Nindya seorang sekertaris yang sangat amat sabar dalam menghadapi sikap sabar bosnya yang sering berubah suasana hati. Hingga tiba-tiba saja, tidak ada angin atau hujan bosnya dan keluarganya datang ke rumahnya dengan rombongan kecil.
Nindya kaget bukan main saat membuka pintu sudah ada wajah dingin bosnya di depan rumahnya. Sebenarnya apa yang membuat bos Nindya nekat datang ke rumah Nindya malam itu, dan kenapa bosnya membawa orang tuanya dan rombongan?
Ayo simak kelanjutan ceritanya disini🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon VivianaRV, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32
"Kamu mau bicara apa?"
"Ada yang mau aku bicarakan tapi tidak di sini."
"Ya sudah ayo" Kaivan berdiri diikuti Nindya juga. Nindya berjalan terlebih dulu dan Kaivan mengikuti di belakangnya.
Mereka berhenti di ruang makan, Nindya langsung menghadap Kaivan dan memasang wajah serius. "Ada apa Nindya? Apa yang mau kamu bicarakan?"
"Aa' kenapa enggak bilang kalau kita akan pindah rumah sekarang juga?" tanya Nindya menuntut.
"Bukannya memang kalau sudah menikah kita harus sudah mempunyai rumah dan tinggal sendiri?"
"Enggak semua orang Aa' tapi ya sepertinya kalau orang kelebihan uang seperti kamu pasti untuk membeli rumah hanya duit receh."
"Kalau gitu kamu mau kan pindah rumah saat ini juga?"
"Sebenarnya kalau untuk pindah rumah saat ini aku agak berat sih Aa', aku berat meninggalkan ayah dan juga ibu apalagi mereka kan sudah tua dan aku anak satu-satunya."
"Kalau masalah itu kamu bisa main ke rumah ayah dan ibu mertua disaat kamu senggang, saya tidak akan melarang asalkan kamu izin terlebih dahulu."
"Memang rumah kita dekat dari sini mas?"
"Lumayan dekat, mungkin ke sini sampai sana hanya memakan waktu lima belas menit saja."
"Kalau jarak segitu aku mau pindah."
"Bagaimana kalau kita mulai mengemasi barang-barangmu untuk dibawa pindah saat ini juga agar lebih cepat."
"Kamu kok terkesan buru-buru sih Aa' mau pindah dari sini."
"Saya bukan buru-buru tapi saya mengutamakan keefisienan waktu supaya kita tidak membuang-buang waktu."
"Baiklah kalau gitu."
Mereka berdua menuju ke kamar Nindya lalu mulai mengemas sekiranya barang yang akan dibawa pindah. Yang mereka bawa pindah baju Nindya yang pasti dan beberapa barang penting Nindya yang harus dibawa.
"Kamu enggak usah bawa semua barang-barangmu karena disana sudah terisi banyak barang yang kamu butuhkan."
"Memangnya aku enggak boleh bawa hair dryer dan juga gosokan portabelku ini?"
"Enggak usah, disana sudah ada saya sudah menyiapkan."
"Jadi kita hanya membawa dua koper besar ini saja?"
"Iya dan enggak usah ditambah karena ini sudah terlalu banyak."
"Jadi kita berangkat sekarang Aa'?"
"Iya, sudah kamu keluar dulu dan berpamitan sana biar aku yang bawa dua koper ini" Nindya mengangguk lalu membawa tas selempangnya dan berlalu keluar.
Sampai di depan semua orang bangun melihat Kaivan membawa dua koper besar. "Kalian mau pergi kemana?" tanya Leli dengan raut wajah terkejut.
"Kita mau pindah rumah bu" ucap Kaivan.
"Kenapa mesti sekarang? Kenapa enggak nanti malam aja" ucap Leli.
"Maaf bu kita hanya memburu waktu saja agar cepat selesai lebih cepat, ibu tidak perlu khawatir nanti sesudah Nindya pindah pasti Nindya akan tetap main ke rumah ini kok" ucap Nindya menenangkan ibunya agar tidak sedih.
"Ibu tahu tapi..."
"Sudah ibu tenang saja Nindya akan sering main ke rumah ibu, Nindya pamit ya bu" Nindya merangkul tubuh ibunya dan menyalimi semua orang yaitu kedua orang tua Kaivan untuk berpamitan.
"Semuanya saya pamit ya" ucap Kaivan.
"Hati-hati di jalan."
