Karya ini berisi kumpulan cerpenku yang bertema dewasa, tapi bukan tentang konten sensitif. Hanya temanya yang dewasa. Kata 'Happy' pada judul bisa berarti beragam dalam pengartian. Bisa satir, ironis mau pun benar-benar happy ending. Yah, aku hanya berharap kalian akan menikmatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riska Darmelia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenapa Mencintai Gadis Jelek part 2 End.
Aku membuka album fotoku saat SMP, lalu menatap selembar foto Revan yang sedang tersenyum sambil merangkul pundakku. Foto itu adalah harta karun dari hubunganku dengan Revan. Foto itu diambil dan dicetak pada hari kami jadian. Revan memaksaku karena ingin mengenang momen itu. Ia meminta sepupunya untuk memotret kami berdua di bawah pohon dadok di depan sekolah.
Tubuhku rasanya meleleh mengingat momen itu. Aku di foto itu tersenyum malu-malu ke arah kamera dan terlihat manis dengan wajah polos tanpa make up. Aku di foto itu sedang berbahagia dan tidak pernah menyangka akan putus dengan laki-laki pertama yang merangkul bahuku. Revan adalah satu-satunya laki-laki yang memintaku menjadi pacarnya sebelum aku memutuskan untuk menjauhi laki-laki. Dia yang membuatku kecewa dengan kaumnya.
“Nania!”panggil Mama.
Aku menutup album itu lalu mengembalikannya ke tempat semula. “Iya, Ma!”sahutku.
“Ayo makan bareng!”ajaknya.
Aku keluar dari kamar untuk menemui Mama yang berada di meja makan.
Di meja makan hanya ada aku dan Mama. Sama seperti aku, Mama juga tidak berhasil dalam hubungannya dengan laki-laki. Mama membenci laki-laki setelah ia bercerai dengan Papaku yang pemalas, pengangguran dan tukang selingkuh. Kata Mama, ia menikah untuk bahagia pada awalnya dan tidak pernah berpikir kalau tanpa uang dia akan menderita. Lalu Papaku berselingkuh, membuat Mama yang berpikir kalau hidup tanpa orang yang menafkahinya adalah hal yang buruk, semakin yakin untuk menceraikan Papa. Sejak saat itu, hidup Mama benar-benar tanpa laki-laki karena kata Mama ia tidak ingin menderita karena terlalu cinta lagi.
“Ada apa?”tanya Mama, membuyarkan lamunanku.
Aku menggeleng. “Cuma melamun.” Pandanganku tertumbuk pada seekor ayam bakar di meja dan dua piring spageti yang terhidang di meja. “Ada acara apaan, Ma? Makanan sebanyak ini siapa yang mau habisin?”
“Kita berdua. Pasti habis, kok,”katanya riang. “Kamu pasti lupa kalo hari ini kamu ulang tahun.”
Aku menepuk dahiku lalu tertawa. “Iya, aku lupa, Ma,”kataku jujur. “Thanks karena udah inget.”
Mama menjawabnya dengan seulas senyum. Tiba-tiba aku teringat Revan lalu rasa itu datang. Rasa yang membuat hatiku mekar dan merindukan keberadaan Revan saat ini. Aku merasa aneh karena rasa yang tiba-tiba datang itu. Rasa yang membuatku merasa lebih butuh kehadirannya dari pada kado ulang tahun seperti apa pun.
∞
“Hari ini aku ulang tahun,”kataku pada Ocha di telepon.
“Iya, tau. Aku udah kirim hadiah ke rumah kamu tadi siang. Udah kamu terima?”
“Udah. Makasih, ya. Bajunya cantik.”
“Terus kenapa masih bilang ke aku kalo kamu ulang tahun hari ini?”tanya Ocha.
“Aku nggak punya temen buat ngerayain. Kamu satu-satunya teman yang aku punya, tapi kamu malah sibuk kerja sambilan,”keluhku.
“Maaf,”kata Ocha. “Hari minggu pekan ini aku libur kerja. Kita rayain waktu itu aja, ya,”kata Ocha.
