NovelToon NovelToon
Battle Scars

Battle Scars

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: Irma pratama

Apa jadinya kalo seorang anak ketua Organisasi hitam jatuh cinta dengan seorang Gus?

Karena ada masalah di dalam Organisasi itu jadi ada beberapa pihak yang menentang kepemimpinan Hans ayah dari BAlqis, sehingga penyerangan pun tak terhindarkan lagi...
Balqis yang selamat diperintahkan sang ayah untuk diam dan bersembunyi di sebuah pondok pesantren punya teman baiknya.

vagaimanakah kisah selanjutnya?
Baca terus ya...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma pratama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pesantren Baru

Senyuman terukir manis di bibir tipis Balqis. Dia tengah menikmati pagi seperti dulu. Bebas dari hal-hal yang berisik. Tentram dan hening, itulah yang sekarang kini dirasakannya.

Namun, senyuman itu seketika luntur tergantikan dengan helaan nafas berat. Dia merasa rindu dengan suara Badriah, Naila, Melodi yang berisik membangunkannya. Dia rindu suara-suara mereka yang ribut saat mengantri mengambil air wudhu.

Tok!

Tok!

Lamunan Balqis yang tengah membayangkan kebersamaan di kobong seketika buyar. Dia menghampiri pintu yang sejak tadi diketuk.

Ceklek!

"Nona, makanan sudah siap!"

Balqis mengangguk. Dia keluar kamar menuju ruang makan. Terlihat makanan lezat dan berkelas terhidang di atas meja. Bukan hanya satu, dua, tiga, menu. Melainkan meja sampai penuh.

"Kenapa masak sebanyak ini, Bi? Ntar kalo nggak abis mubazir loh," tanya Balqis.

"Tuan menyuruh menghidangkan semua makanan yang disukai, Nona."

Balqis menghela nafasnya. Dulu dia akan senang melihat banyak makanan. Dulu dia yang memerintah agar semua koki memasak banyak makanan. Namun sekarang, dia merasa tidak senang.

"Besok, jangan masak makanan banyak banyak ya, Bi. Cukup satu atau dua menu aja."

Semua koki mengangguk. Mereka juga langsung pergi setelah Balqis mendudukkan dirinya di kursi. Sarapan pagi ini begitu hening, hanya dirinya yang menikmati. Karena sang ayah sudah pergi. Ruang makan begitu hening, hanya terdengar sendok dan piring yang beradu. Dia kira, semuanya akan berubah setelah dia kembali. Namun semua masih sama, dia hanya diam dalam keheningan.

Setelah selesai sarapan, Balqis memerintahkan asistennya untuk menghabiskan semua makanan. Dia tidak ingin makanan itu dibuang begitu saja. Apalagi ada beberapa menu yang tidak tercicipinya.

***

Tidak terasa, sudah satu minggu Balqis berada di rumahnya. Semua yang dia lewati sama di setiap harinya. Semua tidak ada yang berbeda. Hari-harinya lebih menyenangkan berada di pesantren ketimbang di rumahnya. Bahkan tidak ada senyuman dan tawa yang menemaninya. Karena merasa bosan harus terus diam di dalam kamar, Balqis memutuskan pergi ke mall untuk membeli sesuatu yang disukainya.

Di mall.

Balqis menatap salah satu toko yang menjual berbagai baju kesukaannya dulu. Baju itu, baju yang sering dipakainya. Baju yang selalu memenuhi isi lemarinya. Meskipun baju itu terbilang kurang bahan, tapi tetap menjadi pilihannya.

Sedikit pun Balqis tidak beranjak masuk ke toko itu, dia hanya berdiam diri di luar. Entah kenapa sekarang dia tidak menginginkan pakaiannya seperti itu. Padahal dulu dia begitu ngotot ingin kembali memakainya.

"Hah... Semua udah nggak sama lagi."

Balqis kembali melanjutkan langkahnya. Setiap toko yang sering di datanginya dulu kini dilewatinya. Dia melewati beberapa toko yang menjadi favoritnya.

Tap!

Di sinilah dia berhenti. Matanya menatap pakaian syar'i yang berjajar. Dia memilih beberapa yang menarik perhatiannya.

Dugh!

"Astaghfirullah!"