Kaivan dan Nindya masuk ke dalam mobil dan mulai menjalankan mobil menjauhi pelataran rumah Nindya. Setelah mobil Kaivan pergi air mata Leli luruh juga. Leli merangkul tubuh suaminya untuk menguatkan tubuhnya.
"Sudah tidak apa bu, ikhlaskan saja mereka hidup mandiri lagian juga rumah mereka kan tidak jauh dari rumah kita" ucap Jajak lebih tenang setelah diberitahu oleh Bara bahwa rumah yang akan ditinggali oleh Kaivan dan Nindya hanya ditempuh dengan jarak lima belas menit saja.
"Tapi rasanya berat pak merelakan anak kita tidak tinggal satu rumah lagi dengan kita."
Eni mendekati Leli, "mbak Leli sudah tidak usah menangis biarkan anak-anak kita hidup mandiri sendiri, kalau anda menangis seperti ini bisa membuat kehidupan anak-anak kita tidak baik" ucap Eni berusaha untuk menjelaskan.
"Tapi rasanya berat mbak Eni."
"Sudah tidak papa" Eni mengelus punggung Leli berharap Leli lebih tenang.
Setelah Leli lumayan tenang, Eni berpamitan untuk pulang. "Mbak Leli saya dan suami saya mau pamit pulang."
"Kenapa kalian juga pergi?"
"Maaf mbak suami saya ada meeting hari ini dan juga Afif pasti kalau tidak segera pulang pasti akan dicari oleh orang tuanya."
"Baiklah kalau begitu" sesudah berpamitan Eni beserta Bara dan Afif masuk ke dalam mobil.
"Yah sekarang di rumah ini hanya kita berdua, tapi nanti saat ayah ke toko pasti ibu di rumah sendirian."
"Ya mau bagaimana lagi bu, sudah jangan diratapi lebih baik kita masuk ke dalam rumah saja untuk istirahat dan ibu jangan terlalu banyak pikiran nanti takutnya darah tinggimu kambuh lagi."
Sedangkan saat ini Kaivan dan Nindya sudah masuk ke dalam rumah baru mereka. Barang bawaan Nindya tadi pun sudah ditata dengan baik di lemari.
"Aku enggak sangka rumah yang kamu beli sebesar ini Aa', padahal kita hanya hidup berdua saja loh."
"Siapa bilang hanya berdua? Nantikan bakalan ada anak-anak kita, aku rasa rumah segini kurang besar apabila kita memiliki anak nanti."
"Memang kita akan punya anak Aa'?"
"Iya jelas dong kita akan punya anak, kecuali kalau kamu enggak mau punya anak sama saya ya kita enggak bakalan punya."
"Aku kira pernikahan ini tidak akan ada anak."
"Kan aku sudah pernah bilang kalau kita harus menjalankan pernikahan ini seperti pernikahan normal pada umumnya jadi ya kita harus mempunyai anak dan menikmati prosesnya."
"Proses apa?"
"Ya proses pembuatan anak dong apalagi memangnya?" pipi Nindya langsung bersemu membayangkan apa yang akan mereka lalui saat pembuatan anak nantinya.
"Kamu ini Aa' jangan bicara seperti itu dong."
"Lah kamu tanya masa aku diam saja enggak jawab."
"Tapi ya jangan jawab seperti itu, oh iya mas bagaimana nanti reaksi orang tua kita kalau tahu sebenarnya aku saat ini enggak hamil."
"Mungkin mereka bakal kaget dan syok, tapi kan kita enggak sepenuhnya salah karena kita sudah mau menjelaskan tapi malah mereka enggak mau mendengarkan sama sekali."
"Kalau misalnya orang tua kita menyuruh agar kita cerai bagaimana karena aku enggak beneran hamil?"
"Enggak mungkin orang tua kita bertindak seperti itu."
"Ya siapa tahu loh Aa’ kita kan enggak tahu bagaimana kedepannya nanti."
"Kalau mereka ingin kita cerai tapi kita enggak mau juga enggak bakal terjadi, memang kamu mau cerai dari saya?"
Nindya bingung harus menjawab apa, "ya enggak mau don Aa'" hanya jawaban itu yang membuat Nindya aman.
"Ya jelaslah kamu enggak mau cerai dari saya karena kan nanti setelah cerai dari saya kamu belum tentu mendapatkan laki-laki yang seperti saya" ucap Kaivan percaya diri.