Tristan dan Amira yang berstatus sebagai Guru dan Murid ibarat simbiosis mutualisme, saling menguntungkan. Tristan butuh kenikmatan, Amira butuh uang.
Skandal panas keduanya telah berlangsung lama.
Di Sekolah dia menjadi muridnya, malam harinya menjadi teman dikala nafsu sedang meninggi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @Alyazahras, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Amarah Tristan
Tristan sampai hati berkata ingin mematahkan kakinya. Apa dia tidak sadar dengan berkata begitu membuat kesan baiknya hilang di mata Amira. Kini timbul kesan baru dengan sikap kasar. Sungguh, Amira tidak pernah berpikir jika Tristan berani mengancamnya dengan serius.
Amira menatap dalam bola mata amber Tristan yang menyala terang, seperti terbakar api. Di depannya ini bukanlah Tristan suaminya yang lembut dan kharismatik, tapi seorang monster dengan tanduk di kepala.
Air mata pun tak bisa lagi dibendung, pecah tak tertahan.
Amira tahu dia menutupi hubungannya dengan Reyhan, tapi itu hanyalah masa lalu. Dia sadar dia salah makanya setakut ini. Amira tak mau Tristan bersikap kasar. Itu membuat perasaannya semakin terluka.
Amira memeluk Tristan sambil menangis tersedu-sedu dengan suara merintih, seperti orang yang benar-benar sedih sampai terdengar menyayat hati.
"Hiks, hiks ... Tan, sebelumnya kamu tidak pernah peduli aku berhubungan dengan siapa pun. Tapi, kenapa sekarang kamu peduli? Aku dan Pak Reyhan hanya sebatas Murid dan Guru, tidak lebih. Siang tadi aku lihat kamu ke luar dari ruangannya, lalu aku masuk karena Pak Reyhan memanggilku sebelumnya untuk menyerahkan absensi. Hanya itu. Apa kamu sudah bertanya padanya sebelum marah-marah padaku?" tanya Amira sambil membenamkan wajahnya di dada bidang Tristan.
Melihatnya menangis dengan tubuh gemetar dan juga setelah mendengar penjelasan Amira, Tristan pun tersadar dengan apa yang baru saja dia perbuat. Kesalahan fatal baginya telah membuat istri kecilnya ketakutan.
Tristan berusaha mengontrol emosi dan menetralisir suasana hati. Perkataan terakhir Amira cukup membuatnya malu dan sadar diri. Dia memang belum bertanya pada Reyhan dan malah langsung melampiaskan kecemburuannya begitu saja.
Tristan malu saat hendak membalas pelukan Amira. Namun, dia segera membuang gengsinya jauh-jauh dan pelukan pun mendarat di tubuh Amira.
"Maaf ... saya hilang kendali. Saya tidak bermaksud menakutimu. Apa ini sakit?" tanya Tristan merasa bersalah sambil mengusap pipi Amira dengan hati-hati.
Amira menggelengkan kepala karena perasaannyalah yang terluka. Sakit pipinya tidak terlalu berasa.
"Aku tahu kamu sedang cemburu, tapi tidak boleh kasar seperti ini dong, hiks ...," ungkap Amira.
Tristan tidak membenarkan dan tidak membantahnya pula. Dia hanya mengulum senyum saja sambil mengusap air mata yang terus bercucuran di pipi Amira.
"Saya tidak mengizinkanmu tersenyum pada pria mana pun sebagaimana kamu tersenyum pada saya. Jika kamu sudah merasa bosan dengan saya, katakan. Jangan malah melampiaskan rasa bosanmu pada pria lain. Apa kamu mengerti?" ucap Tristan memperingati dengan nada bicara yang enak di dengar.
Amira menganggukan kepalanya sambil tertunduk dan kembali menenggelamkan diri dalam pelukan Tristan yang hangat.
Tristan tahu telah menikahi seorang remaja yang identik dengan sikap labilnya. Perubahan suasana hatinya tidak menentu, cepat berganti-ganti. Maka dari itu Tristan hanya perlu memperluas rasa sabarnya dan harus menjadi lebih dewasa dalam mengambil sikap.
Namun, sikapnya malam ini artinya apa? Tristan pun tidak tahu. Dia bingung. Apakah labil yang tertunda?
Amira mengambil tisu dan mengusap air matanya. Lalu, dia balik menghadap Tristan dengan tatapan sinis.
"Sekarang aku yang tanya, ada hubungan apa antara kamu dengan Bu Siska?"
Ternyata Amira balik menyerang.
Tristan yang semula terkejut dengan pertanyaan yang terlontar dari mulut Amira, kini merekahkan senyumnya.
