Lastri selalu di injak harga dirinya oleh keluarga sang suami. Lastri yang hanya seorang wanita kampung selalu menurut apa kata suami dan para saudaranya serta ibu mertuanya.
Wanita yang selalu melayani keluarga itu sudah seperti pembantu bagi mereka, dan di cerai ketika sang suami menemukan penggantinya yang jauh berbeda dari Lastri.
Namun suatu hari Lastri merasa tidak tahan lagi dan akhir mulai berontak setelah ia bercerai dengan sang suami.
Bagaimana cara Lastri membalas mereka?
Yuk simak kisahnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaQuin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13. Mendapat Kabar
Bab 13. Mendapat Kabar
POV Author
Lastri menghempaskan bobot tubuhnya di atas tempat tidur. Ia merasa lelah karena hari itu harus mengulang beberapa pekerjaan yang sama.
Mbak Tatik benar-benar sengaja mengerjai aku. Kakak Mas Hendra itu sepertinya tidak ada kerjaan lain selain mengompori Ibu mertua. Rasanya aku ingin membalas kelakuan mereka. Tapi jika aku balas, yang ada aku semakin tersiksa setelahnya, batin Lastri mengeluh.
Ia teringat dulu saat dirinya membalas mereka dengan kata-kata balasan. Tapi yang ada malah sebaliknya, ia di marah habis-habisan oleh Hendra dan bahkan di buat kelaparan meski tengah hamil besar.
Tidak ada kepedulian Hendra terhadap Lastri jika istrinya itu yang mengadu kepadanya. Tapi kali ini entah kenapa Lastri ingin sekali membuat pelajaran untuk mereka. Lastri berencana untuk pura-pura sakit agar mereka tidak menyuruh-nyuruhnya lagi.
***
Keesokan harinya.
Lastri menjalankan rencana yang ia buat kemarin. Kebetulan hari itu adalah hari minggu, Diah libur jadi ia tidak perlu terlihat sehat mengantarkan anaknya ke sekolah.
"Mas kenapa hari ini berpakaian rapi?" Tanya Lastri bingung.
Lastri pura-pura terbaring lemah di ranjang agar Hendra juga melihatnya yang sedang sakit. Tapi dirinya malah di buat heran oleh suaminya ini. Biasanya Hendra akan berpakaian santai dan seharian akan berada di rumah ibunya. Tetapi di pagi ini, Hendra sudah rapi dan bersiap akan pergi.
Apakah Mas Hendra akan jalan-jalan dengan mobil barunya tanpa mengajak kami lagi? Batin Lastri bertanya-tanya.
"Ada urusan kantor." Jawab Hendra sambil merapikan kemejanya.
Lastri masih terus memandangi suaminya yang sedang memunggunginya sambil bercermin. Tiba-tiba saja Hendra berpaling dan menatap Lastri.
"Aku sedang di promosikan naik jabatan. Tapi mungkin jika aku naik jabatan, aku akan di tugaskan dinas ke luar kota."
Apa yang di sampaikan Hendra merupakan kabar baik, sekaligus kabar buruk untuk Lastri. Kabar baiknya, itu merupakan kesuksesan suaminya dalam bekerja. Sudah pasti gajinya akan naik dan kehidupan mereka semakin tercukupi.
Tetapi Lastri merasa kabar buruk yang diterima akan lebih banyak dari kabar baiknya. Lastri berasumsi, jika gaji Hendra naik pun, belum tentu Hendra akan memberikan nafkah yang pantas untuknya dan Diah. Bisa saja gajinya itu semakin di grogoti oleh keluarganya. Lalu Hendra harus jauh darinya. Walau pun Hendra tidak memperlakukannya layaknya seorang istri, tapi tetap saja, Lastri selalu menunggunya setiap pulang kerja, dan merasa kehilangan jika tidak melihatnya. Dengan kata lainya, Lastri mengharapkan suaminya dan pernah jatuh cinta di awal pernikahannya. Itulah isi hati Lastri.
Karena perincian pembagian gaji sudah pernah Hendra jelaskan padanya, dari situ Lastri bisa tahu mereka menikmati hasil keringat Hendra melebihi dari apa yang Lastri nikmati sebagai istrinya.
Lastri terdiam, tidak bisa menanggapi ucapan Hendra. Kepalanya di penuhi pikiran-pikiran yang bisa saja akan terjadi ke depannya.
"Apa tidak bisa minta di tugaskan di sini saja Mas?"
"Ya sama saja aku tidak naik jabatan dong Lastri. Nanti aku minta tanda tanganmu sebagai persetujuan aku naik jabatan dan di pindahkan ke luar kota."
Lastri menghela napas berat. Mau protes pun pasti akan percuma bukan?!
"Baiklah Mas."
Hendra tersenyum pada Lastri, dan mengelus pucuk kepalanya. Lagi-lagi Lastri berdebar karena perlakuan kecil yang manis itu.
"Aku pergi ya, jaga rumah baik-baik dan juga jangan lupa bantulah ibuku." Pinta Hendra sambil memakai sepatunya.
