Binar di wajah cantik Adhisty pudar ketika ia mendapati bahwa suaminya yang baru beberapa jam yang lalu sah menjadi suaminya ternyata memiliki istri lain selain dirinya.
Yang lebih menyakitkan lagi, pernikahan tersebut di lakukan hanya karena untuk menjadikannya sebagai ibu pengganti yang akan mengandung dan melahirkan anak untuk Zayn, suaminya, dan juga madunya Salwa, karena Salwa tidak bisa mengandung dan melahirkan anak untuk Zayn.
Dalam kurun waktu satu tahun, Adhisty harus bisa mmeberikan keturunan untuk Zayn. Dan saat itu ia harus merelakan anaknya dan pergi dari hidup Zayn sesuai dengan surat perjanjian yang sudah di tanda tangani oleh ayah Adhisty tanpa sepengetahuan Adhisty.
Adhisty merasa terjebak, ia bahkan rela memutuskan kekasihnya hanya demi menuruti keinginan orang tuanya untuk menikah dengan pria pilihan mereka. Karena menurutnya pria pilihan orang tuanya pasti yang terbaik.
Tapi, nyatanya? Ia hanya di jadikan alat sebagai ibu pengganti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon embunpagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Sudah seminggu sejak Adhisty pindah ke rumah barunya, baik Zayn maupun Salwa sama sekali belum Ada yang datang menjenguknya. Lebih tepatnya, Zayn yang Adhisty harapkan kehadirannya. Kalau Salwa, Adhisty senang jika wanita itu tak menemuinya.
Setidaknya, dengan tinggal terpisah dari Salwa dan Zayn, kesehatan mental Adhisty lebih terjaga. Ia lebih merasa tenang dan damai. Tak perlu menahan sesak setiap hari akibat kemesraan yang harus ia saksikan setiap hari.
Kegiatan Adhisty hanya pergi kuliah dan selebihnya ia habiskan di rumah barunya tersebut. Hanya bi Asih, pembantu yang dikirimkan oleh Zayn sejak hari pertama Adhisty menempati rumah tersebut yang menemaninya. Juga seorang sopir yang tentu saja tak bisa seakrab bi Asih karena sudah mendapat ultimatum duluan dari Zayn untuk menjaga batasan dengan istri sirinya tersebut.
Jika tak ada bu asih, Adhisty pasti akan sangat merasa kesepian di rumah yang cukup besar tersebut. Apalagi, benar dugaan Adhisty, jika ayahnya tidak mau diajak tinggal di sana karena tidak ingin meninggalkan rumah yang penuh kenangan bersama bunda dan juga dirinya.
Untuk tinggal di rumah sang ayahpun, Zayn tak mengijinkannya. Entahlah apa alasan pria itu melakukannya.
Pagi-pagi sekali, Adhisty menghampiri bi Asih ke dapur, "Eh non, kenapa kesini? Apa Non Dhisty mau bibi masakan sesuatu untuk sarapan?" tanya bi Asih.
"Nggak usah bi, biar aku buat sendiri saja. Aku lagi pengin masak pagi ini," sahut Adhisty. Ia ingin mengalihkan pikirannya dari Zayn dengan melakukan apapun. Semalam, ia memimpikan pria itu yang mana membuatnya semakin merindukan pria itu sekarang. Rindu yang terlarang menurutnya. Rindu yang tak seharusnya ia rasakan karena ia tahu resiko dari perasaannya tersebut.
Ada rasa sedih, kecewa dan juga kesal yang harus Adhisty kesampingkan karena menyadari posisinya bukanlah prioritas utama bagi pria itu.
"Tapi, non. Tuan muda sudah berpesan untuk nona jangan kecapean. Non Dhisty mau makan apa? Biar bibi saja yang masak. nanti kalau tuan muda tahu, bisa marah, non," ucap Bi asih.