"Maaf, Mbak! Saya tidak sengaja." Balqis membantu seorang perempuan yang barusan ditubruknya.

"Balqis!"

Mata Balqis membulat. Dia terkejut melihat Halimah seorang perempuan yang ditubruknya.

"B--Bunda!?"

"Kamu di sini Sama siapa?"

"Sendiri, Bun..." jawab Balqis tersenyum.

Kemudian memberikan barang-barang Halimah yang barusan terjatuh.

"Bunda, sama siapa di sini ?"

"Bunda kesini sama Al!"

Balqis terkejut mendengarnya. Dia tidak menyangka Alditra juga ada di tempat yang sama dengannya.

"Eu... Bunda, saya pergi duluan, ya!" ucap Balqis buru-buru.

Jujur saja Balqis tidak ingin bertemu Alditra. Saat Balqis segera berbalik badan.

"Eh!"

Matanya membulat sempurna. Dia terkejut bukan main saat melihat Alditra sudah berada di belakangnya. Bukan keberadaannya yang membuat mata ingin terlepas, melainkan bisa berdirinya Alditra secara normal.

"Om Gus!?"

Balqis menatap Alditra dari atas sampai ke bawah. Penampilannya sangat rapih. Satu minggu tidak bertemu membuatnya terkejut. Kini Alditra sudah sembuh, dia kembali berjalan normal.

"Balqis!"

Balqis mendongak. karena tubuh Alditra saat berdiri ternyata sangat tinggi. Dulu Alditra yang mendongak ketika melihat Balqis karena masih duduk di kursi roda. Dan sekarang perasaan Balqis sangat nervous namun sebisa mungkin terlihat biasa saja.

"Permisi. Saya pergi dulu,"

"Tunggu!"

Langkah Balqis terhenti. Jantungnya berdebar kencang, matanya memanas.

Apalagi acara lamaran Alditra dengan Annisa terus memutar di kepalanya.

"Maaf, Gus! Saya harus pergi."

Secepat mungkin Balqis menjauh. Baju-baju yang dipilihnya barusan juga tidak jadi dibelinya. Dia tidak ingin apa-apa selain menyelamatkan diri agar tidak melihat Alditra.

Tap!

Balqis menetralkan deru nafasnya akibat berlari menjauh dari Alditra. Kemudian mendudukkan dirinya di kursi karena kelelahan. Dia benar-benar merasa konyol harus berlarian seorang diri hanya untuk menghindari seseorang.

"Ini,"

Balqis menoleh saat seseorang menyodorkan minuman padanya. Tanpa melihat orang itu, dia mengambilnya dan meminumnya sampai setengah.

"Kenapa kamu pergi? Apa saya terlihat menyeramkan dan akan menggigit?"

Degh!

Balqis mendongak secara perlahan. Matanya membulat sempurna melihat Alditra berdiri sambil memasukkan kedua tangannya ke saku.

"Mari berkenalan? Siapa tahu kita cocok."

Kata itu.... Ya... Itu adalah kata yang pernah Balqis ucapkan pada Alditra waktu pertama kali dia mengganggunya. Waktu pertama kali dia berani menarik kursi rodanya. Namun sekarang, kata itu diucapkan Alditra padanya.

"O, iya. Saya harus nyari berlian buat acara tunangan." ucap Balqis secara tiba-tiba. "Saya pergi dulu!"

"Tunggu!" Alditra menarik kerudung Balqis. "Saya akan bantu carikan. Asalkan saya meminta tukaran,"

Balqis terdiam. Perkataannya dulu benar-benar berbalik padanya.

Tukaran? Iya, itu kelakuannya. Meminta tukaran agar mendapatkan ayam goreng.

"Iisshhh!" balqis berbalik. Dia juga berkacak pinggang. "Nggak perlu. Gue bisa sendiri. Bye!" ucap Balqis kesal dan mulai berbicara normal.

Balqis kembali berlari. Dia pergi sejauh mungkin dari Alditra. Dia tidak ingin bertemu lagi dengannya. Apalagi dia akan menikah dengan Annisa.

Dan entah bagaimana caranya Alditra bisa menemukan Balqis dalam waktu cepat. Padahal Alditra tidak mengejar, namun saat Balqis berhenti dia tiba-tiba ada.

