Ada cowok yang pikirannya masih di zaman batu, yang menganggap seks cuma sekedar kompetisi. Semakin banyak cewek yang ditiduri, maka semakin jantan dia.
Terus ada juga yang menganggap ini cuma sebagai salah satu ajang seleksi. Kalau goyangannya enak, maka mereka bakal jadian.
Ada lagi yang melihat ini cuma buat kesenangan, tanpa perlu ada keterikatan. Ya, melakukannya cuma karena suka. Sudah, begitu saja.
Dan ada juga cowok yang menganggap seks itu sesuatu yang sakral. Sesuatu yang cuma bisa mereka lakukan sama orang yang benar-benar mereka sayangi.
Nah, kalau gue sendiri?
Jujur, gue juga nggak mengerti. Gue bahkan nggak tahu apa arti seks buat gue.
Terus, sekarang gue ada di sini sama Carolline?
Gue baru kenal dia, jadi gue nggak ada niatan buat tidur sama dia. Tapi kalau soal bikin dia puas?
Itu cerita lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia
Ini pertama kalinya gue melihat dia lagi sejak obrolan terakhir kita di depan kafenya.
"Kenapa gue harus kasih lo penjelasan? Lo baru aja masuk ke hidup gue, lo nggak punya hak apa-apa."
Kata-kata itu masih nyesek. Gue cuma mau bantu, niat gue baik, tapi tetep aja, hidupnya ya hidupnya. Gue harus ingat batasan gue.
Phyton jalan di antara kerumunan mahasiswa, pakai sweater hitam tebel dan jaket denim di atasnya. Pipi dia, seperti biasa, agak merah. Tapi mata gue langsung nangkep sesuatu, bibirnya ada luka, sedikit bengkak. Gue otomatis mengepal tangan. Gue tahu itu bukan karena kecelakaan.
Pas dia melihat gue, dia angkat tangan buat menyapa. Gue balas, meskipun dalam hati gue masih bingung, soalnya terakhir kali kita bertemu, dia seperti nggak mau ngomong sama gue lagi.
"Hei." sapanya, berdiri di seberang grill.
"Hei."
"Burgernya enak nggak?" Dia menjilat bibirnya pelan. Sepertinya dia agak gugup… atau mungkin gue aja yang merasa gitu.
"Nggak enak-enak banget sih, tapi lumayan kalau lo laper dan mau bantu kampus."
"Ada pilihan yang… tanpa daging?"
"Ehh… roti, selada, sama tomat?"
"Oke, skip." Dia garuk-garuk bagian atas kupingnya, tempat anting-antingnya. Gue pernah lihat dia ngelakuin itu di kafe beberapa kali, biasanya pas lagi nggak nyaman.
"Lo gimana?"
"Baik. Lo?"
"Baik."
Hening.
Canggung.
Seperti ada sesuatu di antara kita yang belum kelar. Terus, Phyton tarik napas panjang.
"Dengar, Asta… gue tahu gue bukan… ya, maksud gue…" Dia berhenti lagi, seperti mencari kata-kata yang pas. "Gue mau minta maaf. Lo cuma mau bantu, tapi gue malah jadi brengsek. Hidup gue… ribet, tapi itu bukan alasan buat gue ngelampiasin ke orang lain."
"Phyton…"
"Gue keterlaluan."
"Phyton, nggak apa-apa. Gue ngerti."
Gue tahu dia bukan orang jahat, bukan sengaja nyebelin. Gue rasa, kalau dia merasa terpojok atau terlalu terekspos, dia otomatis menjauh.
Dia buang muka, tapi gue bisa lihat jelas di matanya, Phyton takut. Banyak hal yang dia takutin, banyak yang belum dia ceritain ke gue. Dan salah satunya yang paling jelas?
Melvin.
Tapi dia tetap di sini. Tetap berani minta maaf, meskipun gue yakin Melvin pasti nyuruh dia buat ngejauhin gue. Itu butuh keberanian.
Gue lempar pertanyaan lain, biar suasana lebih santai. "Gimana kafe? Lo masih bikin latte terenak di kampus, kan?"
Phyton akhirnya sedikit rileks, bahunya turun dikit. "Nggak. Sekarang spesialisasi gue matcha."
"Seriusan? Gue nggak terlalu suka minuman hijau. Trauma gara-gara smoothie yang sering dibikin Ellaine tiap kali gue sakit."
"Ellaine?"
"Kakak ipar gue."
"Ah, benar. Lo punya kakak. Selma pernah nyebut soal itu."