"Saya dengan Siska?"
Amira mengangguk. "Jangan katakan hanya hubungan sesama Guru! Aku lihat lho, foto kalian di Grup Komunitas Sekolah."
Senyum Tristan semakin lebar. Dia menyusun tumpukan bantal, lalu meletakan pada posisi yang seharusnya dan bersandar di sana.
"Kemarin ada yang harus saya diskusikan dengan Siska mengenai performanya saat mengajar di kelas. Dia tidak bisa ke mana-mana, jadi saya terpaksa datang ke apartemennya. Entah siapa yang mengambil foto itu dan mempostingnya di Grup Komunitas. Yang jelas apa yang terjadi tidak seperti yang dipikirkan orang-orang. Kamu jangan terpengaruh juga oleh kolom komentar. Saya ada di sini dan sudah menjelaskannya," ujar Tristan sambil membentangkan tangannya, minta dipeyuk.
Amira menggelengkan kepalanya, tanda penolakan. Dia melipat kedua tangannya di atas perut karena masalahnya belum selesai sampai di situ. Masih ada sesuatu yang mengganjal di benaknya.
"Siang tadi kalian berduaan kan di ruanganmu. Apa yang kalian lakukan?" tanya Amira menyudutkan.
"Siang tadi? Jam berapa?" gumam Tristan sambil berpikir.
"Selesai acara pantun. Kalian berduaan di ruangan Biologi, kan? Bu Siska sampai belai-belai dadamu begini, kamu diam saja. Suka ya dibelai begitu? Menikmati, hm?" gerutunya sebal sambil monyong-monyong itu bibir.
Tristan terkekeh geli melihat mulut Amira komat-kamit. "Kamu ngintip?"
"Eh, emm ... ngi-ngintip? Tidak tuh," jawab Amira gelagapan. Alamak, dia keceplosan.
"Hayoo, ngintip ya? Pasti ngintip! Ngintip, kan?"
"Mana ada aku ngintip? Jangan ke-GR-an ya."
"Terus tahu dari mana Siska belai-belai dada saya?"
"Oh ... itu ... a-ada yang bilang, aku tidak sengaja dengar saja."
"Bohong, pasti ngintip ini ... hayo ngaku, hahahaaa. Jadi, selama ini Amirah suka ngintip ke ruangan saya? Oh, begitu ...."
"Ih, bukan, bukan! Aku bilang aku tidak sengaja dengar dari orang!"
"Ooo ... iya deh iya, percaya."
"Taaan, aku bilang aku gak ngintip!"
"Iya, Amirah, saya percaya."
"Bohong, ah!"
"Ya sudah, saya gak percaya kalau gitu."
"Tuh, kan!"
"Apalagi? Mau kamu apa, Amirah? Saya percaya, kamu protes. Saya gak percaya diprotes juga."
"Jangan gitu ekspresi sama nada bicaranya!"
"Kalau kamu menari di atas tubuh saya, ekspresi sama nada suara saya tentu bisa berubah. Kemarilah," goda Tristan sambil mengangkat tubuh Amira dan mendudukkannya di atas pahanya.
Tristan rengkuh leher Amirah, memiringkan kepalanya dan dia lumat bibir merah jambunya sambil terpejam nikmat.
Mata Amira sayup-sayup minta lebih dari sekedar ciuman panas.
"Ngomong-ngomong mengenai postingan di Grup Komunitas, saya juga lihat foto kamu dengan Julian," ucap Tristan di tengah nuansa sensual.
Suasana romantika pun pecah.
Apa-apaan Tristan? Tidak lihat Amira sudah terangsang karenanya dan dia tiba-tiba saja menghentikan aktivitasnya. Tidak sopan!
Susah payah kabur dari suasana tegang dan mencekam, malah diseret kembali. Amira tak mau masalah fotonya dengan Julian membangkitkan sisi monster Tristan lagi.
"Nanti aku jelaskan setelah kita selesai," bisik Amira sambil melepas ikat pinggang Tristan dan membuka kancing celananya.
Tangannya merogoh sesuatu yang besar dan sudah mengeras di dalam celana Tristan.
Tristan mengerang kecil sambil mengigit bibir bawahnya. Napasnya mulai tersengal-sengal tak beraturan.
Amira pintar mengecoh pikiran dan suasana hatinya. Hingga Tristan pun tak lagi ingin membahas foto itu, melainkan meminta lebih dari sekedar cengkeraman. Tidak ingin dilakukan secara manual maksudnya.
°°°
tp amira tnpa sepengetahuan ibunya dia lnjutin sekolh,,
iya kah thor