Ketika adik-adiknya sudah memiliki jodoh masing-masing, Ara masih diam tanpa progres. Beberapa calon sudah di depan mata, namun Ara masih trauma dengan masa lalu. Kehadiran beberapa orang dalam hidupnya membuat Ara harus memilih. Teman lama atau teman baru? Adik-adik dan keluarganya atau jalan yang dia pilih sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon veraya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9 : Apa sih istimewanya dia?
Mahesa bersiap-siap ke rumah Ara setelah sekian tahun dia meninggalkan kota kelahirannya itu. Tante Nia menowel pinggang Mahesa karena gemas ponakannya itu terlihat makin manis.
“Kencan ama siapa?”
“Coba Tante tebak.”
“Alice? Safira?”
“Bukan semua.”
“Jono?”
“Jono udah kencan sama cewek beneran.”
“Really? Alhamdulillah, kamu aman. Trus sama siapa dong?”
“Sebenarnya nggak kencan sih, cuma silaturahmi ke rumahnya aja. Lama nggak ketemu.”
Dania mengerutkan alisnya.
“No…jangan bilang kamu mau ke rumah Ara.”
Mahesa tersenyum tipis.
“Mahes…kenapa harus Ara lagi? Dia udah pernah…”
“No, no, Tante. Jangan bahas masalah itu lagi.”
“Ck, kamu ni kalau udah suka, susah lepasnya. Sama kayak Papa kamu.”
“Contoh yang baik, kan.”
“Iya, tapi Tante kasihan dia nggak ada yang ngurusin sepeninggal Mama kamu.”
“Kan ada Laras. Dia udah mumpuni, udah pantes jadi ibu-ibu.”
“Adik kamu besok-besok juga akan menikah.”
“Nggak masalah. Papa bisa ikut salah satu dari kami. Tante nggak perlu khawatir.”
Mahesa mengambil sepeda lipat dari garasi.
“Mahes pergi dulu ya, Tante.”
“Nggak pakai motor?”
Mahesa tertawa geli.
“Tante lupa rumahnya Ara di mana? Cuma lompat pager situ udah nyampek. Mahes naik ini aja. Sekalian olahraga.”
“Walaupun masih satu komplek tapi kan kompleknya segedhe kecamatan, Hes. Kalau naik sepeda ntar kamu capek.”
“Nggak capek, kok. Sekalian jalan-jalan. Bosen naik mobil terus.”
Mahesa melambaikan tangan sambil menutup pagar rumah. Hatinya terasa berbunga-bunga. Hari Minggu pagi ini serasa hari Senin. Awal yang baru.
Mahesa mendengarkan musik dengan earphone sebelum menggenjot pedal sepedanya. Cuaca yang cerah ini seolah mendukung suasana hati Mahesa yang riang gembira.
Tiap sudut jalan mengingatkannya tentang masa kecilnya bersama Ara. Ara yang kecebur got gara-gara lari dikejar anjing. Ara yang menantang pemalak dan melindungi Mahesa. Ara yang berbagi es krim saat ulang tahun. Mahesa tertawa geli mengingat itu semua.
Sekitar lima menit gowes, Mahesa sudah sampai di depan pagar rumah Ara. Mbok Siran membukakan pintu sambil terseyum lebar.
“Mas Mahesaaa…ya Allah, tambah ganteng sekarang. Lama nggak ketemu, pulang ke rumah Bu Nia ya?”
“Iya. Mbok sehat?”
“Sehat, Le… Pantesan tadi Mbak Ara minta dibikinin nasi goreng teri. Ternyata kamu mau datang, toh.”
Mbok Siran menepuk-nepuk bahu Mahesa yang bidang. Raut wajahnya begitu bahagia melihat Mahesa, bahkan matanya sampai berkaca-kaca.
“Ara ada, Mbok?”
“Ada di dalam.”
“Tante sama Om juga di rumah?”
“Pak Agung ada, Bu Sarah udah pergi dari pagi. Ada arisan sama temen-temennya.”
“Ooh… Saya boleh masuk?”
“Masuk, masuk. Silakan.”