"Huh! Ternyata emang bener, Seorang Ning tetep pemenangnya buat seorang Gus."

Langkah Balqis memelan. Kemudian berhenti di tempat ice cream. Namun saat akan membayarnya, sebuah tangan lebih dulu memberikan uang.

"Eh!"

Lagi-lagi mata Balqis membulat. Entah apa yang terjadi sekarang? Dia benar-benar bingung dan panik. Karena Alditra kembali menemukannya.

"Kenapa pergi? Kenapa menghindari saya?"

Balqis menggaruk alisnya yang tidak gatal, kemudian memakan ice creamnya. Dia sedang berpikir keras mencari ide agar Alditra tidak mengikutinya lagi.

"Hmmm. Di mana Ning Annisa?"

"Di Kairo. Dia sudah berangkat ke sana untuk menyelesaikan urusannya sebelum kita menikah,"

"Oh!"jawab Balqis sebisa mungkin bersikap acuh.

Langkahnya juga kembali berjalan beriringan bersama Alditra. Entah akan pergi ke mana, karena tidak ada tujuan sama sekali.

"Om Gus, jangan ngikutin Gue iihh. Dan satu lagi lo udah punya calon istri. Gue nggak mau dipanggil pelakor, ya!"

"Siapa yang bilang seperti itu?"

"Ya pasti orang lain lah,"

"Oh!"

Balqis memutar matanya malas. Ternyata Alditra sangatlah menyebalkan bila bicara. Dia kira, bila dirinya kembali bicara akan ramah ramah. Ternyata singkat, padat dan menyebalkan.

"Bye! Gue mau pulang."

Balqis berlari kecil ke arah mobilnya. Dia membiarkan Alditra yang masih berdiri mematung beberapa meter darinya.

Ck... Gue lebih suka Om Gus yang pendiam.

***

"Eh, kenapa ini?"

Balqis berulang kali menghidupkan mobilnya. Namun sayang mobil itu tidak mau menyala sama sekali.

"Cih... Perasaan Gue nggak lupa ngisi bensin deh,"

Tok!

Tok!

Balqis menurunkan kaca mobilnya. Terlihat Alditra membungkuk sedikit agar bisa melihatnya.

"Apa Nona perlu bantuan?"

"Nggak perlu." ketusnya.

Balqis pun masih berusaha menyalakan mobilnya. Sedangkan Alditra masih setia berdiri menunggu.

"Geser. Saya bantu menyalakannya."

Balqis keluar mobil. Dia membiarkan Alditra mengecek mobilnya. Dan entah apa yang terjadi? Mobil tiba-tiba hidup kembali saat Alditra menyalakannya.

"Jangan buru-buru. Santai aja kalau mau melakukan sesuatu."

"Ck.. Nggak usah ceramah!"

Balqis kembali masuk mobil. Detik kemudian, pergi meninggalkan Alditra yang hanya terdiam. Balqis benar-benar sebal padanya, dia terlihat menyebalkan meskipun membuat rindunya sedikit menghilang.

"Shiittt, ini cukup buat gue senam jantung."

Balqis berjalan gontai masuk. Dia juga langsung menjatuhkan dirinya ke sofa. Perasaannya tidak karuan dan badan ikut gemeteran. Pertemuannya dengan Alditra bukanlah menjadi mement bagus melainkan moment menyebalkan.

"Balqis!"

"Loh... Daddy udah pulang?"

Hans mengangguk. Kemudian duduk di depan Balqis sambil mengeluarkan beberapa dokumen penting.

"Beritahu Daddy, Nak. Kamu mau melanjutkan masa depanmu ke mana?"

Balqis terdiam sejenak memikirkan masa depannya...

"Hah... Dad, Waktu di Pesantren Om Abraham sempat jenguk aku dan minta tolong sama aku... Dia juga minta aku buat gabung di sana..."

"Nak... jangan takut, Daddy pasti akan berusaha menentang mereka agar kamu tidak perlu--"

"Aku mutusin bakalan gabung disana Dad..." belum Hans melanjutlan perkataannya Balqis sudah menyela dan perkataanya itu membuat Hans terpaku.

"Nak... Kamu tidak tau Organisasi seperti apa... Itu sangat berbahaya..."

