Perkumpulan lima sahabat yang awalnya mereka hanya seorang mahasiswa biasa dari kelas karyawan yang pada akhirnya terlibat dalam aksi bawah tanah, membentuk jaringan mahasiswa yang revolusioner, hingga aksi besar-besaran, dengan tujuan meruntuhkan rezim curang tersebut. Yang membuat mereka berlima menghadapi beragam kejadian berbahaya yang disebabkan oleh teror rezim curang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zoreyum, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tekanan dari Pihak Kampus
Setelah ancaman dari Bayu semakin terasa, gerakan Haki dan teman-temannya menghadapi tekanan baru, kali ini datang dari tempat yang sebelumnya menjadi benteng terakhir mereka: kampus. Selama ini, pihak kampus bersikap netral, seolah tidak ingin terlibat langsung dalam perseteruan antara mahasiswa dan pemerintah. Namun, sikap itu mulai berubah setelah Bayu dan jaringannya memperluas pengaruhnya, bahkan ke lingkungan akademik.
Kampus yang Terjebak di Tengah
Pada awalnya, para petinggi kampus bersikap seolah tidak mau ikut campur. Mereka memahami bahwa mahasiswa memiliki hak untuk berekspresi dan memperjuangkan keadilan. Beberapa dosen bahkan secara pribadi mendukung gerakan Haki dan kawan-kawan, meskipun mereka tidak menyatakannya secara terang-terangan. Bagi mereka, pemerintah jelas telah melampaui batas dalam menggunakan undang-undang darurat untuk menekan kebebasan sipil.
Namun, tekanan dari pihak luar mulai datang, terutama setelah pemerintah, melalui jaringan Bayu, mendekati pimpinan kampus secara langsung. Ancaman terselubung mulai berdatangan, memberi tahu bahwa jika kampus tidak mengambil sikap tegas terhadap Haki dan kelompoknya, mereka mungkin akan kehilangan pendanaan dari pemerintah, atau lebih buruk lagi, mendapat tekanan lebih dari pihak berwenang.
Suatu pagi, Rektor kampus mengadakan pertemuan darurat dengan beberapa dosen dan petinggi fakultas. Suasana pertemuan itu terasa tegang. Meskipun tidak ada yang mengatakan secara eksplisit, semua tahu bahwa ada tekanan besar yang datang dari luar.
“Kita nggak bisa terus bersikap netral seperti ini,” kata Rektor dengan nada berat, sambil melihat wajah-wajah tegang di hadapannya. “Kita semua tahu situasi ini semakin rumit. Pemerintah sudah memberi peringatan langsung kepada kita, dan kalau kita nggak bertindak, kampus ini mungkin bakal terlibat masalah yang lebih besar.”
Salah satu dosen, Profesor Gunawan, yang dikenal sebagai pendukung kebebasan berpendapat, angkat bicara. “Tapi Pak, kita juga tahu bahwa apa yang dilakukan pemerintah ini salah. Mereka menekan mahasiswa hanya karena mereka berani berbicara tentang keadilan. Kita nggak bisa begitu saja menyerah pada tekanan.”
Rektor menghela napas panjang. “Saya setuju dengan Anda, Pak Gunawan. Saya juga merasa apa yang dilakukan pemerintah salah. Tapi posisi kita di sini sulit. Jika kita tidak menghentikan gerakan mahasiswa ini, kampus kita bisa kehilangan banyak hal. Dan kalau pemerintah memutuskan untuk bertindak lebih keras, kita mungkin tidak bisa melindungi siapa pun.”
Setelah beberapa saat terdiam, Rektor melanjutkan dengan lebih tegas. “Kita harus bicara dengan Haki dan teman-temannya. Kita harus minta mereka menyerah.”
Kata-kata itu menciptakan keheningan di ruangan. Para dosen tahu bahwa ini bukan tentang siapa yang benar dan siapa yang salah lagi. Ini adalah tentang mempertahankan kestabilan kampus mereka di tengah tekanan yang datang dari luar.
Pertemuan dengan Haki dan Teman-Temannya
Beberapa hari setelah pertemuan itu, pihak kampus memutuskan untuk memanggil Haki dan kelompoknya untuk berdiskusi. Mereka tidak ingin terlihat seperti memaksa, tetapi nada pembicaraan mereka jelas menunjukkan bahwa ini adalah ultimatum yang tidak bisa diabaikan.
Di ruang pertemuan kampus yang sederhana namun formal, Haki, Luvi, Dito, Yudi, dan Mayuji duduk berhadapan dengan Rektor dan beberapa dekan fakultas. Suasana terasa canggung, seolah ada sesuatu yang besar akan dibahas.
Rektor memulai pembicaraan dengan nada yang lembut, namun tegas. “Kami memanggil kalian di sini bukan untuk menghakimi. Kami sangat memahami apa yang kalian perjuangkan, dan secara pribadi, banyak dari kami setuju dengan tujuan kalian. Kami tahu bahwa apa yang dilakukan pemerintah itu salah.”
Haki dan teman-temannya mendengarkan dengan hati-hati. Mereka bisa merasakan ada sesuatu yang lebih besar yang akan disampaikan.