Mahesa melepas sepatunya dan mengetuk pintu depan yang sudah terbuka.
“Permisi..."
“Yaa...”
Suara Agung yang sedang membaca koran di sofa ruang tamu menyambut Mahesa.
“Masuk, Hes!”
Agung berdiri menyalami Mahesa.
“Waah…udah jadi artis nih. Gimana? Seru?”
“Seru, Om. Banyak tantangan.”
“Om dulu juga pengennya jadi seniman kayak kamu, tapi kadung udah jatuh cinta duluan, trus nikah dan punya anak. Haha!”
“Bikin band veteran aja Om, nyanyiin lagu era 70-an.”
“Bener juga ya. Nanti lah, Om cari para manula dulu untuk jadi anggota.”
Mahesa tertawa lebar. Selera humor Agung masih sama seperti dulu. Mahesa bersyukur kehadirannya bisa diterima dengan baik oleh Agung.
“Ara lagi mandi. Tunggu aja sebentar. Anak itu bangunnya pagi tapi mandinya setahun kemudian.”
Mahesa tertawa lagi. Kebiasaan Ara juga tidak berubah.
“Kalau haus, ambil minum aja di dapur. Anggap aja kayak dulu, Hes.”
“Ya Om, makasih.”
Suara duk duk duk langkah kaki di tangga menandakan Ara turun dengan tergesa-gesa. Mahesa juga hafal dengan kebiasaan ini. Ara selalu tidak bisa pelan ketika menuruni tangga.
“Yoo, Mahes! Kamu udah dateng. Udah lama?”
“Belum. Baru aja.”
Mahesa memandang Ara yang selalu bisa membuat hatinya hangat hanya dengan senyum di bibirnya. Matanya yang bulat dan bibir kecil penuh itu adalah candu bagi Mahesa. Dia tidak bisa tidak rindu.
Ara memakai celana ketat 7/8, terusan selutut motif bunga dengan tali di pundak, dipadu dengan kaos lengan pendek warna putih. Rambutnya yang masih basah dibiarkan tergerai, sebagian rambut sampingnya diikat ke belakang.
Manis sekali.
Mahesa jadi teringat pertanyaan Tante Nia. Apa yang bikin Mahesa suka? Ara terlihat biasa saja jika dibandingkan gadis-gadis anak kenalan Tantenya. Apa sih istimewanya dia?
Ara tidak perlu melakukan apa-apa untuk menjadi istimewa di hati Mahesa. Cukup berdiri di situ, ada, dan bahagia. Ditambah senyum akan lebih sempurna.
Ara duduk di samping Mahesa. Dia mengucek rambut Mahesa sampai berantakan.
“Apa sih?”
“Balas yang kemarin.”
“Halah.”
“Kamu nggak manggung?”
“Besok lusa.”
“Boleh nonton?”
“Boleh dong.”
“Pa, Ara nonton Mahesa manggung ya.”
“Ya.” Agung menjawab tanpa menoleh. Dia masih sibuk membaca korannya.
“Mana pacar kamu?” Ara bertanya.
“Mana ada pacar.”
“Bohong. Artis masa’ nggak punya pacar.”
“Emang harus?”
“Nggak juga sih. Terserah kamu. Aku cuma tanya. Mbok Siran udah bikin nasi goreng teri kesukaan kamu, tuh. Makan aja dulu.”
“Oke. Om sudah makan?”
“Sudah tadi sama Ara. Kamu makan aja sana. Keburu dingin.”
“Ya, Om.”
Ara ke dapur diikuti oleh Mahesa. Mereka berdua ngobrol santai sambil saling mengingat kenangan masa kecil.
“Jalan-jalan, yok. Naik sepeda.”
Tanpa menunggu persetujuan Mahesa, Ara menggamit lengannya untuk keluar rumah.
“Pa, Ara sepedaan sama Mahes ya.”
“Hmm.” Lagi-lagi Agung menjawab putrinya tanpa mengalihkan pandangan dari koran.
Ara mengambil sepeda di garasi lalu meluncur mendahului Mahesa.
“Tunggu woi!”
Ara makin kencang melajukan sepedanya.
