NovelToon NovelToon
Serious? I'M Not A Hero!

Serious? I'M Not A Hero!

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Sistem / Mengubah Takdir
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: ex

Kim Tae-min, seorang maniak game MMORPG, telah mencapai puncak kekuatan dalam dunia virtual dengan level maksimal 9999 dan perlengkapan legendaris. Namun, hidupnya di dunia nyata biasa saja sebagai pegawai kantoran. Ketika dunia tiba-tiba berubah akibat fenomena awakening, sebagian besar manusia memperoleh kekuatan supranatural. Tae-min yang mengalami awakening terlambat menemukan bahwa status, level, dan item dari game-nya tersinkronisasi dengan tubuhnya di dunia nyata, membuatnya menjadi makhluk yang overpower. Dengan status dewa dan kekuatan yang tersembunyi berkat Pendant of Concealment, Tae-min harus menyembunyikan kekuatannya dari dunia agar tidak menimbulkan kecurigaan.

Di tengah kekacauan dan ancaman baru yang muncul, Tae-min dihadapkan pada pilihan sulit: bertindak untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran, atau terus hidup dalam bayang-bayang sebagai pegawai kantoran biasa. Sementara organisasi-organisasi kuat mulai bergerak.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ex, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pertemuan Tak Terduga di Gunung Cheonggyesan

Aku berdiri di puncak Gunung Cheonggyesan, menikmati angin sepoi-sepoi yang membawa aroma dedaunan dan kelembapan tanah. Mencari ginseng 1000 tahun seharusnya jadi perjalanan yang menyenangkan dan menenangkan, tapi aku tak menemukan satu petunjuk pun tentang ginseng sialan itu.

"Ini ginseng atau kucing liar sih, kenapa ngilang terus?" gumamku, sedikit frustrasi.

Saat aku sibuk mengais-ngais tanah dengan dahan pohon yang kupungut, tiba-tiba ada sesuatu yang memecah ketenanganku. Suara napas terengah-engah terdengar mendekat. Aku berbalik, dan seorang perempuan berlari melewatiku dengan tergesa-gesa. Seragamnya lusuh dan berlumuran darah, tapi yang paling mencolok adalah lambang Golden Lion di seragamnya. Dia tampak sangat kacau berlari dengan luka di lengannya, sambil terus menahan darah yang keluar deras.

"Apa-apaan ini? Lari marathon versi horror?" Aku mengernyit melihatnya. Tidak sempat bertanya apa-apa, perempuan itu terus berlari, seperti dikejar maut.

Dan ternyata benar.

Beberapa detik kemudian, seseorang muncul dari belakang, mengejarnya dengan kecepatan tinggi. Rambutnya acak-acakan, dan tongkat sihir hitam di tangannya menyala dengan aura gelap yang tidak mengisyaratkan apa pun kecuali bahaya. Mata orang itu memancarkan niat membunuh yang intens.

Aku bersiap untuk tidak ikut campur, tapi begitu pria itu melihatku, wajahnya berubah garang. Tanpa basa-basi, dia langsung mengayunkan tongkat sihirnya, mencoba menghantamku seperti seorang tukang pukul bayaran di lorong gelap. Serius? "Tongkat sihir bukan untuk dipukulin ke kepala orang, Bung," batinku.

Dengan refleks cepat, aku menghindari serangannya. Sambil berdiri tenang, aku menatapnya dengan datar.

"Lihat, bro. Kalau mau menyapa, mulut itu untuk bicara, bukan tongkat untuk memukul kepala orang."

Aku mengayunkan tanganku, sekadar iseng, dan PLAK! Kepalanya langsung hancur. Ya, hancur kepingan darah dan otak tersebar di sekitarku. Aku menatapnya dengan mata menyipit.

"Oh, seriusan? Aku cuma mau menamparnya, bukan bikin pesta otak di sini." Aku menghela napas berat. "Dan kau bikin bajuku kotor... ini jas hujan favoritku, tahu nggak?"

