Pernikahan Raina dan Riko menjadi kacau karena kehadiran mantan kekasih Raina. Terlebih lagi, Riko yang sangat pencemburu membuat Raina tidak nyaman dan goyah. Riko melakukan apapun karena tidak ingin kehilangan istrinya. Namun, rasa cemburu yang berlebihan itu perlahan-lahan membawa bencana. Dari kehidupan yang serba ada menjadi tidak punya apa-apa. Ketakutan Riko terhadap banyak hal membuat kehidupannya menjadi konyol. Begitu pun dengan istrinya Raina, Ia mulai mempertimbangkan kelanjutan pernikahan mereka. Masa depan yang diinginkan Raina menjadi berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon She Amoy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sisa Kenangan (4)
“Rabu dan minggu. Duh cocok, ngarepok eta teh!” Ibu dengan antusias menanggapi jawabanku.
“Maksudnya gimana sih Bu?” tanyaku penasaran yang tidak paham dengan kata ‘ngarepok’ itu.
“Ngarepok itu cocok Neng. Biasanya kalau rabu dan minggu disatukan tidak akan banyak bertengkar. Soalnya, orang yang lahir hari rabu itu biasanya banyak mengalah. Kalau kamu kan minggu ya. Duuh minggu itu mega, pengennya di atas terus, nggak mau kalah. Bener kan?”
“Ah si Ibu mah, tahayul. Kalau nggak mau kalah sih kadang-kadang aja Bu!” sahutku sambil merendam kentang yang sudah berbentuk kotak-kotak kecil itu.
“Eh ari kamu, Ibu teh gini-gini yang ngelahirin kamu. Tahu sifat dan keinginan kamu. Ibu juga gini-gini lebih duluan lahir daripada kalian. Jadi udah banyak pengalaman. Tuh si Bi Ai sama Mang Toto, akur kan sampe sekarang, soalnya Mang Toto lahirnya hari rabu. Pokoknya mah kalau cari suami atau pacar, harus yang hari rabu ya!” Ibu mengomel sambil menumbuk bawang dan cabai merah.
Aku tersenyum-senyum sambil mulai menggoreng kentang. Sambil melihat Aksa yang sedang diasuh Teh Yani di halaman samping.
Krisna pernah datang ke sini, bertemu dengan ibu dan memperkenalkan diri. Aksa juga tampak nyaman berada di dekat Krisna. Dan tentu saja, Krisna sering membantu kami secara finansial. Meskipun sebenarnya, keuanganku sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan primer.
Bukan hanya Aksa yang diberikan perhatian oleh Krisna. Aku masih teringat malam itu, ketika adikku yang belum lulus kuliah menangis di depan kami.
“Kenapa? Ada masalah di kampus? Tanyaku sambil melirik Krisna dan Ibu.
“Pengen cepet selesai tapi bingung?” dia menjawab sambil terisak.
“Bingung kenapa? Bukannya uang spp sudah lunas? Tanyaku lagi sambil sedikit meninggikan suara.
“Nggak punya komputer, jadi bingung ngetik skripsinya. Kalau ke rental kejauhan.” Isaknya lagi.
Aku sangat malu waktu itu. Sebenarnya, tidak ada niat untuk berbagi kesusahan kami dengan Krisna. Adikku mungkin tidak sengaja berbicara seperti itu di ruang keluarga. Ruang keluarga yang menyatu dengan ruang tamu sebetulnya. Aku diam tanpa komentar apapun. Sebab untuk membeli komputer, butuh waktu menabung berbulan-bulan.
Krisna yang menyimak pembicaraan kami malam itu, tanpa banyak bicara, mengeluarkan amplop coklat dari dalam tasnya. Dia memberi cukup banyak uang untuk membeli komputer sekaligus printer.
Jika diingat-ingat lagi di masa kini, mungkin adikku sudah lupa dengan kejadian itu. Dia tidak pernah bertanya soal Krisna, apalagi di depan Riko. Dia tahu, membicarakan masa lalu, hanya membuat masalah yang panjang dan rumit.
Tetapi Aksa masih ingat dengan sosok Krisna. Meskipun sekarang sudah sekolah dasar, dia masih ingat dengan masa-masa di mana kami pernah pergi ke Ancol Jakarta.
“Waktu itu Mih, Aksa pernah naik kereta gantung sama Mamih dan Om di Ancol,” celoteh Aksa siang itu.
“Om siapa Sayang?”
“Om ganteng.”
Untungnya, Aksa tidak pernah menceritakan hal itu pada Rikk. Anak kecil itu seolah mengerti bahwa ayah tirinya sangat posesif dan pemarah. Profil Riko selalu bertolak belakang ketika di hadapan orang lain.