"Aku tau... Aku juga udah ngalamin bahayanya... Aku pernah punya luka gara-gara itu dan mungkin nyawa aku juga akan jadi taruhannya... Tapi Daddy tau kan aku bisa jaga diri..."

"Nak..."

"Daddy... Aku akan menjalankan itu seperti Daddy... Tidak membunuh, tidak menjual obat maupun ganja... Aku bakalan menjalankannya seperti yang Daddy jalani sekarang..."

Hans pun menghela napasnya berat. Dia sangat tidak ingin putrinya terjun ke dalam organisasi hitam miliknya.

"Kenapa kamu tiba-tiba mengambil keputusan ini?"

Sekarang giliran Balqis yang menghela napas berat dan terdiam sejenak.

"Bagaimana dengan pendidikan kamu? Daddy sangat ingin kamu melanjutkan belajar di pesantren Daddy sangat ingin kamu paham ilmu agama dan kuliah Daddy serahkan padamu..."

"Hmmm, kalau soal Kuliah aku udah tau mau melanjutkan kemana. Tapi... Soal belajar di pesantren.... Aku masih bingung!" Hans pun mengernyitkan kedua halisnya melihat kearah Balqis yang menundukkan kepalanya.

Hans bingung apa yang diragukan oleh putrinya? Setahunya dia merasa betah berada di Pesantren Arsalan.

"Bingung? Bingung kenapa? Kamu tinggal kembali ke pesantren Arsalan,"

Balqis menghela nafasnya saat mendengar perkataan itu. Dia sendiri tidak siap dan tidak ingin kembali ke sana.

"Dad, kita cari pesantren yang lain aja. Gimana?"

Hans yang sejak tadi menatap dokumen mendongak. Alisnya mengeryit mendengar keinginan Balqis.

"Kenapa? Bukankah pesantren Arsalan membuat kamu betah?"

"Betah sih. Tapi aku pengen suasana baru aja, Dad. Aku pengen pesantren yang lebih deket aja sama rumah,"

"Apa kamu serius dengan perkataanmu itu, Nak?"

Balqis terdiam. Kemudian menggelengkan kepalanya pelan.

"Hah... Sebenarnya alesan sebenernya, aku nggak sanggup ngeliat dia sama perempuan lain, Dad," ucap Balqis berkaca-kaca menatap kearah Hans.

Hans yang mengerti pun hanya tersenyum mendengar kejujuran Balqis. Dia tahu gadis semata wayangnya tengah jatuh cinta. Dia pun berpindah tempat dan duduk di dekatnya.

"Putri Daddy udah besar... Udah tau yang namanya jatuh cinta... Jadi... Siapa dia? Apa dia sekeren Daddy?"

"Ya... Dia baik kayak Daddy. Tapi dia udah ngelamar cewek lain. Aku nggak sanggup ngeliat itu Dad, aku nggak sanggup liat dia berdampingan sama orang lain,"

"Apa kamu benar-benar mencintainya?"

Balqis mengangguk ragu. "Aku mau belajar di pesantren lain aja ya, Dad?!"

Hans masih tetap tersenyum. Matanya menatap mata sayu Balqis yang berbinar. Tangannya juga terulur membenarkan kerudungnya.

"Bila hatimu tidak sanggup melihatnya bersama perempuan lain, maka Daddy akan menjauhkanmu darinya. Daddy tidak mau hati putri Daddy terluka,"

"Makasih, Dad!"

Balqis memeluk Hans erat. Pelukan hangat itu adalah hal yang selalu dirindukannya. Apalagi sangat jarang di antara mereka bisa mengobrol berdua seperti sekarang.

"Maaf, Daddy tidak selalu ada buatmu, Nak..."

Balqis segera melepaskan pelukannya. Dia menatap wajah sang Ayah sambil menghapus air matanya. "Daddy, nggak usah minta maaf. Daddy nggak salah dan Daddy selalu menjadi laki-laki terhebat buat aku."

Hans tersenyum. "Kamu putri Daddy yang sholehah, yang baik hatinya, kamu kesayangan Daddy satu-satunya."

Balqis mengangguk.

