Reynard Fernando, seorang CEO sukses yang lumpuh, menikahi Caitlin Revelton, gadis ceria dan penuh semangat yang dikenal tak pernah mau kalah dalam perdebatan. Meskipun Caitlin tidak bisa membaca dan menulis, ia memiliki ingatan yang luar biasa. Pernikahan mereka dimulai tanpa cinta, hanya sekadar kesepakatan.
Namun, apakah hubungan yang dimulai tanpa cinta ini dapat berkembang menjadi sesuatu yang lebih mendalam? Atau, mereka akan terjebak dalam pernikahan yang dingin dan hampa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ocehan Caitlin
Ruangan itu terasa semakin tegang. Caitlin yang terkenal dengan sikap ceplas-ceplosnya kini menjadi pusat perhatian, sementara Reynard hanya memandangnya tanpa ekspresi, wajahnya tetap dingin dan penuh misteri.
Tom, yang merasa canggung di hadapan tamunya, segera menarik keponakannya menjauh dari Reynard. "Caitlin, jangan tidak sopan. Dia adalah calon kakak iparmu!" serunya dengan tegas, berharap Caitlin akan berhenti bersikap sembarangan.
Caitlin, yang tidak peduli dengan formalitas, menjawab dengan nada santai. "Paman, jangan cemas! Aku tidak menyakitinya. Aku merasa wajahnya tidak asing. Tidak tahu pernah lihat di mana sebelumnya," katanya sambil mengerutkan kening, mencoba mengingat.
Tom segera berusaha meredam situasi, mengarahkan senyumnya pada Reynard. "Tuan Fernando, maafkan Caitlin. Dia masih kekanakan. Jangan simpan dalam hati!" ucap Tom dengan nada penuh permohonan, berharap Reynard tidak tersinggung.
Namun, Caitlin tidak tinggal diam. "Siapa yang kekanakan? Aku sudah bisa memasak, sementara putri paman tidak bisa apa-apa, hanya tahu berdandan," balasnya dengan tajam, membuat suasana semakin canggung.
Tom menghela napas, merasa frustasi. "Sudah! Sudah!" katanya, berusaha menenangkan.
Reynard yang sejak tadi diam tiba-tiba berbicara, suaranya tenang namun memancarkan otoritas. "Aku ingin makan siang di restoran yang dekat dari sini. Apakah kamu bisa membawaku ke sana?" tanyanya, langsung pada Caitlin, tanpa memperdulikan Nancy yang duduk di sampingnya.
Caitlin memandang Reynard dengan alis terangkat. "Kenapa harus aku? Calon istrimu ada di sampingmu. Pertama kali datang sudah menyusahkanku. Kalian memang pasangan yang serasi," jawab Caitlin sinis, tanpa rasa takut sedikitpun. Kata-katanya menimbulkan keheningan di ruangan itu. Tatapan dingin Reynard membuat Tom dan Nico semakin cemas.
Tom segera mencoba menengahi, merasa situasi semakin memburuk. "Jangan suka melawan! Ini adalah permintaan tamu kita. Tuan Fernando tidak tahu restoran terdekat. Jadi tidak salah kalau kamu yang mengantarnya," ujar Tom sambil menepuk pundak Caitlin, berharap gadis itu mau menurut.
Caitlin mendengus, masih bersikeras. "Paman, jaraknya tidak jauh dari sini. Lagi pula kalau tersasar, dia tidak akan hilang. Dia sudah dewasa," katanya setengah berbisik.
"Jangan membantah! Pergi cepat!" perintah Tom dengan nada lebih tegas kali ini, menandakan bahwa dia tidak ingin diskusi lebih lanjut.
Caitlin menghela napas panjang, menyerah pada situasi. "Iya, iya, pergi ya pergi," jawabnya, lalu berjalan menuju pintu. Namun sebelum melangkah lebih jauh, dia menoleh ke arah Reynard. "Calon Kakak Ipar, mari kita pergi!" ajaknya sambil setengah menggerutu, sama sekali tidak menyadari bahwa dia masih mengenakan pakaian tidur.
Tom yang memperhatikan penampilan Caitlin langsung berseru. "Sebentar!" katanya.
Caitlin berbalik, kebingungan. "Apa lagi?" tanyanya dengan nada kesal.
"Lihat dirimu dulu, seperti apa penampilanmu! Kamu baru bangun, belum cuci muka, belum mandi, dan masih memakai pakaian tidur. Pergi mandi sana!" ujar Tom sambil menunjuk ke arah Caitlin, matanya memicing, tidak percaya bahwa keponakannya hendak keluar dalam kondisi seperti itu.
Caitlin memutar matanya dengan malas. "Kalau bukan karena putrimu, mana mungkin aku sampai seperti ini," gumamnya sambil melirik tajam ke arah pamannya.
