Aydin terhenyak, dunianya seakan tiba-tiba runtuh saat seorang gadis yang bahkan dia tak tahu namanya, mengaku sedang hamil anaknya.
Semua ini berawal dari sebuah ketidak sengajaan 3 bulan yang lalu. Saat diacara pesta ulang tahun salah satu temannya, dia menghabiskan malam panas dengan seorang gadis antah brantah yang tidak dia kenal.
"Kenapa baru bilang sekarang, ini sudah 3 bulan," Aydin berdecak frustasi. Sebagai seorang dokter, dia sangat tahu resiko menggugurkan kandungan yang usianya sudah 3 bulan.
"Ya mana aku tahu kalau aku hamil," sahut gadis bernama Alula.
"Bodoh! Apa kau tak tahu jika apa yang kita lakukan malam itu, bisa menghasilkan janin?"
"Gak udah ngatain aku bodoh. Kalau Mas Dokter pinter, cepat cari solusi untuk masalah ini. Malu sama jas putihnya kalau gak bisa nyari solusi." Jawaban menyebalkan itu membuat Aydin makin fruatasi. Bisa-bisanya dia melakukan kesalahan dengan gadis ingusan yang otaknya kosong.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SIAPA SILVIA?
"Bukannya apa," ujar Ayah Septian sambil tersenyum. "Aydin ini masih baru jadi dokter. Bisa dibilang, ekonominya belum mapan. Dia masih baru menyelesaikan internship beberapa bulan yang lalu. Anak anda juga dokterkan? Pasti tahu berapa gaji dokter internship." Tadi Aydin sudah cerita tentang kakak Alula yang juga dokter.
"Ya, saya sangat tahu itu," jawab Jefri sambil tersenyum. "Tidak usah dipikirkan masalah mahar, yang penting mereka sah dulu dimata agama. Toh secara hukum Alula belum boleh menikah."
"Dan satu lagi," Ayah Septian melirik Aydin sekilas. "Putra kami belum memiliki hunian sendiri jadi..."
"Lula gak keberatan kok Om, tinggal disini," potong Alula.
"Sepertinya sudah tak ada masalah lagi. Nanti sore, kami tunggu kehadiran kalian di rumah. Saya sendiri yang akan menikahkan Alula dengan Aydin."
Tak terkira girangnya hati Alula. Tak akan lama lagi, dia akan menjadi bu dokter. Akhirnya dia tak perlu capek-capek lagi sekolah dokter hingga 6-7 tahun. Nanti sore, statusnya akan langsung jadi bu dokter, istrinya pak dokter. Alula masih saja senyum-senyum tanpa dia tahu jika saat ini, semua mata menatap kearahnya.
"A-ada apa?" tanya Alula gugup.
"Kayaknya ada yang seneng nih," goda Mama Nara.
"Ah Tante bisa aja," Alula tersenyum absurd sambil menunduk untuk menyembunyikan wajah merahnya. Sumpah dia malu sekali.
Setelah memperoleh kesepakatan bersama, Alula pulang bersama Papanya. Tapi kedatangannya di rumah, disambut dengan tatapan menusuk oleh Iren. Wanita itu jelas sekali menunjukkan ketidak sukaannya pada Alula. Kali ini dia tak peduli meski menunjukan langsung didepan Jefri.
"Mah," Alula mendekati Mamanya, hendak memegang tangannya namun lebih dulu ditepis oleh Iren. "Maafin Lula ya, Mah."
Bukannya menjawab, Iren malah pergi begitu saja, masuk kedalam kamar.
"Sudah-sudah, Lula masuk kamar. Biar Papa yang bujuk Mama." Alula mengangguk lalu menaiki tangga menuju kamarnya. Sementara Jerfi, dia langsung menyusul Iren masuk kedalam kamar. Dan langsung syok saat melihat Iren memasukkan baju-bajunya kedalam koper.
"Apa-apaan ini, Mah." Jefri menarik tangan Iren agar berhenti memasukkan pakaian kedalam koper. Tanpa dijelaskan, siapapun akan faham apa yang akan dilakukan orang yang sudah mengemasi barang-barang pribadinya.
"Mungkin sudah saatnya Mama pergi dari sini Pah. Selama ini Mama sudah cukup tersiksa hidup bersama Alula. Wajahnya selalu mengingatkanku pada Silvia. Aku benci itu Pah," air mata Iren mulai bercucuran. "Aku benci pada diriku sendiri yang selalu gagal untuk berdamai dengan keadaan. Aku yang salah disini. Tak seharusnya aku melampiaskan kebencianku pada Alula hanya karena dia anak Silvia."
Deg
Jantung Alula seperti berhenti bedetak mendengar kalimat mamanya barusan. Apa maksud semua itu? Apa itu artinya, dia bukan anak mamanya?
Tanpa mereka tahu, sejak tadi Alula berdiri didepan pintu yang terbuka sedikit. Tadi karena kaget melihat Iren mengemas pakaian, Jefri sampai lupa menutup pintu.
Jefri langsung memeluk istrinya, mendekapnya erat dan membenamkan wajah yang basah karena air mata itu didadanya. "Papa yang paling salah disini. Maafkan Papa, Mah. Kalau saja hari itu Papa tidak terbujuk dengan kata-kata manis Silvia yang bilang ingin dekat dengan Alula untuk terakhir kalinya, mungkin semua ini tak akan terjadi. Kamu, aku, Eliza, Aluna, dan Arkana, kita pasti sudah hidup dengan sangat bahagia sekarang."
"Apa maksudnya ini, Pah?" ujar Alula sambil mendorong pintu hingga terbuka sempurna.
Jefri dan Iren langsung menoleh saat mendengar suara Alula. Keduanya saling bertatapan, bingung harus menjelaskan seperti apa pada Alula. Sungguh, meskipun Iren benci Alula, tapi dia tak ingin Alula tahu seperti apa jahatnya ibu kandungnya. Terlebih Jefri, dia sangat tidak ingin Alula tahu tentang ibu kandungnya.
"Siapa Silvia? Kenapa Mama bilang jika Alula anak Silvia?" Dengan mata berkaca-kaca, Alula masuk dan mendekati kedua orang tuanya. "Dan Arkana, siapa dia? Apa yang Alula tidak tahu. Tolong jelaskan Pah, Mah."