Gue berusaha kelihatan santai. "Lo ketemu dia?"
"Beberapa hari lalu…" Ekspresi Phyton langsung berubah lebih muram. "Dan hari ini kita janjian ketemuan di sini, tapi gue belum lihat dia."
"Dia di dalam, bantuin jualan coklat." Dino tiba-tiba nyamber, nyamperin kita. Dia melempar pandangan ke Phyton. "Si anak kopi."
Phyton senyum kecil.
"Betul banget."
"Lo ngapain ke sini?" Dino menyandarkan tangan di bahu gue. "Semoga bukan buat beli burgernya Asta, karena, sumpah, rasanya parah."
Gue langsung menyingkirkan tangannya.
"Bisa diam nggak?"
"Apa? Gue nggak bisa biarin barista kesayangan gue, penyelamat hidup gue, dengan kopi-kopi ciamiknya, mati gara-gara nyoba burger lo."
"Lo bahkan belum nyoba."
"Gue nggak butuh nyoba, Asta." Dino nyengir santai, lalu ngangguk ke arah meja-meja piknik. "Coba lihat sekeliling, lihat piring-piring itu. Lo lihat apa?"
Gue melihat. Dan… ya ampun. Banyak piring dengan burger yang masih tersisa, hampir utuh.
Bagus.
Banget.
"Bessie bilang enak kok." Itu satu-satunya pembelaan gue.
Dino cemberut, terus mulai mengelus kepala gue seperti anak kecil.
"Oooh, Bessie ngebohongin lo, Asta. Gue tau, dunia ini emang kejam dan…"
"Kejam banget."
Phyton ketawa kecil, dan gue sempat memperhatikan dia beberapa detik. Pas mata kita bertemu, dia langsung alihkan fokus ke Dino.
"Asta tuh terlalu baik buat dunia ini." Nada suaranya seperti bercanda, tapi tetap aja bikin gue diam sebentar.
"Asik, sekarang gue dilawan dua orang."
"Kita cuma mau ngejaga lo." Dino ngerusuh lagi, ngusap kepala gue, dan gue langsung menyingkirkan tangannya.
"Gue cabut dulu, mau mencari Selma." Phyton ngangguk singkat, terus pergi.
Gue sama Dino akhirnya duduk santai di meja piknik. Daging di panggangan udah cukup banyak, dan jujur aja, sepertinya nggak bakal ada lagi yang beli kalau rasanya emang seburuk itu.
Gue nyengir dikit terus nanya, pura-pura santai.
"Bessie ke mana?"
Dino, yang biasanya selalu ceria, tiba-tiba kelihatan beda.
"Nggak tahu."
Gue nyender di meja, tatapan gue tajam.
"Ah, Dino, sebenarnya ada apa sih antara lo sama dia?"
Dia ngeluh pelan, terus garuk-garuk belakang lehernya.
"Kita terlalu beda. Gue dulu pengen banget party terus, tiap ada acara, gue gas. Tapi Bessie? Lo tahu sendiri, kan? Dia nggak terlalu suka keluar. Terus, gue bertemu Vey. Dia seperti versi cewek dari gue, party mulu, mabok, have fun. Waktu itu, gue mikir Vey tuh yang gue butuhin. Jadi… gue mutusin buat putus sama Bessie, terus jadian sama Vey."
Gue memperhatikan dia lama. "Lo goblok."
"Gue tahu. Gue nggak bangga sama itu, oke? Awal-awal sama Vey seru banget. Kita party dari satu tempat ke tempat lain, seks gila-gilaan… semuanya persis seperti yang gue pikir gue pengen. Tapi lama-lama, tiap malem pas gue mau tidur... Setelah pesta atau hari biasa, gue mulai merasa kosong. Gue cuma bisa rebahan, menatap langit-langit, merasa aneh. Pesta seru, ketawa-ketawa asik, tapi tetep aja ada yang kurang. Sesuatu yang lebih dalem."
"Biar gue tebak, yang lo cari itu Bessie, kan?"
"Gue tahu, gue bego banget baru sadar sekarang. Gue mulai kangen semuanya, hal-hal kecil yang dulu bikin gue merasa nyaman sama dia. Nonton film bareng sambil nyempil di sofa, ribut cuma gara-gara donat, ekspresi dia tiap ngenalin lagu favorit barunya ke gue..." Dia senyum, tapi sedih. "Gue sayang dia, Asta. Tapi dia udah gak mau tahu apa-apa lagi soal gue, dan gue paham kenapa."
