Ketika Regita pindah ke rumah baru, ia tak pernah menyangka akan tertarik pada Aksa, kakak tirinya yang penuh pesona dan memikat dalam caranya sendiri. Namun, Aksa tak hanya sekadar sosok pelindung—dia punya niat tersembunyi yang membuat Regita bertanya-tanya. Di tengah permainan rasa dan batas yang kian kabur, hadir Kevien, teman sekelas yang lembut dan perhatian, menawarkan pelarian dari gejolak hatinya.
Dengan godaan yang tak bisa dihindari dan perasaan yang tak terduga, Regita terjebak dalam pilihan sulit. Ikuti kisah penuh ketegangan ini—saat batas-batas dilewati dan hati dipertaruhkan, mana yang akan ia pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BERMIMPI ANEH
Makan malam di rumah keluarga Antonio selalu terasa formal dan sunyi. Antonio sendiri memegang prinsip bahwa waktu makan adalah waktu untuk menikmati makanan dengan tenang. Obrolan ringan biasanya baru dimulai setelah piring-piring kosong. Ratih sesekali berusaha mencairkan suasana, namun Antonio hanya memberikan senyuman kecil, tetap diam seperti biasa.
Regita, yang duduk di sebelah Ratih, terlihat tidak fokus. Tangannya memutar-mutar garpu di piringnya, matanya menerawang seperti memikirkan sesuatu. Di depannya, Aksa sedang memperhatikan gerak-geriknya sambil menyendok makan malamnya dengan santai. Diam-diam, senyum tipis tersungging di bibir Aksa saat melihat tingkah Regita.
Tiba-tiba, Aksa menggeser kakinya di bawah meja, menyenggol kaki Regita dengan pelan. Gadis itu langsung tersentak, menoleh ke arah Aksa dengan wajah sedikit bingung. Namun, Aksa pura-pura tidak tahu apa-apa. Matanya tetap tertuju ke piringnya, seolah sibuk dengan makanannya.
Regita kembali menunduk, berusaha mengabaikan sensasi aneh yang dirasakannya barusan. Namun, tak lama kemudian, Aksa mengulangi aksinya. Kali ini lebih sengaja, menggeser kakinya hingga menyentuh pergelangan kaki Regita.
Regita mendongak lagi, memandang Aksa dengan tatapan penuh peringatan. Tapi pria itu hanya mengangkat bahu, tersenyum jahil sambil menyuapkan makanan ke mulutnya.
"Kenapa, Git?" tanya Ratih, melihat ekspresi Regita yang tidak biasa.
"Eh? Nggak, Bun. Nggak apa-apa," jawab Regita buru-buru, menyembunyikan wajahnya yang mulai memerah.
Aksa menahan tawa, jelas menikmati situasi ini. Dia kembali menyenggol kaki Regita, kali ini lebih lembut, seperti mengisyaratkan sesuatu.
Regita mendengus pelan, menggerakkan kakinya untuk menyingkirkan kaki Aksa, tetapi malah membuat kaki mereka semakin bersentuhan. Gadis itu menggigit bibirnya, menahan rasa kesal sekaligus gugup.
Antonio, yang sedari tadi sibuk dengan makanannya, mendongak sejenak. "Regita, makan yang benar. Jangan main-main di meja makan," tegurnya dengan suara rendah tapi tegas.
"I-iya, Om," jawab Regita sambil menunduk. Dia melirik Aksa sekilas, memberi tatapan tajam seolah berkata, Ini semua salah kamu!
Aksa hanya menyeringai kecil, tidak merasa bersalah sedikit pun. Dia menggeser piringnya ke samping, mengisyaratkan bahwa dia sudah selesai makan.
"Aku sudah selesai, Yah," katanya sopan kepada Antonio.
Antonio mengangguk, memberikan izin. Aksa berdiri dari kursinya, tetapi sebelum pergi, dia menoleh ke arah Regita dan berbisik cukup pelan agar hanya gadis itu yang mendengar, "Kita belum selesai, ya."
