Dokter Fikri adalah seorang psikiater dari kepolisian. Dokter Fikri adalah seorang profesional yang sering menangani kriminal yang mengalami gangguan kepribadian.
Namun kali ini, Dokter Fikri mendapatkan sebuah pasien yang unik, seorang gadis berusia 18 tahun yang mempunyai riwayat penyakit kepribadian ambang (borderline).
Gadis itu bernama Fanny dan diduga membunuh adik tiri perempuannya yang masih berumur 5 tahun.
Apakah Dokter Fikri biaa menguak rahasia dari Fanny?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AppleRyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 : Kandung
Aku terbaring di ranjang, tubuhku masih bergetar setelah momen intim yang baru saja kami lalui. Rumah terasa sepi, hanya dentingan jam dinding yang menjadi pengiring desahan lembutku. Reino tidur di sampingku, tampak kelelahan namun puas. Sementara aku memandang ke langit-langit kamar, pikiranku dipenuhi rasa puas dari kemenangan dan kesempurnaan yang baru saja kuraih.
Tiba-tiba, bunyi ketukan lembut di pintu membuatku terjaga. Aku melirik ke arah Reino, memastikan ia masih tertidur nyenyak, sebelum beranjak untuk membuka pintu. Di luar berdiri seorang pria berpakaian resmi, seorang notaris dengan jas hitam dan dasi yang terikat rapi.
“Selamat pagi, Nona Laura,” sapa pria itu, mengulurkan tangannya. “Maaf mengganggu, tapi saya membawa informasi penting yang harus kamu ketahui.”
Kecurigaan langsung menyelinap dalam diriku. “Ada masalah apa, Pak?” tanyaku, berusaha menutupi ketegangan yang mulai merayap.
“Bisa kita berbicara di ruang tamu?” tanya notaris itu, wajahnya serius. “Ini mengenai Reino. Ada hal-hal yang sangat penting terkait identitasnya.”
Aku mengangguk dan mempersilakan notaris itu masuk. Setelah kami duduk di ruang tamu yang remang-remang, aku menyajikan minuman untuk tamunya, mencoba menenangkan diri di balik sikap ramah.
“Jadi, Pak, apa yang ingin Anda sampaikan tentang Reino?” tanyaku, duduk di seberang meja dengan ekspresi penuh perhatian.
Notaris itu mengeluarkan beberapa dokumen dari tasnya dan meletakkannya di meja. “Sebelum saya melanjutkan, saya perlu memastikan bahwa kamu memahami pentingnya informasi ini. Reino adalah adik kandungmu, Laura.”
Aku tertegun, merasa seolah seluruh dunia terhenti sejenak. “Apa maksudnya?” tanyaku, suaraku bergetar.
“Reino adalah anak dari orang tua yang sama dengan kamu,” jelas notaris itu. “Namun, ada kisah yang sangat rumit di balik situasi ini.”
Notaris itu mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. “Beberapa tahun lalu, ayah dan ibumu mengklaim asuransi dengan merekayasa kebakaran yang mengklaim nyawa Reino dan ibumu. Kebakaran tersebut sengaja dibuat untuk mendapatkan uang asuransi. Namun, sebenarnya ibumu kabur bersama seorang supir, yang sekarang tengah mendekam di penjara karena kasus narkoba.”
Jantungku berdebar cepat. “Jadi, ibuku membawa Reino kabur?”
“Benar,” kata notaris itu. “Setelah kebakaran yang sengaja direkayasa, ibumu melarikan diri bersama supirnya, yang kemudian menjadi ayah tirinya Reino. Kebakaran itu berhasil menciptakan kesan bahwa Reino dan ibumu telah meninggal.”
Aku merasakan tubuhku menjadi dingin. “Apa yang terjadi setelah itu?”
“Ibumu dan ayah tirinya Reino tidak pernah ditemukan lagi setelah melarikan diri,” jelas notaris. “Sementara ayah tirinya ditangkap dan dipenjara, Reino yang saat itu masih muda dipaksa hidup mandiri dan akhirnya ditemukan oleh ayahmu dan dipekerjakan di rumahmu. Saya diberi tugas untuk memberitahu kamu tentang hal ini agar kamu tahu kebenarannya. Itu tertulis dalam surat wasiat ayahmu sebelum dia meninggal.”
Kepalaku terasa berat. “Bagaimana dengan hubungan antara aku dan Reino sekarang?”
Notaris itu menatapku dengan penuh perhatian. “Saya tidak bisa memberikan nasihat hukum, tetapi informasi ini bisa sangat relevan dengan status kamu dan Reino. Kamu berhak mengetahui kebenaran bahwa kalian adalah kakak dan adik.”
Aku menggigit bibirku, berusaha menenangkan pikiranku. “Terima kasih atas informasinya. Aku akan memikirkannya.”
Notaris itu berdiri, mengumpulkan dokumennya. “Jika kamu membutuhkan bantuan lebih lanjut, jangan ragu untuk menghubungi saya.”
Aku mengantar notaris itu keluar dan menutup pintu dengan lembut. Aku kembali ke ruang tamu, duduk di kursi, dan berusaha menyusun kembali pikiranku. Rasa marah dan bingung mulai melanda. Bagaimana bisa aku tiba-tiba harus menghadapi kenyataan bahwa Reino adalah adikku? Semua yang aku rencanakan dan rasakan seakan runtuh dalam sekejap.