Saat aku masih menikmati hasil tamparan yang mungkin sedikit keterlaluan, ada suara langkah lain mendekat. Dari balik pohon besar, muncul pria lain dengan seragam yang sama. Tapi yang satu ini berbeda auranya lebih pekat, dan dari tatapan matanya yang tajam, aku langsung bisa menebak: summoner.

Summoner ini menatap mayat rekannya dengan tenang, seolah kematian pria itu hanyalah hal sepele. Dia menarik napas dalam, lalu mendesis, "Jadi kau yang menghabisinya, ya?"

Aku mengangkat bahu. "Mungkin. Tapi, kau lihat sendiri, dia yang mulai duluan. Kalau tongkat itu dibuat untuk memukul, aku mungkin perlu kuliah sihir untuk tahu fungsinya yang sebenarnya."

Summoner itu tidak terkesan dengan candaan sarkasku. "Tidak masalah. Dia hanyalah pion. Aku bisa menciptakan lebih banyak dari dia."

Matanya berkilat. Dengan gerakan tangan yang cepat, dia mulai merapalkan mantra. Tanah di sekitar kami bergetar, dan dari dalam bumi, sosok-sosok menyeramkan mulai muncul mayat hidup, penuh luka dengan mata kosong yang menyala merah.

"Oh, ini baru menarik!" Aku tersenyum sinis. "Jadi kita main zombie-zombiean sekarang? Aku harap kau punya lebih dari ini, karena ini mulai terasa seperti video game dengan anggaran rendah."

Summoner itu mengabaikanku dan melanjutkan mantranya. Aku mengawasi mayat-mayat yang bangkit itu dengan tangan masih di saku. "Serius nih, bro? Kalau mau bikin pertunjukan, paling nggak tambahin beberapa spesial efek. Ini terasa kayak acara TV murah."

Dengan santai, aku menyiapkan diri untuk bertarung, tapi sejujurnya, aku berharap ini jadi pertarungan yang menyenangkan. Aku sudah cukup bosan mencari ginseng yang tak jelas keberadaannya, jadi mungkin memukul beberapa mayat hidup bisa jadi hiburan yang pas.

Aku menatap si summoner di depanku dengan tatapan malas. Di belakangnya, mayat-mayat hidup berdiri dengan tangan terulur, siap menyergap. Perempuan dari Golden Lion yang tadi berlari melewatiku tampak tersungkur di semak-semak, napasnya tersengal-sengal. Luka parah di tubuhnya membuatnya hampir tidak bisa bergerak.

"Serius nih?" aku bergumam pelan sambil memutar otot leher. "Kalau lawannya cuma kayak gini, pertarungan bakal lama dan membosankan... , aku malas."

Summoner di depanku menyeringai. "Sebentar lagi kau akan menjadi salah satu dari mereka," katanya sambil menunjuk ke arah gerombolan undead di belakangnya.

"Oh, apa? Drama level murahan lagi? Gak ada yang lebih seru?" Aku menghela napas panjang, dan sekilas melirik ke tangan kiriku di mana Ring of Cosplay terpasang. Sebuah senyum muncul di wajahku. "Kalau gini ceritanya, lebih baik kita buat ini seru. Mungkin aku perlu jadi seseorang yang sedikit lebih... eh, keren."

Dengan santai, aku memutar cincin itu. Kilatan cahaya ungu langsung menyelimutiku, membuat rambutku menegak ke atas seolah baru saja mendapat perawatan rambut terburuk sepanjang masa. Di depanku, summoner itu terbelalak tak paham dengan apa yang terjadi.

Saat cahaya memudar, aku mengenakan setelan hitam dengan pinggiran emas, lengkap dengan jubah yang berkibar di belakangku. Rambutku sekarang menegak tajam ke atas, ala Yumi Yiga, sang duelist legendaris dari Duelist Heroe... yah, versi plesetannya. Aku tidak bisa menahan diri untuk tertawa kecil. "Yami siapa? Nggak penting, yang penting gayanya keren!"

Summoner di depanku tampak bingung. "Apa maksudmu? Kenapa penampilanmu berubah?!"

