuk acara lamaran Alan telah selesai. Rumah keluarga Agung Darmana kembali seperti sedia kala. Mbok Siran menyiapkan sarapan pagi yang sudah ditata di meja panjang untuk tujuh orang.
Sarah yang pertama kali sampai di ruang makan. Wajahnya yang ayu sudah terpoles tipis oleh bedak dan lipstick. Usianya sudah lewat 55 tahun ini namun kecantikannya tidak pudar ditelan masa. Darah bangsawan yang mengalir dalam dirinya membuat Sarah memiliki kharisma di atas angin.
“Anak-anak belum pada turun, Mbok?”
“Belum, Bu.”
Sarah duduk di kursi paling ujung, mencucuk irisan buah dengan garpu. Terdengar langkah kaki terburu-buru dari tangga. Sarah memejamkan matanya karena gemas.
Ini pasti Ara.
Sarah memandang ke tangga, tampak Ara sudah siap memakai ransel dan menenteng sepatu gunungnya.
“Mau ke mana pagi-pagi gini?”
“Survey, Ma.”
“Makan dulu!”
“Iya, pasti.”
Ara berlari kecil menuju meja makan. Dia juga mencucuk irisan buah sebelum membalikkan piring untuk mengambil nasi. Kebiasaan dan kesukaan yang sama antara Sarah dan Ara.
Tidak lama terdengar suara langkah kaki yang lebih berat dan lebih terburu-buru dari sebelumnya.
Ini pasti Alan.
Sarah kembali memandang tangga. Dan benar saja, Alan turun dengan tergopoh-gopoh sampai hampir tersungkur ke depan karena tubuhnya yang makin gempal.
“Pelan-pelan kalau turun tangga!”
Alan hanya nyengir. Dia menyomot selembar roti lapis dan meminum segelas susu.
“Alan mau pergi pagi. Pulangnya besok.”
“Ke mana?” tanya Sarah.
“Pameran sepatu di luar kota. Buka stan di sana sama temen.”
Sarah hanya mengangguk.
“Ara juga pergi pagi, Ma. Pulang malam.”
“Survey sampai malam tuh survey apa, Ara?” jawab Sarah.
“Lokasi camping. Ara mau ngadain acara diklat teater di sana.”
“Di mana?”
“Bukit utara.”
“Kok jauh?”
“Tempatnya bagus.”
“Sama siapa?”
“Kakak kelas Ara pas kuliah.”
“Kenapa nggak kakak kelasmu aja yang survey? Kamu kan perempuan, nggak bagus pulang malam-malam. Nggak dibayar juga kan kamu?”
Ara terdiam sejenak. Mulai malas dengan percakapan menyangkut uang.
“Ya nggak lah, ini kan acara komunitas. Sukarela. Masa’ Ara minta bayaran.”
“Sia-sia dong tenaga kamu.” Sarah dengan nada tenang namun menusuk membuat Ara jengah.
Ara cepat-cepat menyelesaikan sisa nasi terakhir dalam piringnya kemudian minum teh hangat sampai tandas.
“Ini jusnya, Mbak Ara.” Mbok Siran menyerahkan sebotol jus jambu ke sebelah piring Ara.
“Makasih, Mbok.”
“Budheeee!!” suara riang Syila membelah suasana kaku di meja makan.
“Haaai…anak cantik udah bangun. Good morning, Princess!”
Ara memeluk keponakannya itu dengan gemas. Dia menggendongnya sambil berputar-putar hingga membuat Syila tertawa.
“Kayak naik komidi putal, Budhee.”
“Iya ya. Kapan kita bisa main bareng lagi ke pasar malam ya?”
“Nanti aku mau ajak Syila ke playground. Mbak Ara mau ikut?” suara Azka muncul dari balik punggung Ara.
Sarah tersenyum tipis sambil membatin. Anak ini, langkah kakinya bahkan tidak terdengar di tangga, tahu-tahu sudah muncul saja.
“Nggak bisa, Dek. Aku mau pergi.”
“Yaaah…kok Budhe Aya nggak ikut, nggak seru.” gerutu Syila.
“Lain kali aja ya. Nak Cantik.”
Ara menurunkan Syila yang langsung lari ke pelukan ayahnya. Azka membawa Syila duduk di meja makan untuk minum susu dan sarapan telur ceplok.
“Pamit, Ma.”
Ara mencium punggung tangan Mamanya tanpa menunggu jawaban Sarah. Ara selalu hafal kebiasaan Mamanya. Melihat raut wajah yang muram, Ara tahu sebenarnya Mamanya tidak suka dengan kegiatan Ara selama ini. Namun Ara tetap lanjut. Dia hanya ingin melakukan apa yang dia suka.
Ketika deru motor Ara mulai menjauh dan tidak terdengar lagi, Sarah memijit pelipisnya.
“Kakakmu itu, sampai kapan mau hidup seperti itu?”
“Seperti apa, Ma?” tanya Alan.
“Umurnya sudah tiga puluh tahun tapi kelakuannya masih kayak anak ABG. Main sana-sini sama temen-temennya. Ya kalau mainnya itu menghasilkan uang buat beli keperluan dia sendiri, seringnya kerja gratisan tanpa bayaran. Disuruh kerja kantoran nggak mau. Heran Mama, apa maunya anak itu. Anak-anak temennya Mama yang seusia dia udah pada nikah dan punya anak, Ara masih santai-santai aja. Perempuan kan punya batasan usia buat hamil. Dia masih aja nggak mau…”
“Mama nggak seneng liat Mbak Ara seneng gitu? Alan liat dia enjoy aja ama kegiatannya sekarang. Kalau nggak beruang, mana mungkin dia pelihara kucing sampai tiga biji. Bikin cat house segala. Mana makannya kayak kuli lagi. Sekarang tuh yang penting dianya seneng. Biarin aja lah. Daripada kayak dulu. Nggak bentrok sama Mama aja udah syukur.”
Sarah mendelik ke arah Alan. Alan bangkit dari duduknya lalu buru-buru cium tangan kemudian kabur secepat roket demi menghindari omelan ibunya.
“Anak itu sama saja!” gerutu Sarah. Dia beralih ke Azka yang sedang menyuapi Syila. Pandangan matanya melembut, emosinya meluruh ketika melihat ayah dan anak itu.
Sarah bersyukur dia sudah memiliki satu cucu dari Azka. Paling tidak, dia tidak disindir terus-terusan ketika berada di lingkungan keluarganya atau teman-teman sosialitanya.
Sarah sering mengajak Syila menghadiri acara di luar bersama suaminya. Seolah Syila adalah obat untuk kesedihannya selama ini. Syila adalah penyelamat martabat dan posisinya dalam pergaulannya dari mulut-mulut pedas tanpa tata krama.
“Azka, kamu bilangin itu kakakmu. Cariin jodoh. Temen-temen kamu yang pegawai pemerintah atau pegawai bank nggak ada? Temennya Tari yang dokter gitu juga nggak apa-apa.”
Azka tertawa.
“Mbak Ara kan udah gede toh, Ma. Masa’ jodoh aja masih perlu dicariin kita. Dia bisa cari sendiri.”
“Dia cari sendiri hasilnya malah berantakan gitu kok…”
Sarah menahan genangan air mata agar tidak tumpah di depan anak dan cucunya. Mengingat masa lalu Ara selalu membuatnya miris. Pilu di dalam hatinya belum bisa terkubur dalam-dalam.