Rani baru saja kehilangan kakaknya, Ratih, yang meninggal karena kecelakaan tepat di depan matanya sendiri. Karena trauma, Rani sampai mengalami amnesia atas kejadian itu. Beberapa bulan pasca tragedi tersebut, Juna, mantan kakak iparnya melamar Rani dengan alasan untuk menjaga Ruby, putri dari Juna dan Ratih. Tapi, pernikahan itu rupanya menjadi awal penderitaan bagi Rani. Karena di malam pertama pernikahan mereka, Juna menodongkan pistol ke dahi Rani dan menatapnya dengan benci sambil berkata "Aku akan memastikan kamu masuk penjara, Pembunuh!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. (REVISI) Teman Baru
Rani merasa seperti ada petir di siang bolong yang menyambarnya saat itu juga. Bagaimana tidak? Ia melihat Bian sudah berdiri di belakangnya dengan wajah bingung.
"Bu Rani? Beneran Bu Rani kan? Kenapa Anda bisa ada di sini? Suami Anda tadi kemana?" Juna menunjuk ke arah mobil Juna yang sudah melaju pergi. "Jangan-jangan.. Anda..sengaja ditinggal?"
Rani membisu mendengar pertanyaan ragu-ragu Bian. Ingin berkata bohong, tapi Bian sudah terlanjur melihat kejadiannya dengan kedua matanya sendiri. Mau jujur, ia tak bisa. Karena jika begitu Rani harus menjelaskan keruwetan hubungan mereka pada Bian.
Suara petir yang menggelegar membuat Rani dan Bian sama-sama terkejut.
"Ayo masuk dulu, biar saya antar," ujar Bian menawarkan. "Sebentar lagi hujan, Anda akan kesulitan mencari taksi."
Rani menggigit bibir. Ia bimbang sekali. Ingin rasanya ia menolak tawaran itu, tapi titik-titik air hujan sudah lebih dulu turun dari langit.
Tanpa berpikir panjang, Rani menuruti Bian untuk masuk ke dalam mobil. Rani ingat betul. Mobil yang dikendarai Bian adalah mobil yang sama saat mereka pertama kali bertemu.
"Ah," Rani tiba-tiba teringat sesuatu. "Saya baru ingat. Selimut Anda waktu itu belum saya kembalikan,"
"Astaga," Bian tergelak. "Tidak usah pikirkan tentang hal itu. Saya memang beniat memberikannya pada Anda. Eng..Bu?" Bian tampak kebingungan mencari nama panggilan untuk Rani.
"Rani saja," ujar Rani. "Usia saya sepertinya jauh lebih muda dari Anda. Rasanya aneh kalau dipanggil Bu,"
"Kalau begitu, panggil saya Bian juga," Bian tersenyum. "Apa aku boleh berbicara santai dengan kamu?"
Rani sedikit terkejut karena Bian langsung mengganti panggilan mereka dari 'saya-Anda' menjadi 'aku-kamu'. Tapi ia tak merasa keberatan, maka ia menggelengkan kepalanya.
"Tidak masalah, aku juga senang karena merasa punya teman baru,"
Bian lagi-lagi tersenyum. Sejenak, suasana di antara mereka menjadi canggung. Sembari menyetir, jemari Bian tampak mengetuk-etuk setir dengan gugup.
"Eng.. Apa malam itu, kejadiannya juga seperti ini?" Pertanyaan yang sudah terpendam di pikiran Bian akhirnya lolos dari mulut. Bian langsung menepuk bibirnya sendiri saat tersadar. "Maaf, apa aku terlalu ikut campur dalam masalah rumah tangga kalian?"
Rani menghela napas panjang. Wajar saja jika Bian bertanya seperti itu. Apalagi laki-laki itu juga melihat secara langsung bagaimana Juna mengusirnya keluar dari mobil.
"Begitulah," Rani menjawab datar. "Aku tidak tahu apa yang telah dia katakan padamu. Tapi, kejadiannya persis seperti ini,"
"Oh.." Bian ikut menghela napas panjang. "Dia bilang kalau malam itu kamu kabur dengan pria lain,"
"Sudah kuduga," Rani tersenyum kecut. "Dia selalu mengatakan itu di depan orang lain. Terserah padamu mau percaya siapa. Aku tak masalah karena sudah terbiasa melihat orang-orang tidak mempercayaiku,"
"Aku percaya padamu," Bian menatap Rani dengan tulus. "Aku yakin yang dikatakan suamimu itu tidak benar,"
"Kenapa?" Rani menatap lelaki itu. "Kenapa kamu percaya padaku?"
"Karena itu pilihanku," Bian tersenyum. "Apapun alasannya, aku percaya kalau kamu tidak bersalah,"
Rani merasa ada rasa haru yang menyeruak dari dalam dadanya. Beginikah rasanya dipercayai oleh orang lain?
"Terimakasih," Rani memalingkan wajah untuk menyembunyikan air matanya. "Terimakasih sudah percaya padaku,"
Rani mati-matian menahan air matanya agar tidak jatuh sepanjang perjalanan menuju ke rumah. Bian juga tidak berkata apa-apa lagi. Sepertinya ia mengerti Rani butuh waktu menenangkan dirinya sendiri.
"Sekali lagi aku mengucapkan terimakasih," ujar Rani saat mereka akhirnya sampai di depan gerbang. "Lagi-lagi kamu sudah menyelamatkan aku,"
"Sama-sama," Bian tersenyum tulus. "Eh, tunggu.."
Rani yang semula sudah bersiap membuka pintu mobil terhenyak saat Bian menahan pergelangan tangannya.
"Ah, maaf, maaf," Bian buru-buru melepaskan genggamannya. "Aku cuma mau memberikan ini,"
Rani menerima kartu nama yang diserahkan Bian padanya. "Apa ini?"
"Kartu namaku. Ada nomor handphoneku di sana. Kalau suatu hari kamu merasa kesulitan dan butuh seseorang untuk mendengarkan mu, hubungi saja aku,"
"Ah," Rani memegang kartu nama itu dengan kedua tangannya. "Apa tidak merepotkan?"
"Tidak sama sekali," Bian menggelengkan kepala. "Seperti yang kamu bilang, aku juga senang karena punya teman baru. Sesama teman harus saling membantu saat sedang kesusahan kan?"
Rani benar-benar tidak bisa menyembunyikan air matanya kali ini. Ia benar-benar merasa terharu dengan ucapan Bian.
"Maafkan aku, aku memang agak cengeng belakangan ini," Rani menghapus air matanya yang tak mau berhenti mengalir.
"Jangan dihapus," Bian menahan tangan Rani yang bergerak mengusap wajahnya. "Menangis saja dulu sampai puas. Akan aku dengarkan semuanya sampai kamu merasa lega,"
kalau sudah jatuh baru mengharapkan bini yg sudah di sakiti!
kalau aku ma ya milih pergi!
ttep suka 🤗