Seperti artinya, Nur adalah cahaya. Dia adalah pelita untuk keluarganya. Pelita untuk suami dan anaknya.
Seharusnya ...
Namun, Nur di anggap terlalu menyilaukan hingga membuat mereka buta dan tak melihat kebaikannya.
Nur tetaplah Nur, di mana pun dia berada dia akan selalu bersinar, meski di buang oleh orang-orang yang telah di sinarinya.
Ikuti kisah Nur, wanita paruh baya yang di sia-siakan oleh suami dan anak-anaknya.
Di selingkuhi suami dan sahabatnya sudahlah berat, di tambah anak-anaknya yang justru membela mereka, membuat cahaya Nur hampir meredup.
Tapi kemudian dia sadar, akan arti namanya dan perlahan mulai bangkit dan mengembalikan sinarnya.
Apa yang akan Nur lakukan hingga membuat orang-orang yang dulu menyia-nyiakannya akhirnya menyesal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Keduanya tercekat, kali ini kakak beradik itu memiliki pemikiran yang sama, yaitu pasti akan ada keributan setelah ini.
Zahra menarik napas panjang, dia berusaha menenangkan diri agar bisa menghadapi suaminya.
"Ra—" panggil Nur gugup.
"Mbak tenang aja, ini urusan Zahra," jawab Zahra lembut.
Semakin dekat, keduanya mendengar suara gelak tawa dari ruang tamu, sepertinya Farid berbincang sangat seru dengan Bety.
Dua orang yang berada di ruang tamu lantas menoleh saat mendengar suara didepan pintu masuk.
Farid bergegas bangkit. Wajah yang tadi lembut saat berbincang dengan Bety, kini berubah merah padam saat melihat istri dan kakak iparnya.
"Kamu itu Ra! Tanpa persetujuan dari mas, berani-berinya pergi tanpa izin! Mau jadi istri durhaka hah!?" bentaknya.
"Keraskan lagi suaramu mas, tanggung!" cibir Zahra malas.
"ZAHRA!" bentak Farid yang benar-benar habis kesabarannya pada sang istri.
"Mbak, kok—"
"Lebih baik kamu diam Ty!" sela Zahra tajam. Bety yang ditegur seperti itu segera diam, meski dalam hati menggerutu kesal.
"Kamu mau marah sama aku karena apa mas? Keraskan lagi suaramu, agar para tetangga disini tahu, itu kan mau kamu?"
Farid terdiam, dia merasa kesal karena langsung di skak oleh sang istri.
"Sebaiknya kita pulang, mas boleh marahin aku di rumah, ingat mas, kewajibanmu menjaga lisanmu didepan orang-orang!"
Farid tersenyum sinis, "inilah yang ngga aku suka dari mbak. Mbak membawa pengaruh buruk pada istriku!"
"Mas!" bentak Zahra tak terima
"Jawab apa kesalahan mbak Nur? Apa dia meminta aku menceraikan kamu? Jadi orang harus tahu malu sedikit mas, lupakah kamu siapa yang bantu adikmu saat mau lahiran? Dia!" tunjuknya pada sang kakak.
"Apa balas budimu hah! Sekarang karena mbakku sedang terpuruk, kamu lantas tak ingin mengenal dia. Bukankah itu picik?"
Merasa harga dirinya diinjak sang istri, Farid lantas menampar Zahra. Dia sungguh tak terima diingatkan atas kebaikan Nur pada keluarganya.
Bety dan Nur kaget bukan main, Nur yang berada didekat sang adik lantas memeluk Zahra cemas.
Napas Farid naik turun, lagi dirinya telah menyakiti tubuh sang istri. Semenjak kedatangan Nur dengan masalahnya, dirinya kerapkali bersitegang dengan sang istri.
Namun mereka tampak semakin terkejut kala Zahra justru membalas perlakuan suaminya.
"Kamu berani menamparku Ra?" pekik Farid tak terima.
"Kenapa ngga berani, udah cukup selama ini aku sabar atas sikap kamu sama ibu, kamu ngga ingat ucapan ibumu mas? Ingat hukum tabur tuai, apa kamu mau semua berbalik pada kalian! Kita ini orang-orang yang harusnya tahu balas budi Mas! Kalau bukan karena kebaikan mbak Nur gimana nasib kita dulu!"
"Apa pernah aku mengabaikan keluargamu? Ibumu, adikmu, saat mereka minta bantuan, kamu selalu sigap membantu mereka dan aku enggak pernah keberatan. Sedangkan mbakku, kenapa kamu justru keberatan?"
"Kamu berubah Ra. Sekarang kamu bahkan berani membantah mas, dimana baktimu," ucap Farid lirih.
"Bakti? Lalu saat kamu menamparku dinamakan apa mas?"
Zahra benar-benar kesal menghadapi sang suami. Semua perasaan kesalnya dia keluarkan semua.
"Sudah Ra," sela Nur lantas mengajak sang adik masuk kedalam dapur.
Farid jatuh terduduk di sofa, sedangkan Zahra segera diberi minum oleh Nur agar sedikit lebih tenang.
