Kiyai Aldan menatap tajam Agra dkk dan Adira dkk. Ruangan ini begitu sagat panas dan terasa sesak dengan aura yang dikeluarkan oleh kiyai Aldan.
“Sedang apa kalian di sana?” Tanyanya pelan namun dingin.
“Afwan kiyai, sepertinya kiyai salah paham atas…,” Agra menutup matanya saat kiyai Aldan kembali memotong ucapannya.
“Apa? Saya salah paham apa? Memangnya mata saya ini rabun? Jelas-jelas kalian itu sedang… astagfirullah.” Kiyai Aldan mengusap wajahnya dengan kasar. “Bisa-bisanya kalian ini… kalian bukan muhrim. Bagaimana jika orang lain yang melihat kalian seperti itu tadi ha? “
“Afwan kiyai.” Lirih mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @nyamm_113, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TERNYATA TIDAK SEMUDAH ITU MENAHAN EMOSI
“Ingat ya, jangan sampai kalian membuat ulah. Sambut tamunya dan arahkan ke sana, jangan dibuat nyasar juga.” Tutur kiyai Aldan.
“Na’am kiyai!”
“Ini tugas kalian, lakukan sampai semua tamu di daftar itu selesai. Paham?” Lanjut kiyai Aldan lagi. Menatap damai kepada santrinya.
“Na’am kiyai!”
“Bagus, saya pergi dulu. Ada suami kalian yang mengawasi dari sana, jadi jangan coba-coba buat ulah dengan tamunya.” Ujar kiyai Aldan menasehati keempatnya.
Lagi mereka mengangguk dengan kompak. “Na’am kiyai!”
Setelah itu kiyai Aldan meninggalkan mereka setelah mengucapkan salam, kalian tentu saja bisa menebak dengan siapa kiyai Aldan tadi berbicara. Yap, tentu saja Adira dkk yang sangat doyan dihukum itu.
Mereka duduk di bangku panjang yang ada di pos penjaga, mereka ini sedang menunggu tamu pondok yang akan bermalam untuk mengikuti acara tahunan pentas seni pondok yang akan berlangsung besok malam.
“Kesal bangettt… kenapa juga si kita disuruh jaga di sini, kan ada santri putra yang bisa bertugas.” Keluh Aruna.
“Setakut itu mereka kita buat masalah, padahal mah kita sudah taubat.” Lanjut Almaira. Taubat katanya? Taubat karena apa?
“Namanya juga antisipasi kan? Yaudah kita tinggal jalani saja.” Lanjut Adira.
“Hummm, nasib-nasib.” Ayyara bahkan terlihat lesu. “Padahal kita mau ikut bantu-bantu yang lainnya, kenapa juga disuruh jaga di sini.” Lanjutnya.
Kiyai Aldan menyuruh mereka berjaga untuk menyambut tamu malam ini karena jika membantu yang lainnya takutnya malah membuat masalah lagu seperti kemarin malam, dimana keempatnya bukannya membantu mendekor malahan asik memainkan benda-benda yang akan digunakan untuk mendekor itu.
Satu-persatu mobil dan bus yang ditumpangi tamu pondok pesantren Al-Nakla tiba, santriwati yang tengah diberi amanah itu menjalankan tugasnya dengan baik.
“Aduh capekkk.” Keluh Almaira. Benar dia lelah bolak balik untuk mengarahkan tamu pondok ke asrama penginapan.
“Sama, mana haus pula.” Lanjut Adira. Angin malam ini cukup menyejukkan, membuatnya sedikit merasa lega.
“Kalian lapar tidak?” Tanya Ayyara. Dia sangat lapar, menyambut tamu-tamu pondok menguras banyak tenaganya hingga ia merasa kelaparan.
Ketiganya mengangguk. “Iya!”
“Aku sama Adira cari makan dulu, kalian tunggu di sini dan tetap nyambut tamunya nanti kiyai Aldan bisa-bisa cari kita kalau lihat tidak ada kita di sini.” Ayyara bangkit disusul Adira.
“Okey! Kalian jangan lama-lama tapi.” Ucap Aruna. Dia juga tengah menahan rasa laparnya.
“Siap, kita pergi dulu.” Jawab Adira.
xxx
“Banyak juga ya tamu yang datang.” Celetuk Abraham. Sesekali memantau istrinya yang bolak balik mengantar tamu pondok bersama Almaira.
“Hm, kasian sekali istri ana itu. Tapi, kiyai Aldan sudah benar memberi mereka tugas seperti itu ketimbang membantu yang lainnya namun tidak serius.” Lanjut Bima.
“Ya.” Jawab Abraham. Namun tiba-tiba ia memicingkan penglihatannya. “Tunggu, mau kemana Adira dan Ayyara? Kenapa Almaira dan Aruna tidak ikut?”
Ucapan Abraham mengalihkan perhatian Agra dan Abyan, melihat objek yang sama dimana Adira dan Ayyara tengah bergandengan tangan menuju koperasi pondok mungkin.
“Koperasi?” Tanya Abyan entah pada siapa.
“Mungkin mereka mau jajan kali, sudah biarkan saja mereka selagi tidak macam-macam.” Jelas Bima. Memantau santri putra yang tengah menyelesaikan pekerjaannya.
Agra tak melepas tatapannya dari punggung kecil istrinya hingga menghiang saat masuk kedalam koperasi pondok, dalam hati berdo’a agar istrinya itu tidak mencoba melanggar lagi. Ia sudah lelah dan pusing menghadapi kelakuan para santriwati itu.
Masih dipondok pesantren, dikoperasi pondok.