"Trus gimana soal ibu baru? Aku mau Daddy punya waktu istirahat di rumah, tidak fokus bekerja. Daddy masih muda, masih berhak menikmati manisnya cinta,"

"Hmm, itu? Daddy tidak dekat dengan perempuan,"

"Dad, aku kan udah bilang kalo ada temen aku Badriah yang pasti sangat cocok buat Daddy,"

"Dia teman kamu. Berarti dia masih anak-anak kayak kamu,' "

"No Dad... Dia sudah 25 tahun. Pas kan buat Daddy?!"

Hans hanya mengangguk. "Oh.. Baiklah Queen... Sekarang kita cari pesantren baru buat kamu..."

Balqis memutar matanya malas. Ayahnya menyebalkan sekali, bila bicara tentang perempuan ujung-ujungnya dia akan membahas yang lain.

"Dad, aku tau di hati Daddy Mommy masih jadi nomor 1 dan pasti nggak akan tergantikan? Tapi Daddy juga harus cari kebahagiaan Daddy sendiri,"

Hans hanya tersenyum penuh arti kearah Balqis sambil mengusap jepala Balqis.

***

"Selamat Qis... Akhirnya kamu memutuskan untuk bergabung juga!" ucap Abraham hendak memeluk Balqis.

"Stop Ham... Kamu kan yang mencuci otak Balqis saat kamu ke pesantren meminta bantuannya?!" ucap Hans yang menahan tubuh Abraham saat akan memeluk putrinya.

"Wow... Darimana kamu tau Hans?!" melihat kearah Balqis memincing.

Sementara Balqis hanya mengedikkan bahunya cuek.

"Kenapa? Kamu pikir anak buahku tidak melaporkan aktivitasmu selama ini?"

"Hahaha... Aku hanya minta tolong pada putrimu saja Hans, Anak buah kita tidak ada yang becus masalah IT, hanya putrimu lah yang berbakat du bidang itu... Kemarilah Hans, ada yag ingin aku diskusikan denganmu." ucap Abraham merangkul Hans lalu mengerlingkan matanya kearah Balqis.

Mereka pun pergi dari hadapan Balqis.

"Hey... babe... Aku benar-benar tidak percaya kamu mau bergabung dengan organisasi ini.. Aku pikir Om Hans akan melarangmu." ucap salah seorang pria yang dari tadi memeprhatikan Balqis saat acara berlangsung.

"Kenapa lo takut kalah saing sama gue? Lo takut berhadapan sama gue, Yislam?"

Ya... Pria itu adalah Yislam, pria yang sangat menginginkan Balqis menjadi pasangannya, pria yang ingin menggulingkan Hans dan mengingunkan jabatan Hans jatuh padanya, sekaligus dia juga yang menyuruh anak buahnya untuk menyerang Hans dan Balqis.

"No... Justru itu sangat untung buatku.. Karena kalau kita menikah nanti kekuatan kita akan bertambah dan kita akan sangat kuat.."

"Hah.. Teruslah mimpi, Bro! gue nggak akan mau nikah sama lo!"

"Kalau kamu tidak bisa menikah denganku, kamu juga tidak bisa menikah dengan lelaki manapun.." ucap Yislam tersenyum kecut kearah Balqis sekaligus mengancamnya.

"Cih... Pede banget lo! Gue itu bukan milik lo dan nggak akan penah... Mendingan gue mati daripada nikah sama lo!" ucaonya ketus lalu meninggalkan Yislam yang masih terdiam melihat kepergian Balqis sambil tersenyum.

*****

Sore ini, Balqis sudah siap dengan kopernya. Dia akan pergi ke pesantren baru pilihan ayahnya. Tempatnya tidak terlalu jauh seperti kemarin. Setelah semua siap, mereka pun berangkat.

Di sepanjang jalan Balqis menatap keluar jendela mobil. Entah apa yang dipikirkannya sampai begitu fokus.

"Sebentar lagi kita sampai."

Balqis membenarkan posisi duduknya. Matanya berbinar saat mobil masuk ke halaman pesantren. "Dad, pesantrennya beda banget sama pesantren punya nya aby Arsalan, Ya!?"

"Pesantren ini memang berada di kawasan kota, Sayang. Pasti berbeda dengan punya Arsalan yang berada di kampung. Tema nya menyejukkan, tempat sekitarnya memanjakan mata,"

Balqis mengangguk. Dia akui lingkungan pesantren Arsalan sangat menyejukkan. Apalagi pepohonan rindang membuat tidak terlalu panas.