Aku melipat tangan di dada, tersenyum sinis. "Kau pikir hanya kamu yang bisa summon sesuatu? Sayang sekali, aku juga punya beberapa trik." Aku mengeluarkan kartu tipis dari dalam saku jaketku, padahal aku nggak ingat menyelipkannya di sana. "Aku aktifkan kartu ini! Dark Magician Killer!"

Dengan satu jentikan, cahaya hitam berkumpul di udara. Dari pusaran itu, muncul sesosok makhluk mengerikan: "Dark Komedian!" Sosok badut hitam ini menyeringai lebar, mengacungkan tongkatnya sambil tertawa gila-gilaan. Tampangnya lebih menyeramkan daripada lucu badut ini tampak siap mengiris-iris daging musuhnya, bukan melemparkan lelucon receh.

Summoner itu terbelalak. "Apa-apaan itu?!"

Aku menatapnya dengan tatapan malas. "Kau tidak perlu tahu. Yang jelas, dia jauh lebih tangguh dari seluruh koleksi zombie bau busukmu. Serang mereka, Komedian, dan habisi dengan kau tahu apa? sirkus terkelam yang pernah ada."

Si Dark Komedian bergerak cepat, sapuan tongkatnya menebas semua undead di sekelilingnya. Mereka tidak sekadar hancur mayat-mayat hidup itu meledak dalam semburan darah dan daging yang berceceran ke mana-mana, potongan tubuh berjatuhan ke tanah, disertai tawa seram sang badut yang memuakkan.

"Ah, lihat! Mereka jadi lebih kecil eh, maksudku, lebih banyak." Aku tertawa kecil sambil mengamati potongan-potongan daging yang berserakan. "Siapa bilang badan besar lebih baik? Lihat, jadi banyak bagian kecil yang bisa dinikmati."

Summoner itu menatapku dengan wajah pucat. "Kau... kau monster!" teriaknya.

Aku mengangkat bahu santai. "Monster? Aku? Haha, lucu juga sih. Tapi jangan kebalik. Kalian yang suka main-main dengan mayat, siapa yang monster sebenarnya?" Aku menjentikkan jari. "Sekarang, giliranmu."

Dengan panik, summoner itu merapal mantra lain, kali ini lebih besar dan berbahaya. Tanah bergetar, dan dari retakan di tanah muncul sosok monster raksasa: "Necrosaurus!" Monster itu berdiri tinggi, dengan kulit hijau dan mata merah yang menyala.

Aku mendesah, menatap kartu terakhir di tanganku. "Jadi kita sekarang main summon-summon raksasa? Baiklah, aku juga bisa ikut permainanmu."

Dengan satu gerakan dramatis, aku memanggil kartu pamungkas dari kantongku. "Inilah dia, kartu pamungkasku... Obelisk the Instigator!"

Petir menyambar dari langit, membelah udara di sekitarku. Sesosok raksasa muncul—berotot besar dengan tatapan bengis, wajahnya lebih terlihat seperti singa yang baru saja dipecat dari pekerjaannya. "Ayo, Obelisk! Hancurkan dia dengan tinju kemarahan overworked!"

Dengan suara gemuruh, Obelisk menghantam Necrosaurus dengan tinju raksasanya. Tubuh monster itu meledak dalam semburan daging dan darah, berserakan di mana-mana, menghujani medan pertempuran seperti hujan darah. Summoner itu mundur dengan ketakutan.

"Bagaimana mungkin...?!" teriaknya panik.

Aku berjalan mendekat dengan santai, tangan di saku. "Ya, hidup itu seperti permainan kartu. Terkadang, yang kau butuhkan hanyalah kartu yang lebih baik daripada lawanmu." Aku tersenyum tipis sebelum mengangkat tangan, jari-jariku menjentik. "Game over, bro."

Kepalanya tiba-tiba meledak setelah kalimat penutupku. Darah dan serpihan otak berceceran di udara, membuat tanah menjadi lebih merah dan menjijikkan. Aku menyeka sedikit noda darah dari pipiku dan memandang tangan kananku.

"Tongkat sihir dipakai buat nyihir, bukan buat pukul orang, dasar amatir." Aku memutar badan dan berjalan santai, sambil menatap ke arah perempuan Golden Lion yang masih bersembunyi di balik semak. "Ya, selamat, kau tidak mati... hari ini. Besok? Siapa tahu?"