"Gila, Dino. Gue gak nyangka lo bisa ngomong sedalam ini."
"Gue gak sebodoh itu, bro. Emang sih gue kelihatan gila dan pecicilan, tapi gue tetep punya hati."
"Vey tahu soal ini semua?"
"Gue gak pernah bilang langsung, tapi sepertinya dia ngerti. Hubungan kita tuh cuma di permukaan doang. Kita butuh satu sama lain buat seru-seruan, buat have fun, tapi... ya cuma segitu aja."
Gue tarik napas, harus jujur soal yang terjadi sama Vey waktu itu. "Gue... ehm..."
"Lo ciuman sama dia di sofa, kan?"
"Lo udah tahu?"
"Bro, kalian segamblang itu."
"Oh."
"Tenang aja, gue gak marah. Dari tadi kan gue udah bilang, gue sama dia gak ada apa-apa yang serius. Dia bebas ngelakuin apa aja."
"Tapi tetep aja... lo gak kesel?"
"Kesel?" Gue geleng-geleng, dan dia lanjut ngomong., "Kalau sekarang lo bilang lo suka sama Bessie, baru deh gue gampar dikit."
"Dia udah bukan cewek lo lagi."
Dino langsung kelihatan tegang. "Lo suka sama dia?"
"Nggak, lah. Jelas enggak."
"Bagus."
Kita diam beberapa detik.
Dari kejauhan, gue lihat Phyton keluar dari gedung bareng Selma. Mereka bawa dua gelas coklat panas. Selma pakai jeans sama sweater tebel warna pink pucat, persis seperti yang dia pakai waktu kita pertama bertemu di Café Tera's. Rambut pirangnya dibiarkan tergerai, membingkai wajahnya. Berdiri di sebelah Phyton, jelas banget dia lebih tinggi dari cowok itu.
Dan tiba-tiba, otak gue langsung keinget kejadian di lorong. Suara desahannya, jari-jari gue di dalamnya, tubuhnya yang nempel erat ke gue, bibirnya...
"Halo?"
Suara Dino langsung menyentak gue balik ke realita. Dia mengikuti arah pandangan gue. "Lo sama Selma kenapa?"
"Ribet."
Seakan dunia juga pengen jawab pertanyaannya, tiba-tiba ada keributan di depan acara. Melvin masuk dengan gaya sok cool, senyum lebar, jalan seakan tempat ini miliknya. Orang-orang langsung nyamperin, minta foto segala. Gue mengernyit, bingung.
"Ini apaan sih?" tanya gue.
Dino keluarkan napas panjang. "Lo belum tahu? Itu Melvin, kakaknya Selma. Dia streamer game terkenal banget. Hampir nggak pernah nongol di kampus, jadi aneh juga dia ada di sini. Mungkin dia mau ketemu Selma."
Gue geleng. "Nggak, dia di sini buat Phyton."
Dino langsung naikin alis. "Hah? Ngapain dia ke sini buat Phyton?"
Gue pengen jedotin kepala ke tembok. Gue kira semua orang udah tahu soal hubungan mereka. Tolol banget lo, Asta Batari!
"Soalnya… dia juga kerja di kafenya Phyton. Mungkin mereka janjian bertemu di sini."
"Oh, iya juga. Gue pernah lihat Melvin di Tera's."
Melvin langsung nyamperin Phyton dan Selma, ngobrol santai seperti nggak ada apa-apa. Rasanya nggak adil aja, dua orang sebaik dan sehangat mereka harus punya bayangan gelap seperti Melvin di hidup mereka.
"Astaga, Asta… bisik Dino."
"Apa?"
"Dari tatapan lo yang seperti anak kucing nyasar itu, gue sadar…"
"Sadar apa?"
Dia nunjuk ke arah Selma dan yang lainnya. "Apa pun yang terjadi antara lo dan mereka… itu ribet banget, bro. Konyol."
cobalah utk hidup normal phyton
𝚜𝚊𝚕𝚞𝚝 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊,𝚠𝚊𝚕𝚊𝚞𝚙𝚞𝚗 𝚖𝚊𝚕𝚟𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊 𝚝𝚊𝚙𝚒 𝚍𝚒𝚊 𝚝𝚍𝚔 𝚋𝚎𝚕𝚊𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊,𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 𝚖𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚗𝚐𝚎𝚍𝚞𝚔𝚞𝚗𝚐 𝚙𝚑𝚢𝚝𝚘𝚗