Baru saja mengatakannya, bibi langsung tercengang melihat sosok yang baru saja ia bicarakan tersebut tengah berdiri di belakang Adhisty, lebih tepatnya bersender pada daun pintu dapur.
Zayn mengkode bi Asih untuk diam saat wanita itu hendak menyapanya.
"Biar bibi Saja ya non yang masak," kata bi Asih lagi yang tentu saja takut dengan majikannya. Nanti dikiranya dia tidak melayani Adhisty dengan baik.
"bi asih ngerjain yang lainnya saja, ya? Soalnya aku lagi pengin banget masak," kekeuh Adhisty.
Bi Asih melihat ke arah Zayn, pria itu mengangguk sebagai kode untuk membiarkan apa yang Adhisty ingin lakukan.
"Baiklah, non. Kalau begitu bibi ke halaman belakang dulu mau bersih-bersih di sana. Kalau non Dhisty butuh bantuan bibi, panggil saja," ucap bi Asih Pada akhirnya.
"Iya, bi," jawab Adhisty.
Saat melewati Zayn bibi hanya mengangguk sopan tanpa bersuara karena kode dari pria itu.
Adhisty fokus pada bahan makanan yang akan ia masak. Sama sekali tak terusik dengan keberadaan Zayn yang masih berdiri di tempatnya sambil memperhatikan istri sirinya yang mulai mengomel sendiri.
"Katanya mau sering datang ke sini buat jenguk anaknya. Tapi, nyatanya ini udah seminggu nggak nongol juga batang hidungnya," gumam Adhisty setengah menggerutu. Zayn hanya tersenyum samar mendengarnya.
Adhsity mendengus, ia malah merasa kesal sendiri jadinya, ia melampiaskan kekesalannya tersebut pada bahan makanan yang sedang ia potong," boro-boro kirim pesan nanyain kabar, ini udah ngilang gitu aja macam setan!" Adhisty dengan kasar memotong wortel di depannya.
Zayn meringis mendengarnya. Ia duga pasti Adhisty sedang membayangkan mencincangnya seperti sayuran itu, ngeri sekali pikirnya.
Brak! Adhisty menggebrak meja dapur Dengan pisau yang ia pegang. Zayn kaget sampai mencelat lalu mengusap dadanya.
"Aku kenapa sih? Bagus dong kalau dia nggak kesini. Malah bebas, nggak perlu lihat mukanya yang songong dan nyebelin, galak, nggak banyak bicara tapi sekalinya bicara pakai bumbu cabai sekuintal, dingin melebihi beruang kutub Utara!" Adhisty masih terus mengomel. Bahkan cairan bening sudah siap mengalir dipelupuk matanya.
Zayn mendelik mendengarnya," tapi, kamu rindu, kan?" ucapnya pada akhirnya karena tak tahan hanya melihat wanita itu saja.
" Iya! Nyebelinnya, meski dia banyak jeleknya aku kangen!" sahut Adhisty tanpa sadar.
Zayn tersenyum, sementara Adhisty langsung medelik, terkejut menyadari ada yang aneh, "Eh?"
Adhisty langsung menoleh, ia terpaku melihat suaminya bersedekap sambil menatapnya penuh tanda tanya.
"M-mas? kok bisa ada di sini? se... Sejak kapan?" tanya Adhsity mendadak gagu. Ia takut suaminya mendengar umpatannya tadi.
"Sejak kamu mulai mengomel tadi," sahut Zayn dengan wajah di buat seseram mungkin.
Adhisty menunduk, ia menatap kedua tangannya yang saling meremat karena takut pasti suaminya akan mengamuk setelah ini, "Maaf, aku ngga bermaksud buat...."
Adhisty menghentikan kalimatnya saat menyadari kini Zayn sudah berdiri tepat di depannya. Adhisty sontak menjadi gelagapan saat dia mendongak dan menatap wajah pria yang ia rindukan tersebut.