Aku mendekati perempuan yang masih terengah-engah, bersembunyi di balik semak-semak setelah melihat bagaimana kepalanya summoner itu meledak seperti semangka dipukul palu. Wajahnya pucat dan penuh keringat, napasnya masih terengah-engah.

"Oi, jadi... apa sih ceritanya? Kenapa orang-orang aneh itu kejar-kejaran di gunung ini?" tanyaku santai sambil melirik tangannya yang gemetar. Aku membenarkan jaketku yang sudah belepotan darah dari pertarungan tadi. Sialnya, jaket favoritku kena, dan aku nggak punya baju ganti. "Ini beneran penting? Atau cuma skenario film murahan dengan plot twist jelek?"

Perempuan itu mendongak ke arahku, matanya menunjukkan rasa syok yang belum sepenuhnya hilang. "Aku... aku Seol Min, dari Golden Lion," katanya, suaranya masih tergetar. "Aku dan Jang Soo... kami di sini untuk menyelidiki rumor tentang ginseng berumur 1000 tahun."

Aku mengangkat alis. "Ginseng? Yang benar saja... jadi ginseng 1000 tahun itu beneran ada?" tanyaku, sedikit terkejut, meskipun lebih karena rasa penasaran. Kalau benar-benar ada, mungkin bisa dijual mahal.

"Tidak...," jawabnya sambil menggelengkan kepala. "Itu jebakan. Ginseng itu cuma rumor yang dibuat oleh Black Crescent Cult."

Aku berhenti sejenak, menatapnya dengan tatapan kosong. "Tunggu... tunggu... jadi ini bukan soal ginseng asli? Aku capek-capek naik gunung cuma buat ginseng palsu? Aduh, buang waktu dong!" Keluhan ini keluar tanpa bisa ditahan, dan aku menghela napas panjang. "Kalau tahu ini cuma omong kosong, aku mending tidur di apartemen baru aja tadi."

Seol Min menundukkan kepalanya, tampak berusaha menahan rasa takut yang masih menyelimuti pikirannya. "Kami... aku dan Jang Soo, kami sedang menyelidiki lebih lanjut, lalu kami diserang oleh orang-orang dari Black Crescent Cult. Kami tidak menyangka kalau mereka benar-benar berbahaya. Jang Soo... dia..." Suaranya mulai bergetar saat menyebut nama rekannya yang jelas sudah tak bernyawa.

Aku menggaruk kepala, malas dengan situasi yang makin melodramatis ini. "Ya, ya, aku tahu sisa ceritanya. Yang satu kena tusuk, yang satu lagi dikejar-kejar. Aku dapet gambaran." Aku menghela napas, menatap ke arah hutan yang sunyi setelah pertempuran tadi. "Ayo kita lihat jasad Jang Soo. Kurasa setidaknya kau perlu memastikan, kan?"

Seol Min mengangguk, meskipun wajahnya menunjukkan keengganan. Tanpa menunggu lebih lama, aku melangkah lebih dulu, dengan dia mengikuti di belakangku.

Perjalanan singkat itu membawa kami ke sebuah celah di antara pepohonan, di mana tubuh Jang Soo tergeletak. Atau... yang tersisa dari tubuhnya. Kepalanya tidak ada lagi di tempat yang seharusnya, dan tubuhnya terbelah menjadi dua bagian. Darah yang membasahi tanah sudah mulai mengering, tetapi baunya masih sangat kuat.

Seol Min tersentak saat melihat pemandangan itu. Dia berusaha menahan isak tangisnya, tapi aku bisa melihat dari ekspresinya betapa hancurnya dia.

"Ah...," aku berbisik pelan, melihat pemandangan mengerikan di depanku. "Dia pasti nggak bakal suka kalau tahu kondisinya kayak gini." Aku menendang kecil tanah di dekat kaki Jang Soo yang terbelah. "Yah, mau gimana lagi. Mati dengan cara ini sih... dramatis, tapi tetep nggak nyaman. Kayak... salah pilih ending."