“Balapan yok!”
Mahesa geleng-geleng kepala melihat Ara yang melaju secepat Rossi. Mau tidak mau dia harus menyusulnya. Untungnya jalanan komplek lagi sepi.
Mahesa ingat peristiwa seperti ini beberapa tahun yang lalu ketika dia dan Ara masih SD. Mereka balapan sampai lapangan. Mahesa tidak pernah menang melawan Ara. Jalan menuju lapangan ini hanya lurus terus lalu belok kanan satu kali.
“Kita taruhan ya! Yang kalah harus nuruti satu permintaan yang menang!”
Mahesa melajukan pedalnya dengan cepat. Dia memindah gear sepeda ke putaran terbesar.
“OKE!”
Ara percaya diri dengan tantangan ini. Mahesa belum pernah memecahkan rekor tak terkalahkannya Ara. Ara sudah menyiapkan apa yang akan dia minta kalau dia menang.
Namun di luar perhitungan Ara, sebelum tikungan terakhir, Mahesa berhasil menyusulnya sambil tertawa-tawa. Ara masih berusaha merebut posisinya kembali namun kekuatan Mahesa tidak bisa dia tandingi. Ara lupa Mahesa sudah sebesar ini.
Mahesa menghentikan sepedanya dekat ayunan di pinggir lapangan. Dia melambaikan tangannya sambil meneriakkan kemenangan. Ara cemberut.
“YES! Akhirnya setelah sekian tahun aku berhasil mengalahkanmu, Valentino Ara!”
“Satu kemenangan setelah belasan kemenangan lainnya nggak bisa merubah sejarah, Dani Mahesa!”
“Huuu…suara-suara kekalahan membahana…”
Ara mencubit lengan Mahesa sampai dia melenting kesakitan.
“Jangan lupa kamu harus mengabulkan satu permintaanku, Ra!”
Ara menyandarkan sepeda lalu duduk di ayunan.
“Lama nggak ketemu, kita masih kayak anak kecil gini ya.”
Mahesa dan Ara tertawa barengan. Mahesa duduk di ayunan sebelah Ara.
“Bukankah masa kecil itu masa yang menyenangkan? Banyak orang ingin mengulang masa mudanya karena masa tuanya tidak bahagia.” kata Mahesa.
“Kamu bahagia nggak, Hes?"
"Sedang menuju ke sana."
Ara tertawa.
"Kamu mau minta apa?” tanya Ara.
“Kencan.” jawab Mahesa.
Ara menatap Mahesa, ayunannya berhenti.
“Bercanda kan?”
“Nggak lah. Aku pengen kita kencan. Sekali lagi.”
“Pacaran aja nggak, gimana bisa itu disebut kencan.”
“Kalau gitu mulai sekarang kita pacaran. Sekali lagi.”
Ara tertawa. “Kamu masih nganggep serius cerita masa kecil kita?”
Mahesa mengangguk. “Kamu pacar pertamaku. Kamu yang bilang duluan.”
“Hes, aku bilang begitu karena kita akrab. Kamu baik sama aku, jadi aku ngiranya kamu adalah pacarku. Waktu itu aku masih kecil, nggak paham apa itu pacar. Kamu masih aja percaya sama omonganku.”
“Kamu kalah, dan kamu harus penuhi permintaanku. Begitu kesepakatannya.”
Ara mendesah, menyesal tadi ngajak balapan Mahesa.
“Oke, kita pergi bareng, anggap aja itu kencan. Tapi nggak pacaran.”
“Kamu punya pacar, Ra?”
“Nggak.”
“Trus kenapa nggak mau pacaran sama aku?”
“Mahes…”
“Laki-laki yang kemarin itu calonmu?”
“Calon apa?”
“Entahlah…adik-adikmu sampai nemenin kamu, berarti orang itu spesial, kan?”
Ara terdiam sejenak. Dia bingung apakah sebaiknya menceritakan hal itu pada Mahesa.
“Ayolah, cerita aja. Kamu tahu aku selalu bisa dengerin kamu.”
Ara menatap mata Mahesa yang tulus. Dia malah nggak tega untuk cerita.