Adhisty langsung berbalik dan segera menyeka sudut matanya yang berair," A-aku lagi masak, mas Zayn lebih baik keluar nanti bau asap," ujarnya salah tingkah.
"Kalau rindu, kenapa nggak hubungi saya?" jantung Adhisty hampir melompat karena tiba-tiba tangan Zayn sudah melingkar di perutnya. Embusan napas pria itu saat bicara bahkan sangat terasa di lehernya karena pria tersebut menjatuhkan dagunya pada bahu Adhisty.
Kalau ada kaca, pasti kini wajah Adhisty sudah semerah udang rebus.
Karena kehilangan konsentrasinya, tanpa sadar, Adhisty malah mengiris tangannya sendiri, "Aw!" pekiknya saat pisau di tangannya mengenai jari telunjuknya.
Zayn kaget, dan langsung membalik tubuh Adhsity menghadapinya. Refleks, Zayn langsung memasukkan jari telunjuk Adhisty tersebut ke mulutnya," Mas!" Adhisty menarik tangannya. Namun, Zayn tahan.
Lagi-lagi Adhisty di buat jatuh dalam pesona pria di depannya tersebut. Perlakuan Zayn yang spontan dan begitu manis membuatnya semakin serakah tak ingin hanya di jadikan ibu pengganti saja.
"jijik, mas. Udah!" Adhisty merasa tak enak atas perlakuan Zayn. Apa pria itu tidak risih menyesap darahnya.
"Maaf, refleks!" ujar Zayn, dari wajahnya sama sekali tak ada terlihat menyesal dengan apa yang baru saja ia lakukan.
Zayn menarik tangan Adhisty untuk di cuci dibawah keran wastafel. Adhisty hanya bisa diam dan memperhatikan setiap hal yang Zayn lakukan terhadap jari telunjuknya. Zayn membungkus luka Adhisty dengan menggunakan plester yang baru saja ia ambil dari kotak p3k yang letaknya ada di samping pintu dapur.
"masih sakit?" tanya Zayn lembut. Adhisty menggeleng. Zayn benar-benar menjadi orang lain saat ini. Ia seperti bukan Zayn yang Adhisty kenal.
"Anak kita nggak kenapa-napa kan?" Adhisty paham sekarang, yang Zayn khawatirkan adalah anaknya bukan dirinya.
"Yang kena pisau jariku, mas. Bukan perut, nggak akan ngaruh sama anak kita," ucap Adhisty.
Zayn merasa tertampar, terlihat sekali kekonyolannya dengan pertanyaannya barusan, "Ya siapa tahu kan, dia terkejut, Num," jawab Zayn menutupi Rasa malunya.
Adhsity tersenyum, "Mas kenapa di sini?"
"Saya di sini, di protes. Nggak di sini di umpat, mau kamu apa, Shanum Kaylia?" tanya Zayn dengan lembut.
Adhisty menunduk, setiap kali Zayn memanggilnya Shanum, jantungnya berdebar. Apalagi jika panggilan itu pria itu ucapkan dengan lembut, makin berdebar rasanya.
"bukan begitu, mas. Kan seharusnya jam ke kantor, kok malah ke sini?"
"Nggak boleh saya ke sini?" tanya Zayn.
" Ya boleh dong, mas. Kan ini rumah mas. Ya udah mas tunggu di luar aja, aku lagi mau masak. Mas udah rapi begini nanti bau dapur," ucap Adhisty.
"Katanya tadi kangen, kok malah di usir?" Zayn pura-pura bersedih.
" Bukannya gitu mas. Eh, siapa yang kangen? nggak ada ya? Mas jangan GR!"
"jadi, saya salah dengar?"
Adhisty mengangguk, namun tak berani Menatap pria di depannya.
"Padahal saya berharap tidak salah dengar tadi," ucap Zayn. Yang mana membuat Adhisty langsung mendongak mentapa mata Zayn, mencari makna dari ucapannya barusan. Apakah artinya jika pria itu juga merindukannya.
...----------------...