Regita hanya bisa tertegun di tempatnya, merasa jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. Sementara Aksa berlalu ke ruang tamu, meninggalkan gadis itu yang mencoba menenangkan pikirannya sepanjang sisa makan malam.
Setelah selesai makan, Regita segera membereskan piringnya dan mencoba kabur ke kamarnya tanpa menarik perhatian. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar suara Aksa dari ruang tamu.
“Git,” panggil Aksa dengan nada santai. Regita mematung di tangga, berharap Aksa hanya memanggil iseng. Tapi ketika dia menoleh, pria itu sudah berdiri di dekat pintu, bersandar santai dengan tangan terlipat di dada.
“Apa?” tanya Regita canggung, suaranya hampir berbisik.
Aksa menatapnya dengan ekspresi serius, meski bibirnya tetap menyunggingkan senyum kecil. "Sini sebentar," katanya, menunjuk ke arahnya dengan gerakan dagu.
Regita melirik ke arah dapur, memastikan Ratih dan Antonio masih sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Setelah yakin mereka tidak akan mendengar, dia berjalan perlahan mendekati Aksa. "Apa sih? Jangan aneh-aneh," gumamnya dengan suara pelan.
Begitu Regita berada dalam jangkauan, Aksa menarik lengannya, membawanya lebih dekat. Regita mencoba mundur, tetapi Aksa hanya mempererat genggamannya, menatap matanya lekat-lekat. "Kamu tahu, kamu kelihatan lucu banget waktu tadi kaget di meja makan," katanya, menyeringai.
"Aksa!" bisik Regita sambil menepis tangan Aksa. "Jangan mulai di sini! Bunda bisa lihat."
Aksa mengangkat alisnya. “Tenang aja. Ayah nggak suka ribut setelah makan, dan Bunda lagi sibuk. Kita aman.”
"Tapi aku nggak suka kayak gini!" balas Regita, berusaha menjaga nada suaranya tetap rendah. Tapi matanya yang melebar dan wajahnya yang memerah justru membuat Aksa semakin gemas.
"Lihat kan," kata Aksa sambil mendekatkan wajahnya, "kamu bilang nggak suka, tapi mukamu bilang sebaliknya."
Regita melangkah mundur, tetapi Aksa menahannya, tubuh mereka kini hanya berjarak beberapa sentimeter. "Aksa, serius... aku nggak mau," ucapnya lagi, kali ini dengan nada lebih tegas.
Aksa menatapnya sejenak, lalu tersenyum. “Oke,” katanya, akhirnya melepaskan genggamannya. “Aku nggak akan maksa. Tapi aku masih punya satu pesan buat kamu.”
"Apa lagi?" tanya Regita, mencoba menjaga sikapnya tetap tegar meski hatinya berdebar kencang.
Aksa mendekatkan dirinya ke telinga Regita, berbisik, “Aku nggak pernah lupa apa yang terjadi tadi siang. Jadi jangan harap kamu bisa lari dariku.”
Regita menelan ludah, lalu berbalik dengan cepat, lari ke tangga tanpa menoleh lagi. Dia bisa mendengar tawa kecil Aksa di belakangnya, membuat pipinya semakin panas.
Di dalam kamar, Regita mengunci pintu dan bersandar pada dinding, mencoba menenangkan detak jantungnya yang kacau. "Kenapa dia selalu seperti itu?" gumamnya, menutup wajah dengan tangan. Tapi di balik kekesalannya, ada rasa hangat yang perlahan menjalar di hatinya, membuat dia semakin bingung dengan perasaannya sendiri.
Malam itu, setelah akhirnya berhasil tidur meski hatinya masih dipenuhi kekesalan terhadap Aksa, Regita mendapati dirinya bermimpi aneh. Dia berada di sebuah taman bermain yang cerah dan penuh warna, dengan aroma manis gula kapas yang terbawa angin.