Untunglah Ocha lebih mementingkanku dibanding waktu istirahatnya. “Oke!”jawabku riang.
“Udah dulu, ya. Aku mau nawarin baju lagi ke orang-orang lewat.”
“Iya,” kataku sebelum mengakhiri panggilan.
Aku menatap HP-ku dengan pikiran kosong. Tiba-tiba aku teringat dengan masa lalu pertemananku dengan Ocha. Juga masa lalu saat aku pacaran dengan Revan. Saat itu kami baru saja berpacaran dan kami pergi kencan dengan seragam SMP. Aku yang saat itu sangat bergembira, tidak pernah berpikir kalau besoknya kami akan putus.
Aku mendesah. Sejujurnya aku merindukan momen singkat itu. Aku yang saat itu memutuskan Revan terasa sangat munafik bagi aku yang sekarang karena membohongi perasaan sekarang sehingga membuat perasaanku sendiri menderita.
Aku memang bodoh. Aku merasakan obsesi untuk memiliki Revan lagi di dalam diriku. Aku memikirkan sebuah rencana. Sepertinya aku bisa minta bantuan pada teman baruku.
∞
Aku menatap kepergian Kinar. Aku baru saja meminta bantuan untuk membawa Revan ke depan toilet perempuan yang ada di dekat kantin. Aku berniat meminta Revan kembali jadi pacarku. Hal yang rasanya sedikit memalukan mengingat daya tarik fisikku yang minim dan statusku sebagai perempuan baik-baik. Tapi aku terlalu putus asa dan mendamba untuk bisa berpikir ulang. Ya, aku putus asa karena mendambakan Revan dalam hidupku.
Tiba-tiba aku merasa perlu bercermin. Aku berjalan ke dalam toilet perempuan lalu bercermin di cermin besar di sana. Yang kulihat aku tidak terlau jelek seperti saat SMP dulu. Badanku berukuran lebih langsing dan wajahku yang bersih dari jerawat terlihat manis saat tersenyum. Setelah pas dengan apa yang kulihat, aku keluar dari toilet.
Saat aku keluar dari toilet, aku terpaku melihat Revan yang berjalan mendekat. Aku tiba-tiba merasa gugup. Aku berusaha menepis rasa gugup itu dengan meyakinkan diriku kalau memang inilah yang aku inginkan. Aku memperbaiki seragamku walau sudah rapi, lalu mencoba tersenyum pada Revan yang berhenti tepat di depanku dengak jarak yang sopan.
“Hai!”sapaku berusaha terdengar riang.
“Hai,”balas Revan dengan nada datar.
“Mau duduk?”tanyaku.
“Aku nggak ngeliat satu bangku pun di sini,”kata Revan, lagi-lagi dengan nada datar membuatku semakin gugup.
“Ki-kita bisa duduk di teras bagian sana,”kataku sambil menunjuk teras di depan perpustakaan.
Revan menatapku dengan tatapan menilai, membuatku semakin gugup.
“Kamu nggak mau duduk?”tanyaku tanpa berani menatapnya.
“Boleh. Ayo,”katanya sebelum berjalan ke tempat yang tadi aku tawarkan. Aku melihat Revan membersihkan lantai teras dengan tangannya sebelum duduk lalu member isyarat agar aku duduk di sampingnya.
Aku duduk di sampingnya, membuat rasa senang mengalir dari hatiku ke seluruh tubuh. Aku merasa seperti menemukan durian runtuh hanya karena berada di sampingnya. Aku tidak ingat pernah lebih bahagia dari sekarang sepanjang hidupku.
“Kamu mau ngomong apa?”tanyanya setelah kami terdiam cukup lama.
Aku menjalin jari-jari tanganku, merasa sangat gugup. “Aku mau minta maaf sama kamu karena aku udah bikin kamu susah di masa lalu,”kataku setengah jujur. Aku tidak berani memintanya untuk jadi pacarku lagi. Rasanya secuil keberanian yang tadi kurasakan hilang lenyap tanpa sisa.