Tahun berikutnya, Krisna mengajakku ke Sukabumi. Tiba-tiba di memiliki hobi baru, memancing. Hobi yang tidak masuk akal menurutku. Bagaimana bisa, seseorang menghabiskan waktu hanya untuk menunggu ikan yang nyangkut di kail. Ada cara paling mudah untuk mendapat ikan, tentu dengan langsung membelinya.
Tapi Krisna berkata bahwa memancing memiliki tantangan tersendiri. Mengasah kesabaran juga kejelian. Ah, tetap saja tidak masuk akal.
Perasaan kami memang luar biasa. Krisna, seseorang yang mampu menugaskan siapa saja. Tidak pernah mengutus sopir manapun untuk mengantarku pulang. Meskipun lelah, dia rela nyetir sendiri dalam kemacetan. Ia selalu membuatku bahagia tanpa mengekang hidupku. Dia membebaskanku ketika aku ingin berkumpul bersama teman-teman, baik pria maupun wanita. Ia tidak pernah cemburu, dia selalu mendukung setiap keputusan yang aku ambil. Selama keputusan itu tidak melukaiku.
Sampai hari itu tiba. Hari di mana Krisna sulit dihubungi di luar jam kerja. Hari di mana Krisna tiba-tiba menghilang selama lebih dari dua bulan. Sejak hari itu, tak ada pesan atau titipan kata-kata dari seseorang.
“Pak Krisna itu sebenernya lagi kemana sih Din? Aku colek tangan Dini yang sedari tadi asik membuka majalah wanita kesukaannya. Kantor hari itu cukup sepi. Sejak ada pergantian sementara untuk kepala sub divisi Tangerang, beberapa staf yang lain sepertinya ikut-ikutan berganti posisi.
“Kan udah dibilangin, dia itu lagi tugas ke luar negeri. Ngurusin impor beras!” Dini menjawab tanpa melihat mataku.
“Tapi kok susah dihubungi ya, ini udah dua bulan loh Din!” tanyaku lagi dengan penasaran. Aku pikir Dini akan lebih banyak menerima informasi sebab ruangannya bersatu dengan karyawan yang sudah senior. Sedangkan aku terpenjara dalam kotak kecil bersama Pak Edo yang botak tapi baik hati itu.
“Namanya juga di luar negeri, pasti sibuk atau ganti nomor. Udah ah, Gue banyak kerjaan!”
Dini kembali ke layar komputernya, membuat daftar barang-barang dan harga. Tetapi aku merasa Dini menghindari pertanyaanku. Seperti ada yang sedang dia sembunyikan. Ah sudahlah, mana mungkin Krisna tiba-tiba meninggal seperti dalam cerita drama. Atau kecelakaan lalu hilang ingatan sehingga dia tidak pernah menghubungiku. Aku pun kembali melangkah, masuk ke dalam ruangan kecil yang sepi itu.
Sebulan, dua bulan, tiga bulan. Krisna belum juga memberi kabar. Semakin sesak rasanya ditinggalkan tanpa ada kejelasan. Jika kesibukannya begitu penting, jadwalnya begitu padat, tidakkah dia punya waktu untuk bersitirahat. Apakah mengirimkan pesan yang hanya satu menit itu terasa berat?
“Raina!” Pak Krisna datang!” Dini memanggilku.
Spontan aku berdiri menuju pintu dan langsung keluar. Semua karyawan kantor sedang berbaris di depan dan bersalaman. Mengucapkan selamat pada Krisna dan…
Siapa itu? aku menghampiri bersama Dini. Krisna masuk ke dalam ruangannya tanpa melihatku. Sedangkan wanita itu, duduk di kursi lobi dengan tersenyum.
“Raina, sini kenalin!” Ibu Sri, salah satu karyawan yang sudah lama bekerja di perusahaan ini, menarik tanganku menuju wanita itu. Sambil tersenyum, dia terus memerhatikan raut wajahku yang mulai tegang.
“Ini Ibu Talia, istrinya Pak Krisna. Mereka baru saja menikah bulan lalu. Bu, ini salah satu staf kami, kalau butuh apa-apa atau mau keliling kantor, minta antar dia aja.”
“Raina.” Aku mengulurkan tangan untuk berjabat. Bu Talia sendiri menyambutnya dengan cukup bersahabat. Dia tersenyum padaku dan mencoba bersikap akrab.
Ibu Sri sendiri sudah hilang dari hadapan kami. Dengan dada yang masih bergetar dan tangis yang sekuat mungkin ditahan, aku mengambilkan segelas teh hangat untuk Bu Talia. Wajahnya begitu cantik dan pakaiannya sangat modis. Usianya mungkin sama dengan Krisna.