"Tapi hari ini aku kurang enak badan Mas." Bohong Lastri.
"Kerjakan saja semampumu. Kalau memang tidak bisa, nanti akan aku katakan kada ibu kalau kamu sakit."
"Baik Mas."
"Sudah, aku pergi dulu."
Hendra pun berlalu dengan sepeda motornya. Lastri sempat mengintip untuk melihat apakah Hendra singgah seperti biasanya ke rumah ibu mertuanya. Nyatanya Hendra tidak singgah ke rumah ibunya.
Mas Hendra sepertinya benar-benar pergi urusan kantor dan bukan jalan-jalan dengan keluarganya seperti dugaanku, batin Lastri.
Lastri menghela napas kembali. Ia pun menutup pintu rapat-rapat dan menguncinya, lalu ke kamar Diah dan bermain dengan anaknya.
Biar saja pakaian kotor yang tidak banyak menumpuk dulu di belakang sana. Yang penting anakku sudah makan, rumah sudah rapi dan bersih sejak subuh sebelum suamiku bangun. Aku ingin menikmati waktu istirahat hari ini, batin Lastri.
"Triiing....! Triiing...!"
Dering telpon mengalihkan perhatiannya ketika sedang menemani Diah bermain.
Ia pun melihat nama yang tertera disana dan ternyata ada nama ibunya yang melakukan panggilan. Ia pun segera mengangkat panggilan telpon itu.
"Assalamualaikum, Bu..."
"Waalaikumsalam, apa kabar mu Lastri?"
"Alhamdulillah Lastri sehat Ibu. Diah juga sehat. Ibu dan Bapak disana bagaimana?"
"Alhamdulillah, Ibu sehat Las. Cuma Bapak mu ini lagi sakit."
Lastri terkejut mendengar berita yang di sampaikan oleh ibunya.
"Loh, Bapak sakit?! Sakit apa Bu?"
"Bapak mu sakit keras Las. Ibu di minta Bapak buat ngasi tahu kamu. Bapak pengen kamu pulang kesini dengan Diah. Sudah lama toh, kalian tidak pulang."
Benar sudah lama aku tidak pulang. Hampir setahun yang lalu. Dan rencananya aku akan pulang lebaran nanti, seperti tahun-tahun sebelumnya, batin Lastri.
"Sebentar lagi bulan puasa. Setelah itu seperti biasa, Lastri dan Diah akan pulang ke rumah Bapak dan Ibu."
"Bapak mu tidak mau menunggu saat itu juga Las. Apa kamu tidak bisa berbicara dengan suami mu? Minta untuk pulang kampung besok atau lusa?"
"Secepat itu Bu?"
"Iya Las. Bapakmu maksa..."
"Baiklah Bu. Nanti akan Lastri coba bicarakan sama Mas Hendra."
"Iya Las. Ibu tunggu kabar baiknya ya. Ibu sudahi dulu, mau ngurus Bapak mu pengen makan buah-buahan seger katanya."
"Iya Bu. Secepatnya akan Lastri kabari."
"Ya sudah. Ibu tutup ya? Assalamualaikum..."
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh..."
"Kira-kira Mas Hendra mau tidak ya, mengantar kami pulang ke kampung?" Gumam Lastri pada angin.
"Ibu bicara pada siapa?" Tanya Diah dengan polosnya yang sedari tadi rupanya memperhatikan ibunya sambil bermain.
"Tidak bicara sama siapa-siapa sayang, ibu lagi kepikiran sesuatu saja."
"Ooohh..."
Karena tidak terlalu mengerti, Diah pun bermain lagi.
Sebaiknya aku usaha dulu berbicara dengan Mas Hendra. Semoga saja Mas Hendra tidak marah atas permintaan ini, batin Lastri.
"Kita main apa lagi sayang?" Tanya Lastri meneruskan permainan mereka.
"Ibu jadi pembeli ya, Diah jadi penjual." Kata Diah polos mengajak ibunya bermain dagang-dagangan.
"Siap Bu..." Jawab Lastri menandai anaknya.
Diah terkekeh geli. Merasa lucu dirinya di panggil ibu sedangkan ia masih kecil.
Mereka pun main dagang-dagang seperti yang Diah inginkan. Lastri pun menggunakan kesempatan bermain itu sembari mengajarkan anaknya tentang matematika, lebih tepatnya soal pengurangan dengan angka kecil-kecil yang lebih mudah.
"Berapa ini Bu...?"
"Seribu saja."
"Ini uang dua ribu. Jadi kembaliannya berapa ya Bu?"
Diah pun mengikut Lastri dengan mengeluarkan jarinya. Dua buah jari ia keluarkan, lalu satu jari di bengkokkan ke bawah, tinggal lah satu jari yang tersisa.
"Sisa berapa ya?" Tanya Lastri pura-pura tidak tahu.
"Satu Bu..." Jawab Diah semangat.
"Jadi dua ribu di kurang seribu sisa..."
"Seribu! Ini Bu..., kembaliannya."
"Terimakasih Bu..."
"Sama-sama..."
Bersambung...