"Bagaimana kamu akan membagi jadwal antara belajar di pesantren kuliah dan Organisasi?"

"Hah... Aku udah minta ijin sama Om Abraham pas aku lagi belajar aku ijin nggak dateng ke markas, tapi kalau mereka membutuhkan keahlian dan bantuan, aku pasti bakalan langsung berangkat ke markas. Dan untuk kuliah... Aku udah ngatur itu Dad.. Daddy nggak usah khawatir!"

Hans terdiam berfikir sambil menganggukan kepalanya.

***

Setelah mobil berhenti. Balqis segera keluar bersama Hans. Mereka juga disambut hangat keluarga pesantren.

Namun bukan itu yang membuat Balqis terkejut, melainkan para santrinya yang berlalu lalang. Mereka terlihat rapih dengan baju seragam, kerudung lebar dan niqob.

"Sayang, ayo?"

Balqis ikut masuk ke dalam. Baru saja dia mendudukkan dirinya di sofa matanya langsung membulat sempurna saat melihat photo yang dipajang.

Hah... W--Wait, bukannya itu photonya Ning Annisa?

Balqis kembali melihat ke sekeliling. Lagi-lagi matanya membulat sempurna saat melihat photo tunangan yang di mana Halimah tengah memakaikan cincin.

Oohh Shhiitt, Gue malah masuk pesantren calon istrinya Om Gus!

Sejak duduk di sofa, Balqis dibuat gelisah. Dia ingin membatalkan mondoknya. Bila dia tahu dirinya mondok di sana dia lebih baik mondok di pesantren Arsalan. Melihat Alditra tiap hari lebih baik ketimbang melihat calon istrinya.

Setelah Hans selesai menitipkan Balqis dan beberapa hal lain. Dia pun pamit pulang, sebelum pergi dia mencium kening Balqis terlebih dahulu.

"Dad, kalo aku nggak betah di sini Daddy tolong jemput aku, ya?"

"Iya, Sayang. Satu minggu ini Balqis coba di sini dulu, ya. Bila tidak betah nanti Daddy carikan pesantren yang lain,"

"Nggak usah cari yang lain. Aku mending balik lagi ke pesantren aby Arsalan,"

Kening Hans mengerut. Dia merasa keheranan karena Balqis memilih kembali bila tidak betah. Apa terjadi sesuatu yang tidak diketahuinya?

"Daddy!"

"Baik-baik di sini ya, sayang!"

Setelah Hans memeluk Balqis. Dia pun masuk ke mobil meninggalkannya dengan raut wajah berbeda.

"Hah... Dia pasti baik-baik saja."

Balqis masih berdiri mematung menatap mobil ayahnya yang menjauh. Rasanya ingin ikut pulang dan memilih kembali ke pesantren Arsalan bila dia tahu pesantren ini punya keluarga Annisa.

"Balqis, mari ana antar ke kobong?"

Balqis mengangguk. Dia mengikuti seorang perempuan yang menuntunnya. Dia akui pesantren ini terbilang modern dari segi bangunan. Sesampainya di kobong yang berlantai tiga. Balqis memperhatikan sekitaran yang terbilang bersih dan rapih. Bahkan semuanya memakai keramik.

"Ayo, kamar kamu ada di lantai dua."

Balqis hanya mengangguk. Dia sendiri dari tadi tidak melihat satu santri berada di kobong. Entah pergi ke mana mereka.

Ceklek!

"Assalamu'alaikum?"

"Wa'alaikumussalam "

Balqis masuk ke dalam. Dia merasa canggung karena para santri menatapnya. Ada sekitar 11 orang santri yang kini satu kamar dengannya.

Setelah perkenalan selesai. Balqis membereskan barang-barangnya ke dalam lemari. Dan anehnya satu pun dari mereka tidak ada yang bicara padanya. Mereka sibuk sendiri.

Ini tempat baru lo, Balqis. Lo belum terbiasa sama mereka. batinnya menyemangati diri.

1
sukronbersyar'i
mantap seru, gan , jgn lupa mampir juga ya
Tara
wah...dasar preman Yach😅😂
Tara
hope happy ending
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!