Tiba-tiba, Reino muncul di pintu kamar tidur, matanya setengah terpejam. “Ada apa, Kak Laura? Kenapa ada orang?”
Aku mengangkat kepalaku, memaksakan senyum. “Hanya beberapa urusan bisnis, Reino. Kamu baik-baik saja?”
Reino mengangguk, berjalan mendekat. “Iya, aku baik. Tapi kamu tampaknya khawatir. Ada apa?”
Kemarahan membakar di dadaku. Ini bukan sekadar kemarahan, ini adalah kemarahan yang hampir menghancurkan segalanya. Kenapa harus sekarang? Kenapa aku harus menghadapi semua ini? Aku berusaha menenangkan diri, namun kemarahan yang menggelora membuatku sulit berpikir jernih.
“Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan,” kataku dengan nada dingin, berusaha mengendalikan diriku. “Aku hanya perlu waktu untuk berpikir.”
Reino tampak ragu. “Baiklah, Kak Laura. Aku akan menunggu.”
Saat Reino berjalan menuju dapur untuk mengambil minum, aku merasa dorongan aneh tak tertahankan. Ketidakstabilan emosional membuatku hampir tidak bisa berpikir jernih. Aku harus keluar dari sini, tetapi semua yang kulakukan terasa salah.
Aku bergegas menuju kamarku, mengunci pintu dari dalam. Di dalam, aku merasa terjepit antara kemarahan, kesedihan, dan kebingungan yang menyiksa. Aku mulai merobek-robek kertas di sekitar kamar, melemparkan barang-barang dengan marah. Pikiranku dipenuhi dengan gambar-gambar hancur dari rencana dan harapan yang musnah dalam sekejap.
Tangisku pecah, meledak dalam kesedihan mendalam. Air mata mengalir deras di pipiku, namun kemarahan dan kebingungan terus meresap dalam jiwaku. Aku merasa terjebak dalam neraka emosional yang tak berujung.
Aku meraih cermin di meja rias, dan dengan kuat dan cepat melemparkan cermin itu ke dinding. Pecahannya berserakan di lantai, dan aku merasa semua yang kuinginkan dan kurencanakan terpecah bersamanya. Setiap pecahan seolah menguatkan rasa sakit dan kemarahan itu.
Rasa bingungku semakin dalam. Kenapa semua ini terjadi padaku? Kenapa aku harus menghadapi kenyataan yang tidak pernah kuinginkan? Aku merasa seperti berada di tepi jurang emosional, terjebak dalam gelombang rasa sakit yang tak berujung.
Dengan napas tersengal dan tubuh bergetar, aku duduk di sudut kamar yang gelap, menangis dan meratap dalam keputusasaan. Aku merasa seolah segala sesuatu di sekelilingku runtuh, dan tidak ada cara untuk melarikan diri dari kenyataan pahit ini.
Kegelapan kamar tampak semakin berat saat aku duduk tertekan di sudut, dikelilingi oleh pecahan cermin dan barang-barang yang berserakan. Aku merasakan setiap hembusan napas berat dan sulit, seperti berjuang untuk bertahan dalam badai emosional yang tiada akhir. Aku menyadari betapa dalamnya aku terperangkap dalam kekacauan ini, tanpa cara untuk keluar dari pusaran kepedihan yang mengikatku.
Di tengah keputusasaan, aku mendengar suara pintu diketuk dari luar. “Kak Laura, apakah kamu di dalam?” suara Reino terdengar penuh kekhawatiran. Aku tidak dapat menjawabnya, hanya terdiam dalam kesedihan yang menelan seluruh diriku. Reino memanggil lagi, “Kak Laura, buka pintunya. Aku khawatir tentangmu.”
Dengan tekad untuk mempertahankan citra sempurnaku, aku menarik napas dalam-dalam dan menjawab dengan nada tegas, “Aku baik-baik saja, Reino. Tidak perlu khawatir atau mencampuri urusanku.”
Reino tampak tidak puas, suaranya terdengar sedikit memelas. “Kak Laura, aku benar-benar khawatir. Jika kamu tidak mau membuka pintu, setidaknya beritahu aku apa yang terjadi.”
Aku menahan rasa frustrasi yang mulai meluap. “Reino, aku sudah mengatakan semuanya. Aku tidak membutuhkan bantuan siapa pun, termasuk kamu. Aku bisa menangani ini sendiri, seperti yang selalu kulakukan.”
Reino terdiam sejenak, mungkin merasakan keteguhan dalam suaraku. “Baiklah, Kak Laura. Tapi ingat, aku ada di sini jika kamu berubah pikiran.” Suaranya meninggalkan nada kesedihan, tetapi aku tidak bergeming.
Saat ketukan di pintu berhenti, aku kembali ke sudut kamar, berusaha mengendalikan emosi. Aku tidak akan membiarkan diriku terlihat rapuh di hadapan siapa pun. Memangnya dia pikir dia siapa? Membantuku? Tidak seharusnya seseorang yang naif sepertinya membantuku, dia harus kuajari lebih baik agar tidak merasa dirinya lebih hebat daripada diriku. Aku bisa mengatasi ini sendiri, membuktikan bahwa aku bisa menghadapi segala sesuatu tanpa bantuan orang lain.
aarrrrgh~~~