Dia duduk di bangku taman, mengenakan dress putih sederhana dengan motif bunga-bunga kecil. Sinar matahari terasa hangat di kulitnya, dan di sebelahnya, Aksa duduk dengan kemeja kasual berwarna biru tua yang membuatnya terlihat semakin tampan.
“Ayo naik bianglala,” kata Aksa tiba-tiba, tangannya menyentuh lembut pergelangan tangan Regita.
Regita menggeleng, “Aku takut ketinggian.” Tapi suaranya terdengar jauh lebih lembut, berbeda dari biasanya.
Aksa hanya tersenyum dan meraih tangannya dengan percaya diri. “Kalau sama aku, kamu nggak perlu takut apa-apa.”
Tanpa perlawanan, Regita membiarkan dirinya ditarik. Mereka menuju bianglala, yang tampak seperti sesuatu dari film romantis: kabin kayu dengan lampu-lampu kecil berwarna kuning menyala hangat. Saat mereka duduk di dalam kabin, Aksa memastikan sabuk pengamannya terpasang dengan benar, tangannya sengaja menyentuh jemari Regita.
“Lihat ke bawah, indah kan?” tanya Aksa, menunjuk pemandangan taman bermain yang penuh warna.
Regita mencoba melirik ke luar, tapi segera menoleh kembali dengan napas tertahan. “Aku nggak berani,” katanya, bibirnya menciut.
Aksa tertawa pelan, lalu menyandarkan dirinya sedikit ke arah Regita. “Jangan lihat ke bawah, lihat aku aja.”
Regita mendongak, menatap mata Aksa yang menatapnya penuh kelembutan. Wajahnya memerah, tapi dia tidak bisa mengalihkan pandangan. “Kenapa kamu selalu kayak gini?” tanyanya lirih.
Aksa tersenyum tipis, lalu menyelipkan rambut yang jatuh di wajah Regita ke belakang telinganya. “Kayak gimana?”
“Kamu tahu... kayak membuat aku nyaman, tapi juga bingung,” jawab Regita, memalingkan wajahnya.
Aksa mendekat lagi, menatap wajah Regita yang tampak kebingungan. “Mungkin karena kamu memang cocoknya sama aku.”
Sebelum Regita sempat merespons, bianglala berhenti di puncaknya. Angin berhembus lembut, membawa aroma bunga dari taman di bawah mereka. Aksa tiba-tiba meraih tangan Regita, menggenggamnya erat.
“Git, aku nggak mau kamu lari lagi. Kamu tahu, aku selalu ada buat kamu, kan?” suaranya terdengar serius, berbeda dari biasanya.
Regita menatap tangan mereka yang bertaut, lalu menatap Aksa. “Kenapa kamu selalu bilang hal-hal seperti itu?”
Aksa mendekat, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Regita. “Karena aku nggak bisa berhenti peduli sama kamu,” jawabnya pelan.
Jantung Regita berdetak kencang, dia bisa merasakan wajahnya memanas. Saat dia mencoba mengatakan sesuatu, Aksa mendekatkan wajahnya, bibir mereka hampir bersentuhan—
Tiba-tiba, Regita terbangun dengan napas tersengal. Matanya langsung terbuka lebar, dan dia menatap langit-langit kamar. Cahaya bulan mengintip melalui tirai jendela, dan dia bisa merasakan jantungnya masih berdetak kencang.
“Apa-apaan itu?” gumamnya, memegang pipinya yang terasa panas. Dia mencoba menenangkan dirinya, tapi bayangan senyuman Aksa dan momen mereka di bianglala masih terukir jelas di benaknya.
Dia membenamkan wajahnya ke bantal, menahan diri agar tidak berteriak. “Kenapa dia bahkan muncul di mimpiku?” gumamnya kesal, tapi dalam hatinya, dia tahu ada bagian dari dirinya yang tidak ingin melupakan mimpi itu.