Bertransmigrasi kedalam tubuh Tuan Muda di dalam novel.
Sebuah Novel Fantasy terbaik yang pernah ada di dalam sejarah.
Namun kasus terbaik disini hanyalah jika menjadi pembaca, akan menjadi sebaliknya jika harus terjebak di dalam novel tersebut.
Ini adalah kisah tentang seseorang yang terjebak di dalam novel terbaik, tetapi terburuk bagi dirinya karena harus terjebak di dalam novel tersebut.
Yang mau liat ilustrasi bisa ke IG : n1.merena
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Merena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keluarga Darius.
Para bangsawan mulai bubar satu per satu, begitu juga dengan para pelayan yang sebelumnya memenuhi ruangan. Atas perintah Gerard, para kesatria yang tadi masuk untuk menyingkirkanku juga mengundurkan diri. Ruang takhta yang tadinya ramai kini terasa lebih lengang, menyisakan hanya orang-orang penting di dalamnya.
Aku, Lysander, Bram, para nyonya, dan Kaisar masih di tempat. Selain itu, ada Gerard sebagai juru bicara Kaisar dan pamanku Lucian, yang tetap menyunggingkan senyum seakan menikmati setiap momen. Semua orang yang tersisa di sini adalah pemain utama dalam drama politik yang baru saja dimulai.
"Biar saya mengkonfirmasi sekali lagi," Gerard membuka suara dengan lebih hati-hati kali ini, "Apakah Anda benar-benar menyebut diri Anda sebagai putra dari Nyonya ketiga?"
Aku memandangnya dengan senyum yang sarat akan kesombongan. "Seorang pelayan sepertimu, berani meragukan perkataanku? Apakah dunia ini sudah terlalu membosankan bagimu?" Ucapanku mengalir dengan tenang, namun nadanya jelas penuh penghinaan.
Tatapan Gerard menjadi semakin tajam, tetapi dia tetap tidak menjawab. Hanya matanya yang menelusuri wajahku, seolah-olah dia berusaha menggali lebih dalam dari yang dapat dilihat. Aku, di sisi lain, berdiri dengan santai, tidak menunjukkan ketidaknyamanan sedikit pun di hadapan tatapannya yang mengintimidasi.
Lysander, tampaknya merasa keheningan ini terlalu menekan, akhirnya bertepuk tangan perlahan, memecah suasana. "Hentikan itu, Gerard. Jika kau terus mencurigainya dan ternyata dia memang seorang pangeran, maka aku sendiri tidak akan bisa menyelamatkan kepalamu dari malapetaka yang disebabkan oleh kebodohanmu sendiri," katanya, senyum tipis terlukis di wajahnya.
"Kau cukup paham, ternyata," aku menjawab dengan senyum yang sedikit lebih lebar, menatap Lysander.
"Tentu saja aku paham. Lagipula, aku pintar—tidak seperti seseorang yang aku kenal," jawab Lysander, menimpali dengan nada bercanda, namun tersirat makna lebih dalam di baliknya.
"Itu pasti bukan diriku," aku menjawab dengan santai.
"Entahlah, siapa yang tahu," Lysander tersenyum lebih lebar, seolah-olah permainan kata ini adalah rutinitas biasa.
Kami saling menatap, kilatan persaingan jelas terlihat di antara kami, seolah-olah percikan listrik muncul di udara. Meski demikian, kami akhirnya tertawa bersama, suara tawa kami menggaung di ruang takhta yang besar.
"Hahaha... Dari sifatmu itu, aku sangat yakin kau benar-benar mewarisi darah keluarga Kekaisaran," kata Lysander, tertawa lepas.
"Hahaha... Aku juga sangat yakin bahwa otakmu yang licik pasti datang dari darah Kekaisaran. Terlalu pintar untuk menjadi orang biasa," aku balas sambil tersenyum.
"Akan kuanggap itu sebagai pujian," Lysander tersenyum tipis, matanya menyiratkan kecerdikan.
"Sama-sama," aku membalas dengan senyum ramah, meskipun di dalam hati kami berdua tahu bahwa senyum ini hanya hiasan di atas api kompetisi yang sedang berkobar.
Kami tertawa lagi, tetapi di balik tawa itu, ada kesadaran bahwa satu sama lain bukanlah orang yang mudah dihadapi. Meski begitu, setidaknya untuk saat ini, ketegangan telah diredakan.