Bety sendiri bingung hendak membela siapa, sebab dirinya khawatir salah langkah malah akan menjadi bumerang buat dirinya sendiri.
Sama seperti Nur, Zahra pun acap kali sering membantu dirinya dan sang suami. Entah atas izin suaminya atau tidak Bety tak tahu.
Yang pasti saat tengah kesulitan keuangan, Zahra tak segan mengulurkan tangannya. Jika saat ini dirinya membela Zahra, dirinya takut kalau ternya semua bantuan itu atas persetujuan Farid.
Namun jika membela Farid, Bety khawatir kalau ternyata bantuan Zahra dari uang pribadinya sendiri, sebab Zahra adalah wanita pekerja yang berpenghasilan, tak seperti Nur yang hanya ibu rumah tangga, yang jelas bantuannya pasti atas persetujuan Pamungkas.
Setelah cukup tenang, Zahra memutuskan untuk pamit undur diri. Dia tak mau membuat keributan dikediaman adik bungsunya.
"Ra," panggil Farid yang sudah kembali lembut.
"Aku lelah mas, sebaiknya kita pulang," jawab Zahra pelan.
Tanpa banyak tanya dan berpamitan dengan Nur, Farid segera mengikuti sang istri. Keduanya mengendarai motor masing-masing.
Selepas kepergian kakak ipar keduanya, Bety lantas menatap Nur dengan pandangan yang sulit diartikan.
"Ayo mbak harus kembali kerja! Jangan sampai Bu Rw marah-marah disini!" ucap Bety ketus.
Tanpa membantah, Nur kembali mengganti pakaiannya. Dirinya harus menepati janjinya pada sang majikan untuk segera kembali setelah selesai sidang.
.
.
Dalam perjalanan, ponsel Zahra dan Farid tak hentinya bergetar. Sebenarnya Zahra sejak tadi berusaha mengabaikannya.
Namun karena deringnya semakin intens, Zahra segera menepikan kendaraannya, begitu pula dengan Farid yang memang mengikuti sang istri dari belakang.
"Ada apa Ra?"
Tanpa menjawab pertanyaan sang suami, Zahra segera mengambil ponselnya.
Dirinya mengernyit heran kala melihat beberapa. Panggilan dari para tetangganya.
"Iya bu ada a—"
"Mbak Zahra, ini Cici keserempet motor. Ibu Wati juga pingsan!"
Tubuh Zahra lemas seketika. Untung ada Farid disebelahnya hingga dengan sigap menangkap tubuh sang istri.
"Kenapa Ra!" pekik Farid segera mengambil ponsel sang istri.
Dia lantas mengangkat panggilan yang masih terdengar.
"Halo ... Halo, ada apa Bu Ida?"
"Mas Farid, ini Cici kecelakaan keserempet motor. Ibu Wati juga pingsan, kalian di mana?"
"Apa? Gimana bisa?" cecarnya yang malah menanyakan kejadiannya.
Zahra segera mengambil ponselnya dari tangan sang suami dan kembali berbicara pada tetangganya.
"Terima kasih Bu, kami minta tolong. Tolong jaga Cici sama ibu ya bu, kami segera pulang."
"Ra kamu yakin bisa mengendarai motor? Apa kita titipkan aja motor kita, lalu pulang pakai taksi?" tawar Farid.
"Sebaiknya kita bergegas mas!" jawab Zahra lemah.
Sepanjang jalan, dirinya berusaha fokus menatap jalan, meski air matanya tak berbenti mengalir di kedua pipinya.
Pikiran Zahra kacau, baru saja putrinya sembuh dari kecelakaan bermain tempo hari, kini kejadian itu terulang lagi, bahkan mungkin lebih parah.
Keduanya sampai di rumah sakit tempat Cici dan Wati dirawat.
Mereka bergegas menemui tetangga mereka yang menunggu didepan ruang tindakan.
"Gimana bisa Cici keserempet Bu?" cecar Zahra yang kembali menangis.
Lima orang disana saling melempar pandangan, akhirnya salah satu dari mereka yang tadi menelepon Zahra bersuara.
"Ibu Wati sedang ngobrol sama yang lainnya dan lepas pengawasan terhadap Cici mbak, hingga tiba-tiba kejadian itu erjadi. Semuanya sangat cepat karena Cici berlari ke jalan mengejar bolanya."
"Sayangnya pengendara itu langsung kabur mbak, saat mereka sibuk membantu Bu Wati yang histeris lalu jatuh pingsan."
"Lalu di mana ibu saya Bu?" tanya Farid yang mencemaskan keadaan ibunya.
Lagi, para tetangga Zahra dan Farid saling melempar pandangan.
"Ibu wati juga sedang menjalani pemeriksaan, sebab tadi tiba-tiba tubuhnya kaku hingga mulutnya miring kesamping," jawab Bu Ida jujur.
"Maksudnya?"
"Dokter tadi bilang katanya Ibu Wati terkena Stroke," sambungnya.
Tubuh Farid lemas hingga jatuh terduduk. Cobaan apa lagi ini, pikirnya.
.
.
.
Lanjut