Ayyara sibuk mencari cemilan yang cocok untuk mereka makan, sedangkan Adira sibuk mencari minuman yang segar. Anak itu sejak tadi berdiri didepan lemari pendingin itu dengan kedua tangan disilangkan didadanya, begitu sulit untuk memilih minuman dingin.
“Ihhh, benar. Ini adalah tempat dimana semua orang sulit memutuskan, lebih sulit dari pada memutuskan jalan hidup.” Katanya pelan.
Namun, saat Adira hendak meraih minuman yang diinginkannya sebuah tangan mendahuluinya membuatnya menatap siapa pemilik tangan yang dengan berani itu mendahuluinya.
“Gia.” Ucapnya pelan. Helaan napas anak itu begitu berat saat tahu siapa yang berdiri disampingnya dengan wajah yang minta untuk dicakar.
“Upsss sorry.” Gia menatap sinis Adira.
Adira hanya menggeleng, meladeni Gia akan membuang-buang waktunya saja. lebih baik ia segera mengambil minuman lainnya, lalu segera menyusul Ayyara yang entah berada dimana.
“Lo… ada hubungan apa sama ustadz Agra?” Tanya Gia tanpa menatap Adira yang terdiam ditempatnya.
Adira menetralkan wajahnya, lalu menatap Gia. “Bukan urusan mu.” Jawabnya dengan pelan. Masih mengambil dua minuman lagi.
“Yakin?” Sepertinya Gia kurang puas dengan jawaban Adira. “Di bayar berapa lo sama ustadz Agra sampai lo jual diri ke dia? Lo dan teman-teman lo itu udah di pake ya?”
Adira hanya menatap tenang Gia, ia bukan tipe yang mudah tersulut emosi. Ya, dia adalah Adira yang tidak tahu cara marah-marah dan mengeluarkan emosi. Dia adalah anak yang paling sabar, stok sabarnya itu seluas samudra.
“Kalau tidak tahu apa-apa mendingan kamu diam saja, jangan sampai apa yang kamu katakan itu membuat diri kamu sendiri rugi Gia.” Tutur Adira dengan pembawaan yang tenang. Sudah dibilang, ia ini anak yang sabar.
Gia menatap nyalang Adira, dengan kesal dan emosi ia menutup pintu lemari pendingin itu dengan kuat hingga jari-jari Adira terjepit membuat Adira meringis kesakitan.
BRAKKK
AKKKHHH
“Astagfirullahal ‘adzim.” Adira menutup matanya guna meredam rasa nyeri di jari-jari kanannya yang berhasil ia lepaskan dari jepitan lemari pendingin itu.
Terlihat ungu dan sedikit bengkak, sedangkan sang pelaku menatap biasa saja seolah tak melakukan kejahatan.
“Sakit ya? Aduh kasian banget ya lo.” Gia menatap santai Adira yang jongkok dilantai memegangi jari-jarinya yang terasa sangat sakit itu.
“Adira!” Ayyara berlari kearah Adira. “Astaga tangan kamu kenapa Adira?” Tanya Ayyara dengan panik.
Wajah Adira merah karena menahan rasa sakitnya, bayangkan saja lemari pendingin itu ditutup dengan kuat oleh Gia hingga kelima jarinya terjepit membuat jari-jari kecil itu bengkak dan berwarna ungu.
“Akkhhh s-sakit Ay.” Lirih Adira. Rasanya ia ingin menangis.
Ayyara menatap tajam Gia, ia mensejajarkan tingginya dengan wanita licik itu. “Lo ngak bosan cari masalah mulu? Lo apain tangan teman gue ha?” Tanyanya dengan penuh emosi.
Gia membalas tatapan tajam Ayyara. “Gue ngak akan pernah bosan Ayyara, gue hanya main-main sedikit ajah. Dia ajah yang lebay, gitu ajah kok sakit dasar lemah!”
PLAK
“Apa lo bilang? Lo liat jari teman gue luka karena ulah lo!” Sungguh Ayyara benar-benar menyeramkan ketika mode maeah seperti itu. “Jangan karena lo anak donatur, lo kira gue takut sama lo? Gue ngak takut Gia, gue bahkan jijik liat lo!”
WOW!
“LO! Lo berani nampar gue?” Tanya Gia tidak terima karena Ayyara menamparnya.
PLAK
Ayyara kembali menampar Gia, masa bodoh jika ia akan mendapat hukuman lagi yang terpenting membalasnya dua kali lipat atas perbuatan Gia terhadap temannya.
“LO!” Gia yang sudah tersulut emosi mendoro tubuh Ayyara namun Ayyara tentu masih bisa menahan tubuhnya agar tidak kehilangan keseimbangan.
Adira tetap berada diposisinya, bahkan jari tangannya itu sudah seperti disengat tawon. Sedangkan didepannya Ayyara membalas Gia dengan mendorongnya kembali sampai Gia menabrak rak jajanan dibelakangnya hingga ia terjatuh kelantai bersamaan dengan teriakan yang menyusul.
“AYYARA, APA YANG KAU LAKUKAN?”
“U-stadz Abyan.” Lirih Ayyara.
Abyan tak sendiri, dibelakangnya ada Agra yang menatap khawatir pada Adira istrinya. Abyan mempercepat langkahnya lalu dengan segera menyeret Ayyara keluar sebelum menjadi bahan tontonan tanpa membantu anak donatur itu terlebih dahulu.
“Astagfirullah, kenapa dengan tangan kamu Adira?” Tanya Agra khawatir. “Ayok berdiri.”
Adira tiba-tiba saja menangis. “H-hiks s-sakit.”
semangat 💪👍