“Tapi,” lanjut Rektor dengan nada lebih berat, “situasi semakin sulit untuk kami. Kampus ini mendapat tekanan besar dari berbagai pihak, dan kami tidak bisa lagi berpura-pura bahwa kami tidak terlibat. Pemerintah secara tidak langsung sudah memberi kami peringatan bahwa jika gerakan kalian terus berjalan, konsekuensinya akan sangat serius. Mereka bisa mengurangi pendanaan, atau bahkan lebih buruk lagi, kita semua bisa berada dalam masalah besar.”
Yudi, yang biasanya lebih tenang, tidak bisa menahan diri. “Jadi, maksudnya kami harus berhenti? Kami harus menyerah, hanya karena pemerintah mengancam?”
Rektor mengangguk perlahan. “Saya tidak bisa mengatakan dengan pasti apa yang akan terjadi, tapi yang saya tahu adalah bahwa situasinya sudah di luar kendali. Kami ingin melindungi kalian, tapi kami juga harus melindungi kampus dan semua mahasiswa lainnya.”
Suasana semakin berat. Haki menatap teman-temannya, mencoba mencari dukungan dari mata mereka. Dia tahu bahwa mereka tidak bisa begitu saja menyerah, tetapi pada saat yang sama, dia juga paham bahwa kampus berada di posisi yang sulit.
“Kami nggak bisa menyerah begitu saja, Pak,” kata Haki akhirnya, dengan suara yang tenang tapi penuh tekad. “Ini bukan cuma soal kami, tapi soal keadilan. Kalau kami mundur sekarang, itu artinya kami biarin pemerintah terus menekan orang-orang yang mencoba berbicara.”
Rektor tampak gelisah mendengar kata-kata Haki. “Saya paham, Haki. Tapi kalian harus mengerti, kami tidak bisa melindungi kalian lagi jika pemerintah memutuskan untuk bertindak lebih keras.”
Mayuji, yang biasanya lebih hati-hati, memutuskan untuk angkat bicara. “Kami mengerti situasi ini sulit untuk kampus, tapi kami juga berharap kampus bisa tetap mendukung kami, bahkan jika itu harus dilakukan dengan cara yang lebih diam-diam. Kami nggak minta banyak, kami hanya butuh ruang untuk bergerak.”
Dekan Fakultas Ekonomi, yang duduk di sebelah Rektor, akhirnya berbicara. “Kita semua di sini tahu bahwa apa yang kalian lakukan benar. Tapi kenyataannya, kita berhadapan dengan kekuatan yang jauh lebih besar. Kalian harus mempertimbangkan untuk mundur sementara, sampai situasinya lebih aman.”
Setelah pertemuan itu berakhir, Haki dan kelompoknya keluar dengan perasaan campur aduk. Mereka memahami posisi kampus, tapi mereka tidak bisa menerima untuk menyerah begitu saja. Tekanan dari Bayu dan pemerintah sudah semakin kuat, dan kini bahkan kampus yang selama ini menjadi benteng mereka mulai retak.
Tekanan yang Makin Mencekik
Malam itu, mereka berkumpul di apartemen untuk mendiskusikan langkah berikutnya. Suasana di antara mereka lebih serius dari biasanya. Tekanan dari pihak kampus semakin menambah beban yang sudah mereka rasakan dari pemerintah dan Bayu.
“Kalau kampus aja mulai goyah, gue nggak tau berapa lama lagi kita bisa bertahan,” kata Yudi sambil bersandar di kursi, matanya terlihat lelah.
Dito mengangguk. “Gue juga mikir gitu. Tapi kalau kita menyerah sekarang, semua yang udah kita lakukan bakal sia-sia.”
Luvi, yang biasanya menjadi suara optimis di antara mereka, tampak sedikit gelisah. “Gue ngerti posisi kampus. Mereka nggak salah, tapi ini juga bukan soal mereka. Ini soal kita dan apa yang kita perjuangin.”
Mayuji, yang selama ini menjadi pemikir paling rasional, akhirnya berbicara. “Kita mungkin harus ubah cara kita. Gue rasa mereka bakal terus coba tekan kita dari semua sisi. Kalau kita mau bertahan, kita harus lebih cerdik. Kita nggak bisa terus bergerak kayak biasanya.”
Haki mendengarkan teman-temannya dengan seksama. Ia tahu bahwa keputusan apa pun yang mereka ambil sekarang akan menentukan nasib pergerakan mereka ke depannya. Meski tekanan datang dari semua arah, ia masih merasakan api perlawanan di dalam dirinya.
“Kita nggak bisa mundur,” kata Haki dengan tegas. “Mereka bisa tekan kita dari mana aja, tapi kita harus tetap maju. Kita harus lawan, tapi mungkin kita harus ubah cara kita bertarung.”
Mereka semua sepakat bahwa mereka tidak akan menyerah. Meskipun kampus mulai goyah dan tekanan dari pemerintah semakin keras, mereka tahu bahwa ini adalah bagian dari pertempuran panjang yang harus mereka hadapi.