Nathan memberiku seulas senyum. “Aku maafin,”katanya ramah. “Cuma itu?”
Aku ragu sesaat lalu aku mengangguk.
“Tenang aja, aku bukan orang yang suka menyuburkan dendam,”katanya. “Cuma itu yang mau kamu omongin?”
Aku terdiam. Dalam hatiku aku merasakan rasa malu karena merasa terlalu berani dengan pikiran untuk mengajaknya balikan. Siapa aku sampai berpikir aku bisa jadian dengan idola sekolah yang diincar banyak perempuan? Aku tidak punya punya kualitas yang bisa membuatnya senang karena memilikiku sebagai pacar.
Aku terdiam. Dalam hatiku aku merasakan rasa malu karena merasa terlalu berani dengan berpikir untuk mengajaknya balikan. Siapa aku sampai berpikir aku bisa jadian dengan Idola sekolah yang diincar banyak perempuan? Aku tidak punya kualitas yang membuatnya puas memilikiku sebagai pacar.
“Oke. Kalo kamu nggak bisa jawab, aku pergi dulu,”katanya, lalu bangkit dari lantai teras toilet.
Aku harus memberanikan diri. Mungkin saja ini kesempatan terakhirku untuk bicara dengannya. Aku menghela nafas. “Aku mau kita balikan,”kataku sebelum Revan sempat melangkah pergi.
Revan menoleh. Kami berdua saling tatap tanpa bicara sama sekali. Aku merasakan pipiku memanas. Rasanya aku ingin sekali menyembunyikan wajah tidak tahu maluku. Aku menyesali perkataanku karena melihat senyuman di bibir Revan.
“Kamu yakin?”tanyanya.
Dengan tidak tahu malunya, aku mengangguk.
“Oke,”jawabnya santai. “Asal kamu siap di cium selama kita pacaran, aku nggak keberatan.”
Aku ternganga. “Aku nggak bersedia,”kataku tegas.
Revan terbahak. “Aku cuma bercanda. Aku tau kamu itu perempuan baik-baik.”
Aku menggembungkan pipiku, Cuma bisa tertunduk tanpa tahu harus bicara apa lagi. Karena itu kesunyian yang canggung mengapung diantara kami. Saat mendengar Revan membuang nafas aku menatap wajahnya. Ada rasa senang yang kentara tergambar jelas dalam ekspresinya.
“Aku mimpi apa ya semalam?”tanya Nathan. “Aku nggak nyangka kalo akan dapet hadiah sebesar ini hari ini.”
Aku tersenyum. “Kamu seneng?”
Revan mengangguk. “Ini harapan besarku yang bener-bener terkabul. Aku bersyukur kamu punya keberanian buat ngomong karena selama ini aku nyesel karena bikin kamu benci sama aku.”
“Aku seneng kalo kamu seneng,”kataku.
Revan tersenyum. “Kita harus ngasih Kinar hadiah. Tanpa dia kayaknya kita nggak mungkin balikan. Iya, kan?”
Aku mengangguk setuju. “Es krim? Kinar suka banget sama es krim.”
“Oke. Biar aku yang beli buat dia.”
Sebuah pertanyaan yang sudah bertahun-tahun membuatku penasaran muncul di pikiranku. Aku pikir, ini saat yang tepat untuk menanyakannya. “Revan, apa yang kamu suka dari cewek jelek kayak aku?”tanyaku akhirnya.
“Karena aku bisa ngeliat kalo cewek yang ngerasa jelek kayak kamu nggak sejelek yang kamu kira,”jawab Nathan tanpa ragu.
Aku tersenyum lagi, tidak meragukan ketulusannya sedikit pun. Dengan cinta di hati semuanya memang bisa terlihat indah. Karena itulah aku memutuskan untuk percaya padanya.
~Selesai~
gabung di cmb yu....
untuk belajar menulis bareng...
caranya mudah cukup kaka follow akun ak ini
maka br bs ak undang kaka di gc Cbm ku thank you ka