Seol Min menutupi wajahnya dengan kedua tangan, tubuhnya gemetar. "Dia... dia sudah banyak membantu... dan sekarang..."

Aku melirik Seol Min sejenak. "Kau baik-baik aja?"

Dia tidak menjawab. Napasnya masih tersengal, dan aku bisa melihat bagaimana dia berjuang untuk menahan tangisnya. Aku tidak terbiasa menangani situasi seperti ini, apalagi dengan cara yang lembut. Aku cuma menggeleng dan menghela napas.

"Oke, oke. Dengar, ini situasi yang buruk, ya, gue ngerti... eh, maksudku, aku ngerti," ucapku dengan nada lebih serius. "Tapi kalau kau terus diam di sini, nangis-nangis kayak drama Korea, itu nggak akan mengubah apa pun. Yang penting sekarang adalah kita cari cara keluar dari situasi ini hidup-hidup, oke?"

Seol Min perlahan mengangguk, meskipun masih ada air mata yang membasahi pipinya.

"Dengar," kataku lagi. "Aku nggak mau campur tangan terlalu jauh, tapi kalau Black Crescent Cult yang bikin masalah, kita harus laporkan ini ke asosiasi, bukan?"

"Ya... ya, kita harus laporkan," gumam Seol Min.

Aku mendesah lagi, melirik tubuh Jang Soo yang tak bernyawa. "Kasihan juga. Setidaknya, kita bisa berikan penghormatan terakhir... tapi ya, kalau mau sedih terus-terusan, nanti kita yang mati juga." Aku mengangkat bahu, sambil berbalik. "Yuk, kita pergi dari sini."

Seol Min memandangku sejenak, sebelum akhirnya mengangguk pelan. Kami berdua pun mulai meninggalkan tempat itu, menuju jalan setapak yang mengarah keluar dari gunung. Meski situasinya aneh dan penuh tragedi, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak berpikir, apa sih untungnya ikut campur dalam semua ini?

1
RYN
MC tentu op, okelah sebenernya, tapi kenapa kudu di sembunyi? saran sih, alur ceritanya jadi misteri aja. Menceritakan MC mencari tahu asal kekuatan nya, op karena alasan yang jelas lebih di sukai pembaca.

dah gitu aja.
Hanya Seekor Lalat: diawala doang, itu bab 9 kedepan udah gak nyembunyiiin lagi cmiwww
total 1 replies
RYN
kayaknya udah pernah ngomong gitu? ngulang kah?
Hanya Seekor Lalat: cuma penjelasan aja
total 1 replies
RYN
gak habis pikir sih ni karakter udah 4D, tau aja dia di dalam novel/Facepalm/
アディ
ntah lah aku ngerasa kayak, terlalu ber tele tele
アディ: iya sih toh mcnya terlalu op
Hanya Seekor Lalat: maaf ya, itu buat kebutuhan cerita, kalo gebuk gebuk end, kayak kurang enak buat dibaca
total 2 replies
Roditya
komen ya Thor. kayak baca narasi. terus dia nyembunyikan kekuatannya ini nggak jelas gitu alurnya kalo cuma takut jadi bahan percobaan. ya kan dia sudah paling kuat, kenapa takut.

kecuali.

dia punya musuh tersembunyi. demi nemuin musuhnya ini dia tetep low profile gitu. atau di atas kekuatan dia masih ada lagi yang lebih kuat yang membuat dunianya berubah makannya untuk nemuin harus tetep low profile dan itu di jelasin di bab awal. jadi ada nilai jualnya.
Hanya Seekor Lalat: siap, itu cuma di awal cerita aja dari mulai bab 6 kalo gak salah udah gak ada
Fendi Kurnia Anggara: thor cuman saran, kata author nya di hilangin aja biar lebih enak baca nga
total 9 replies
Leviathan
yu bruh, 3 like mendarat untuk mu, jgn lupa mampir juga di chat story ane dan tinggalkan like
Teh Oolong
colossal titan malah jadi shaitan
Andri Suwanto
kntl kata² setiap bab pasti di sebut 10 kali author apa coba kaga jelas
Raja Semut
malas dah
Hanya Seekor Lalat: malas kenapa?
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!