Gerard, yang menyaksikan pertukaranku dengan Lysander, akhirnya berbicara, "Mohon maafkan kelancangan saya." Dia berlutut dengan hormat, seolah menyadari posisinya di hadapan kami berdua.
Aku menatapnya sekilas, tidak berniat memberi perhatian lebih, karena tatapanku saat ini tertuju pada ibuku, Aurelia. Setelah bertahun-tahun terpisah, ini adalah pertama kalinya aku bisa benar-benar melihatnya dari jarak dekat. Wajahnya, yang tampak lebih lembut dan rapuh membuat hatiku tergerak.
Lysander, tampaknya memahami suasana hatiku, menepuk bahuku. "Baiklah, untuk saat ini mari kita akhiri di sini saja," katanya dengan senyum tipis sebelum dia berbalik dan berjalan pergi dengan langkah mantap.
Nyonya pertama, Kirara Darius Deluna, bangkit berdiri setelah melihat putranya pergi. Dia berjalan anggun menuju pintu keluar, namun tidak sebelum menatap ibuku dengan sekilas senyuman penuh makna. "Sepertinya, ini akan menjadi sangat menyenangkan," ucapnya sebelum berlalu, diikuti oleh langkahnya yang anggun namun berbahaya.
Bram, yang sejak tadi berdiri dengan wajah bingung, akhirnya meledak dalam kemarahan. "Kau... apa yang kau lakukan? Semuanya menjadi kacau karena kau!" teriaknya, tangannya menunjuk ke arahku dengan gemetar.
Aku menatapnya dari sudut mataku dengan ekspresi mengejek. "Lihatlah babi ini, dia bahkan tidak bisa berbicara dengan jelas. Aku tidak peduli denganmu, enyahlah," suaraku terdengar dingin dan tajam, seakan es yang menggores kulit Bram.
Wajah Bram memerah karena amarah. Tubuhnya yang besar gemetar, seolah dia siap menerkamku. Namun, sebelum dia bisa bertindak, ibunya, Helena, berdiri dan berbicara dengan nada dingin, "Hentikan itu, Bram." Dia menatap Bram dengan tajam, kemudian beralih kepada ibuku, Aurelia. "Tidak kusangka akan ada masalah seperti ini. Kuharap kau tidak memancing lebih banyak masalah," ucapnya tajam sebelum menarik Bram yang masih tampak siap meledak. Dengan cepat, mereka berdua meninggalkan ruangan.
Aku hanya menatap punggung mereka yang menjauh tanpa banyak peduli.
Aku kemudian menatap Gerard, yang masih berlutut di hadapanku, namun kali ini yang berbicara bukan dia. Suara yang terdengar adalah suara yang sudah lama tenggelam dalam keheningan—Kaisar Alaric.
"Putra... Aurelia... Bagus..." ucapnya pelan, seolah-olah setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah beban besar yang sulit terangkat. Bibirnya terangkat perlahan, seakan mencoba tersenyum setelah bertahun-tahun.
Aku sedikit terkejut mendengar suaranya, namun setelah itu, Kaisar Alaric kembali diam, tatapannya kosong seperti sebelumnya.
Gerard berdiri dengan perlahan, kemudian dengan penuh hormat dia mulai memandu Kaisar untuk bangkit dari singgasananya. Ibuku, Aurelia, dengan cepat berdiri, berniat untuk membantu, namun dihentikan oleh Gerard dengan anggukan kecil. "Lebih baik Anda berbicara dengan putra Anda, Nyonya. Dari yang saya lihat, ini adalah pertemuan pertama Anda setelah lama berpisah. Biarlah saya yang membantu Kaisar," ucapnya dengan sopan sambil memandu Kaisar keluar ruangan.
"Terima kasih," ibuku berkata dengan senyum penuh terima kasih, matanya penuh kasih sayang saat beralih padaku.
Aku menatapnya lembut. Meskipun kami tidak pernah bertemu selama tujuh belas tahun, dia tetaplah ibuku—wanita yang mencintaiku tanpa syarat.
"Tahan reuni kalian, sebaiknya kita pindah ke tempat yang lebih privat," suara Lucian terdengar dari belakang, senyuman misteriusnya masih tetap ada.
Aku tersenyum, kemudian menjemput tangan ibuku dengan lembut. "Ada banyak hal yang ingin kukatakan padamu, Ibu," ucapku sambil menggenggam tangannya erat. Dengan lembut, aku menuntunnya keluar ruangan, mengikuti arahan pamanku Lucian.
the darkest mana
shadow mana
masih ada lagi tapi 2 itu aja cukup