Caitlin menaiki anak tangga dengan langkah santai, tanpa peduli pada tatapan tajam Tom yang masih menunggui di bawah. "Calon Kakak ipar, aku mandi dulu. Kalau bisa tunggu, silakan. Kalau tidak bisa, pergi dulu. Nanti aku menyusul. Kalau kamu hilang, bukan tanggung jawabku!" ucapnya ringan sebelum menghilang ke lantai atas.
Tom hanya bisa menghela napas panjang, sementara Reynard tetap duduk dengan ekspresi datar, tak terpengaruh oleh ocehan Caitlin.
**Satu jam kemudian.**
Reynard dan Caitlin kini duduk di sebuah restoran, suasana di antara mereka tampak kontras. Reynard, dengan sikap tenang dan penuh kehati-hatian, fokus pada makanannya, menikmati setiap suap dengan ketenangan yang khas. Sementara itu, Caitlin tampak sibuk mencoret-coret di sebuah nota kecil, wajahnya penuh konsentrasi. Ia tak memedulikan makanan di depannya, seolah sesuatu yang lebih menarik perhatian daripada hidangan itu.
Reynard memandangnya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. "Apa yang kamu lakukan?" tanyanya, memecah keheningan.
"Sedang menggambar," jawab Caitlin tanpa mengalihkan pandangannya dari kertas. Tangannya bergerak cepat, menciptakan garis-garis yang mulai membentuk sesuatu.
Reynard mengangkat sebelah alis. "Kenapa tidak jadi pelukis saja?" tanyanya, nada suaranya datar namun menyiratkan minat.
Caitlin mendengus sambil tetap menggambar. "Calon Kakak ipar, kapan kamu akan menikahi kakakku? Kalau bisa jangan membuang waktu. Cepat bawa dia pergi!" ucapnya
Reynard berhenti makan sejenak dan memandang Caitlin dengan pandangan tajam. "Sepertinya kamu tidak sabar ingin mengusirnya," ujarnya dengan nada yang lebih dalam.
Caitlin tertawa pelan, meletakkan pensilnya sebentar. "Bukan mengusir. Tapi aku tidak mau menjadi pembantunya lagi. Masa pakaian dalam saja harus aku yang cuci. Anggap saja kamu melakukan kebajikan dengan menikahinya," katanya, sama sekali tanpa ragu.
Reynard hanya menggeleng pelan, senyuman samar di wajahnya. Pandangannya beralih ke kertas di tangan Caitlin, memperhatikan apa yang digambarnya. "Bukankah itu adalah restoran ini? Untuk apa kamu melukisnya?" tanyanya dengan nada penasaran.
Caitlin, dengan wajah serius, menjawab sambil menunjukkan hasil gambarnya. "Paman akan bertanya ke mana kita pergi. Jadi aku tinggal serahkan nota ini padanya setelah pulang," katanya sambil menatap hasil gambarnya dengan puas.
Reynard menggeleng pelan, merasa aneh dengan penjelasan itu. "Kamu hanya perlu memberitahu di mana restoran ini," ujarnya.
Caitlin tersenyum tipis, ada sedikit kegetiran di balik senyumnya. "Aku tidak bisa menulis dan membaca, tapi aku bisa menggambar," jawabnya dengan santai, seolah itu hal biasa.
Reynard tertegun, hampir tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya. "Tidak bisa menulis dan membaca?" tanyanya, suaranya sedikit lebih rendah, menunjukkan rasa terkejutnya.
Sebelum Caitlin sempat menjawab, suara berat seorang pria memecah percakapan mereka. "Reynard, ternyata kamu ada di sini?" suara itu terdengar dari arah belakang mereka.
Caitlin menoleh dengan cepat, matanya membulat saat melihat seorang pria paruh baya berjalan mendekati mereka. Pria itu tampak mengenakan jas rapi, wajahnya penuh percaya diri, namun ada sesuatu yang membuat Caitlin merasa tidak nyaman. "Pria tua ini...?" gumamnya dalam hati, berusaha mengingat di mana ia pernah melihat sosok tersebut.
Reynard berbalik perlahan, wajahnya berubah sedikit lebih tegang, namun tetap mempertahankan senyuman tipis yang jelas-jelas palsu. "Aku sedang makan siang. Tidak kusangka bisa bertemu dengan Paman di sini," ucap Reynard, menyapa pria itu dengan formalitas yang kaku, jauh dari kehangatan.
Caitlin yang mendengar percakapan itu segera mengalihkan perhatiannya ke notanya yang penuh dengan gambar. Ia membuka satu halaman dan melihat sketsa wajah seorang pria. "Ternyata dia... dia adalah pria tua yang muncul di malam kecelakaan itu," batinnya terkejut, dan mendadak ingatannya tentang kejadian tragis itu kembali muncul dengan jelas di benaknya.
hikzz..
Reinhard knp gk cari caitlin sendiri sih mlh nyuruh nic segala 😌😌😌